Terkikisnya Keanekaragaman Hayati yang Mengancam Ketahanan Pangan di Perdesaan
Punahnya satu jenis tumbuhan dapat menyebabkan punahnya pula pengetahuan lokal atau pengetahuan ekologi tradisional dan praktik budaya yang menyertainya

Johan Iskandar
Dosen, peneliti lingkungan, serta pegiat Birdwatching di Universitas Padjadjaran (Unpad). Penulis bukuKisah Birdwatching, ITB Press (2025)
28 November 2025
BandungBergerak.id – Pangan merupakan kebutuhan primer bagi manusia. Dewasa ini, pangan pokok di Indonesia utamanya adalah padi. Padahal berdasarkan sejarah ekologi atau sejarah lingkungan, sejatinya berbagai etnik di perdesaan Indonesia di masa lalu memiliki beragam makanan pokok selain beras. Misalnya, masyarakat perdesaan di Siberut di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, memiliki makanan pokok sagu dan talas. Kemudian penduduk lokal di Maluku memiliki makanan pokok sagu, di Papua memiliki makanan pokok talas, serta penduduk perdesaan di Nusa Tenggara jagung dan kacang-kacangan. Kini hampir semua penduduk perdesaan di Indonesia memilih makanan pokoknya beras. Hal tersebut di antaranya karena anggapan mengonsumsi beras memiliki status simbol lebih tinggi dibandingkan dengan makanan pokok non-beras. Dengan kata lain, bahwa beras dipandang penduduk memiliki simbol lebih tinggi dibandingkan dengan berbagai sumber pangan pokok lainnya. Oleh karena itu, sesungguhnya pangan di masyarakat sangat berkaitan erat dengan budaya.
Indonesia memiliki aneka ragam budaya dan aneka ragam biologi atau hayati. Pengaruhnya, pola makan dan jenis pangan non-beras di Indonesia sangat beragam. Karena ada hubungan yang sangat erat antara keragaman biologi dengan budaya dan linguistik, membentuk suatu biocultural systems. Artinya bahwa praktik budaya dan pengetahuan lokal penduduk dalam mengonsumsi makanan berkaitan sangat erat dengan faktor keragaman biologi/hayati serta faktor ekologi setempat.
Masyarakat perdesaan di Tatar Sunda misalnya, secara budaya memiliki kebiasaan atau kegemaran mengonsumsi aneka ragam lalapan (lalaban) atau sayur, baik dalam bentuk mentah yang masih segar maupun telah diolah. Hal tersebut telah membentuk biocultural systems, yakni praktik budaya menggemari lalapan karena dipengaruhi oleh faktor keanekaragaman biologi/ hayati dan faktor ekologi setempat. Kawasan perdesaan Tatar Sunda yang dikelilingi oleh gunung-gunung, memiliki tanah subur pengaruh erupsi gunung-gunung api di masa lalu, dan udaranya yang dingin sangat cocok untuk tumbuhnya aneka ragam tumbuhan lalapan/sayuran secara liar ataupun yang sengaja ditanam. Maka, keberadaan aneka ragam tumbuhan sayur dapat mempengaruhi praktik budaya dan linguistik penduduk mengenai kegemarannya mengonsumsi aneka ragam lalapan. Sebaliknya, keberadaan aneka ragam jenis-jenis tumbuhan lalapan/sayur di ekosistem tidak lepas dari pengaruh praktik budaya masyarakatnya.
Mengingat ada hubungan yang erat antara penduduk perdesaan dengan aneka ragam tumbuhan lalapan/sayur baik yang liar maupun dibudidayakan, tidaklah heran bahwa aneka ragam tumbuhan dijadikan bahan menu makanan tradisional di masyarakat. Misalnya, berdasarkan hasil kajian Gastronomic Ethnobiology –studi tentang memahami hubungan antara keanekaragaman pangan tradisional, keanekaragaman hayati dan ekologi lokal, serta budaya masyarakat setempat– telah dapat didokumentasikan sekurangnya 47 aneka ragam jenis tumbuhan yang biasa dikonsumsi untuk makan pagi (tuang enjing), makan siang (tuang siang atau ngawadang) dan makan sore (tuang sonten) oleh masyarakat perdesaan Salamungkal, Paseh, Kabupaten Bandung (Igarashi, 1985). Pada penelitian lainnya, di Kampung Sindang, Rancakalong, Kabupaten Sumedang, telah dapat dicatat 102 jenis tumbuhan dari 42 famili, yang biasa dikonsumsi penduduk desa (Rahamniah, 2020). Aneka ragam jenis tumbuhan, seperti lalapan biasa dijadikan pangan tambahan, selain makanan pokok nasi dan lauk pauknya (rencang sangu).
