• Kolom
  • CERITA GURU: Data Pendidikan yang Menganggur

CERITA GURU: Data Pendidikan yang Menganggur

Data pendidikan bukan hanya alat untuk laporan akreditasi, tapi jendela untuk memahami fenomena sosial, ekonomi, dan budaya yang membentuk anak-anak.

Laila Nursaliha

Desainer Kurikulum. Berminat pada Kajian Curriculum Studies, Sains dan Teknologi pendidikan, serta Pendidikan Guru.

Guru bukan sekadar mengajar pelajaran di kelas, ia mengajarkan tentang kehidupan bagi murid-muridnya. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak)

5 November 2025


BandungBergerak.id – Sejak dunia menganut prinsip kecepatan, pendidikan menjadi hal yang paling lambat beradaptasi. Saya pernah melihat sebuah video, jika teknologi dan peralatan melalui perubahan bentuk serta efektivitas dan efisiensi, tapi tidak berlaku dalam pendidikan. Gambarannya masih sama, ia masih menjelma di ruang kelas dengan posisi yang sama, bangku yang sama, dan peralatan yang sama. Tak ada yang berubah berarti. Yang berubah hanya jenis papan tulis dan media guru mengajar di kelas.

Dunia berubah, pendidikan pun berubah. Ia tak lagi menjadi sesakral yang sebelumnya. Di dunia modern, pendidikan dihitung dengan angka-angka dan juga dinilai efisiensi dan efektivitasnya. Ia berubah menjadi sebuah pendidikan massal di mana semua orang perlu mendapatkan satu bangku di sebuah bangunan bernama sekolah. Sayangnya, di saat bidang lain sudah berlari begitu jauh dalam kerangka knowledge economy, pendidikan masih berada dalam posisi yang tak kunjung berubah. Apalagi untuk negara seukuran Indonesia. Di mana segala jenis peradaban ada.

Di dalam banyak bidang, tren teknologi, psikologi, dan ekonomi membantu mereka melakukan pengembangan dalam bidangnya masing-masing sehingga lebih efektif dan efisien. Misalnya, dalam bidang marketing bagaimana perilaku ini dipelajari agar bisa menggaet konsumen agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan menyesuaikan dengan produk pasar. Salah satu alat untuk mendeteksi perilaku tersebut adalah dengan memanfaatkan data dan algoritma. Namun, sepertinya jarang terjadi di dalam dunia pendidikan. Ketika teknologi masuk, ia malah menjelma pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh gurunya masing-masing. Bahkan Christensen menyebutnya dengan overestimate terhadap teknologi.

Baca Juga: CERITA GURU: Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Karakteristik Anak
CERITA GURU: Rapor Pendidikan yang Tak Pernah Dibahas
CERITA GURU: Menerbitkan Buku

Data dan Statistika di Ruang Kelas

Suatu hari, Prof. Hamid Hasan pernah berkata dalam kelas evaluasi kurikulum, “Salah satu kelemahan guru kita dalam melakukan evaluasi adalah tidak mengerti statistika.”

Awalnya saya tak mengerti apa maksud beliau tentang hal-hal itu? Karena memang saya pun masuk barisan guru yang tak begitu mengerti apa sebenarnya fungsi pelajaran statistika dalam pendidikan. Biasanya, di lapangan tak banyak butuh hitung-hitungan rumit. Hanya statistika dasar yang pernah dipelajari di bangku kelas 6 SD dan membuat diagram.

Kemudian, guru besar emeritus bidang evaluasi kurikulum menceritakan mengenai soal rata-rata dan dampak dari penggunaannya. Misal, beliau memberi contoh, jika nilai rata-rata kelas adalah 70. Tetapi, di antara rata-rata itu kita tidak mengetahui apakah nilainya memang tidak jauh dari angka tersebut atau telah terjadi kesenjangan yang cukup jauh antara pemilik nilai terendah dan tertinggi. Maka dari itu, kita perlu adanya sebuah hitungan yang lain. Kemudian beliau menjelaskan implikasi dari hitungan-hitungan itu dan bagaimana cara memanfaatkannya.

“Nah! Ini pelajaran statistika yang saya cari!” penjelasan itu membuat sebuah momen di mana ada sebuah lampu yang menyala dalam pikiran. Selama ini, statistika tak membuat sebuah perubahan apa pun. Bahkan “untuk apa hitungan-hitungan itu dipelajari kembali di perguruan tinggi? Jika anak kelas 6 SD pun selesai dengan hitung-hitungan macam begitu. 

Jika Prof. Hamid belajar statistika diajari oleh rekannya ahli matematika asal Singapura. Saya pun tampaknya harus mencari seseorang yang bisa mengajarkan statistika dengan ramah. Mumpung senior di Bandung, saya meminta beliau menjelaskan lebih detail tentang fungsi rumus-rumus itu. Lebih tepatnya tentang implikasi penggunaan rumus dan dampaknya bagi data yang dimiliki dan apa yang bisa kita lakukan melalui data-data yang dimiliki.

Sejak 2020, beberapa course saya ikuti tentang big data dalam pendidikan. Sayangnya, bukannya menemukan titik terang, malah memasuki labirin baru. Materinya bukan yang saya cari. Semuanya tentang teknis tentang bagaimana mengolah data di bidang pendidikan. Isinya rumus dan hitung-hitungan. Atau mungkin waktu itu saya tersesat. Hingga akhirnya saya menunda semuanya. Kalaulah jodoh dengan data, kami akan bertemu lagi.

Menunggu Dimanfaatkan

Pertemuan itu datang lebih cepat dari dugaan, tapi bukan dalam bentuk yang saya bayangkan. Bukan dari kursus, melainkan dari persiapan akreditasi. Ketika menyiapkan data-data administrasi untuk akreditasi, kami perlu menyiapkan banyak hal terkait standar pendidikan. Salah satunya adalah catatan-catatan dan data anak yang perlu dikumpulkan. Sebab kini PAUD bersifat Holistik Integratif, maka segala macam data perkembangan harus ada.

Dari mulai KMS, perkembangan, catatan harian, mingguan, catatan anekdot, dan catatan lainnya menjadikan semua berkas menumpuk begitu saja. Bahkan dari tahun ke tahun akan ada perubahan dan akan banyak data yang terhimpun. Namun, pada akhirnya selalu sama, semua catatan itu akan menumpuk di lemari arsip hingga penuh kemudian berakhir di tungku pembakaran. Padahal masih bisa diekstrak menjadi cerita yang lebih bermakna.

Konon, ketika semua data latar belakang murid terkumpul, maka akan lebih mudah menganalisis kebutuhan anak. Pada kenyataannya, data-data itu hanya menganggur di tempatnya. Data itu dikumpulkan menjadi sekedar rutinitas belaka dan memenuhi ruang. Dan mempertahankan nilai akreditasi.

Mengapa data-data itu menganggur? Di antara penyebabnya adalah tak ada satu pun dari kami yang mengerti tentang tafsir angka-angka itu dan konsep-konsep yang lebih detail. Kami hanya guru yang berkiprah dalam pembelajaran. Sedangkan, untuk mengolah data itu agar menjadi lebih bermakna membutuhkan tenaga ahli yang lain. Daftar hadir, capaian penilaian, biasanya digunakan hanya untuk pengisian dalam laporan akhir tahun. Selebihnya menumpuk begitu saja tanpa dianalisis lebih jauh.

Akuntabilitas adalah hal yang penting sejak era pengambilan keputusan pendidikan berbasis data. Apalagi sejak munculnya standarisasi pendidikan, akuntabilitas menjadi hal yang perlu memenuhi standar. Di pendidikan kita, ada delapan standar yang perlu dipenuhi terkait pendidikan dan manajemennya. Salah satunya adalah pencatatan yang perlu dilakukan agar menjadi basis bukti bagi perkembangan pembelajaran.

Semakin hari, guru belajar untuk meningkatkan penggunaan data dan agar apa yang ditulis memang berguna baik untuk peningkatan pembelajaran maupun laporan hasil belajar. Guru juga bisa menemukan intervensi dini terhadap peserta didik yang kesulitan belajar maupun capaian perkembangan. Dan, bisa menyesuaikan dengan latar belakang siswa.

Untuk memutus mata rantai menganggurnya data-data, rekan guru mulai melakukan hal-hal untuk mendokumentasikan dengan cara yang paling mudah dan paling dekat dengan guru. Pengumpulan data dilaksanakan atas dasar kebutuhan guru sehingga guru lebih memiliki tujuan dan tidak terbebani dengan administrasi yang tidak perlu. Misalnya membuat "jurnal visual" dengan foto-foto sederhana untuk melihat perkembangan motorik anak. Ini menjadi dokumentasi yang bermakna daripada sekedar foto-foto dokumentasi biasa.

Di sela-sela berbenah mengenai cara kami mengumpulkan dan menginterpretasi data, saya menemukan sesuatu yang tak terduga. Saat menelusuri data kehadiran untuk laporan, saya melihat pola: seorang anak tingkat kehadirannya sangat rendah. Setelah ditelusuri, ia hanya mau diantar oleh ibunya ke sekolah. Tapi ibunya harus bekerja di rumah orang lain. Sebagai protes, anak ini menolak sekolah. Data kehadiran yang tadinya hanya angka persentase itu tiba-tiba berbicara –bukan tentang kedisiplinan, tapi tentang dilema keluarga antara tuntutan ekonomi dan kebutuhan anak.

Kuamati garis demi garis yang menjadi grafik kehadiran. Banyak hal yang tak terungkap melalui garis-garis ini. Begitu pun sebaliknya, garis-garis ini tidak bisa berbicara banyak dan diterjemahkan secara baik untuk menjadi perbaikan selanjutnya. Tapi, hal dasar dan kebiasaan administrasi seperti grafik kehadiran, catatan perkembangan, yang bisa dieksplorasi lebih dalam dan lebih kaya. Sebelum menginjak kepada yang lebih esensial yaitu tentang meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas melalui catatan-catatan guru.

Grafik kehadiran, catatan anekdot, foto perkembangan –data-data sederhana ini ternyata bukan sekadar angka atau arsip administratif. Ia adalah jendela untuk memahami dunia yang jauh lebih luas.

Mungkin inilah yang terlewatkan selama ini: data pendidikan bukan hanya alat untuk laporan akreditasi, tapi jendela untuk memahami fenomena sosial, ekonomi, dan budaya yang membentuk anak-anak. Literasi data inilah yang menjadi titik awal untuk perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan. Maka dari itu, lensa yang dipakai oleh guru perlu pemutakhiran yang lebih luas agar data-data yang terbaca bisa diinterpretasi dan dimaknai.

Ketika guru sudah bisa mengikuti perkembangan zaman dan bisa memanfaatkan data dan teknologi, berharap bidang pendidikan bisa menyusul bidang lain agar bisa lebih efektif dalam melakukan praktik pendidikan. Khususnya agar pendidikan bisa berdiri menentukan posisinya dalam masa knowledge economy.

 

***

*Kawan-kawan dapat menikmati tulisan-tulisan lain Laila Nursaliha, atau membaca artikel-artikel lain tentang Cerita Guru

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//