Penduduk perdesaan mendapatkan aneka ragam sumber pangan nabati, selain dari hasil produksi budidaya pertanian di berbagai tipe agroekosistem, seperti pekarangan, kebun, kebun campuran (talun-kebun), dan sawah. Mereka biasa pula memungut aneka ragam tumbuhan liar sebagai bahan pangan. Berbagai jenis tumbuhan pangan tersebut, misalnya, tumbuh liar di berbagai lanskap perdesaan, seperti hutan, sawah, lahan pinggiran kebun, lahan tegalan terbuka, pinggiran sungai, dan lain-lain.
Hasil kajian etnogastronomi di Dusun Sindang, Rancakalong, Sumedang, misalnya, dapat dicatat aneka ragam bahan pangan seperti lalapan/sayur yang tumbuh secara liar. Misalnya pakis sayur (Diplazium esculentum), jantung cau/pisang hutan (Musa sp), rebung bambu/iwung awi (awi temen-Gigantochloa ater, haur konéng-Bambusa vulgaris, awi bitung-Dendrocalamus asper), honjé (Etlingera elatior), takokak (Solanum turvum), leunca (Solanum nigrum), jongé (Emilia sonchifolia), sintrong (Crassocephalum crepidioides), jotang (Acmella paniculata), pohpohan (Pilea melastomoides), salada air (Nasturtium officinale), antanan (Centella asiatica), bayam (Amaranthus spinosus), genjer (Limnocharis flava), dan écéng (Monochoria vaginalis). Selain itu, beberapa jenis buah-buahan seperti sukun (Artocarpus altulis), cécénét (Physalis angulata), dan markisa hutan (Passiflora foetida) juga merupakan tumbuhan liar –biasa dipungut dari kawasan hutan.
Secara tradisi, aneka ragam tumbuhan liar lalapan biasa dikonsumsi dengan berbagai cara seperti dimakan dalam bentuk lalapan segar (pohpohan, antanan, leunca, salada air) serta dikonsumsi dengan nasi dan sambal. Selain itu, berbagai tumbuhan lalapan lainnya seperti pakis sayur, rebung bambu, genjer, eceng, dan takokak biasanya dikonsumsi dengan diolah dulu, dijadikan aneka ragam sayur (angeun), tumis, dan lain-lain. Misalnya, khususnya leunca, selain biasa dikonsumsi mentah-mentah dalam bentuk segar, biasa pula diolah dijadikan ulukutek leunca. Panganan tradisional ulukuktek, biasanya diolah dari buah leunca dicampur dengan oncom, serta bumbu-bumbu, lainnya seperti cabe rawit, gula, garam, dan lainnya. Sementara, génjér biasa dibuat loték, dengan dibumbui seperti gerusan (rendosan) goreng kacang tanah/suuk, cabe rawit/céngék, gula aren, cikur, bawang putih, dan garam.
Pada umumnya berbagai pangan tradisional, seperti loték, cukup kaya nutrisi, sehingga dapat menyehatkan tubuh manusia. Contohnya loték yang hanya dibuat dari bahan génjér, kandungan nutrisi génjér dalam 100 gram (energi= 35 kal, protein=1,7 gram, lemak 0,2 gram, vitamin C=54 mg), kacang tanah/suuk (energi=525 kal, protein=27,9 gram, lemak=42,7 gram), kencur (energi =205 kal, protein=4,3 gram, lemak=0,4 gram), gula aren (energi= 377 kal, karbohidrat=95 gram, dan kalsium=326 gram), cabe rawit (energi=103 kal, protein=4,7 gram, dan lemak=2,4 gram), dan bawang putih (energi=149 kal, protein=6.4 gram, lemak=0.5 gram). Tidak hanya itu, écéng yang biasa dijadikan lalapan, juga memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik. Misalnya, eceng segar dalam 100 gram memiliki kandungan kalori (19 gram), protein (1,0 gram), lemak (0,2 gram), kalsium (80 mg), dan vitamin C (50 mg).
Ditilik dari etnogastronomi, jenis panganan lokal atau panganan tradisional tidak bisa hanya dilihat dari bahan jenis tumbuhan, tetapi juga terkait dengan budaya. Misalnya, pada kasus panganan génjér dan écéng, ditilik dari unsur nutrisinya, memang cukup baik. Tetapi bagi etnik lain atau kelompok masyarakat lain, mungkin tidak suka mengonsumsi écéng dan génjer. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis pangan dan pola pangan penduduk berkaitan dengan budaya masyarakat.
Suatu hal yang menguntungkan bagi masyarakat Sunda, yang biasa mengonsumi aneka ragam lalapan, bahwa banyak dari jenis-jenis tumbuhan lalapan, selain mengandung unsur nutrisi tinggi, juga bermanfaat sebagai obat tradisional. Misalnya antanan (Centela asiatica), selain bermanfaat sebagai lalapan segar, juga mengandung khasiat sebagai obat tradisional seperti obat batuk, sakit pinggang, dan disentri –sementara secara medik dikenal sebagai obat vulneary. Jenis tumbuhan lainnya, rebung bambu haur koneng (Bambusa vulgaris), selain rebungnya berguna sebagai bahan lalapan/sayur, juga air tuak batangnya memiliki manfaat sebagai obat batuk. Sementara cécénét (Physalis angulata) selain untuk dikonsumsi buah segarnya yang telah matang, juga memiliki manfaat sebagai bahan obat tradisional untuk mengobati berbagai penyakit seperti demam, asma, diabetes, hipertensi, dan luka. Maka, dapat disimak bahwa praktik budaya penduduk gemar mengonsumsi aneka ragam lalapan/sayur sungguh baik, karena lalapan kaya nutrisi dan juga baik bagi kesehatan manusia.
Baca Juga: Sistem Pekarangan dan Mitigasi Perubahan Iklim
Menurunnya Keanekaragaman Pangan Tradisional
Perubahan Lingkungan dan Hilangnya Pemondokan Aman untuk Burung
Kerusakan Lingkungan
Kini, dalam kondisi lingkungan yang kian tak menentu, seperti perubahan iklim dan cuaca ekstrem yang makin kerap terjadi, sebagai imbas dari pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca seperti gas karbon dioksida (CO2) dari pembakaran bahan bakar fosil dari pabrik-pabrik, kendaraan bermotor, serta pembakaran hutan. Kelompok masyarakat yang paling utama merasakan anomali iklim dan cuaca adalah penduduk perdesaan. Mengingat sebagai besar penduduk perdesaan mata pencaharian utamanya sebagai petani. Mereka dalam bertani sangat dipengaruhi oleh kondisi perubahan iklim dan cuaca. Misalnya, akibat bencana kekeringan di musim kemarau serta terjadinya banjir di musim hujan, menyebabkan petani gagal panen (puso), dan dapat menyebabkan gangguan pendapatan dan kerawanan sumber pangan bagi petani.
Sesungguhnya, dengan adanya berbagai keragaman tumbuhan liar sebagai bahan pangan di ekosistem perdesaan, dapat berperan penting guna mendukung ketahanan pangan penduduknya. Mengingat dengan adanya aneka ragam tumbuhan liar, dapat menopang ketersediaan, akses, pemanenan dan pemanfaatan, serta stabilitasnya tinggi. Keunggulan lainnya, pada umumnya aneka ragam tumbuh liar bahan pangan dapat adaptif terhadap lingkungan ekologi lokal, mudah dipanen tidak perlu biaya, mengandung kaya nutrisi mikro, dan mengandung fitokimia esensial serta penting bagi kebutuhan nutrisi dan kesehatan manusia –apalagi secara budaya sudah biasa dikonsumsi. Oleh karena itu, tidaklah heran bahwa menurut FAO, aneka ragam pangan hayati dari tumbuhan liar (wild edible plants) sangat penting bagi menjamin ketahanan pangan penduduk. Karena jenis-jenis tumbuhan liar cukup banyak tersedia di alam, tidak sulit untuk diakses, mudah dimanfaatkan, serta memiliki stabilitas tinggi dalam hal ketersediaan dan akses dalam pemanfaatannya.
Sejatinya berbagai wilayah perdesaan di Tatar Sunda memiliki aneka ragam tumbuhan liar sebagai bahan pangan yang cukup berlimpah. Tetapi, kini keberadaannya di ekosistem sangat mengkhawatirkan. Hal tersebut dikarenakan maraknya berbagai gangguan manusia. Misalnya, deforestasi telah menyebabkan aneka ragam tumbuhan liar sebagai pangan penduduk banyak yang punah secara lokal. Punahnya suatu jenis tumbuhan dapat menyebabkan punahnya pula pengetahuan lokal atau pengetahuan ekologi tradisional tentang suatu tumbuhan, dan praktik budaya yang menyertainya.
Selain itu, pengaruh dari derasnya aneka ragam panganan luar dari luar/kota penetrasi ke kawasan perdesaan, menyebabkan penduduk perdesaan lebih tertarik memilih pangan dari luar/dari kota yang dianggap lebih unggul dari panganan lokal atau panganan tradisional. Pengaruh lebih jauh, akibatnya penduduk perdesaan menjadi mengalami kertegantungan pada pangan dari luar dan harus membelinya.
Mengingat ketahanan pangan penduduk perdesaan, tidak hanya dipengaruhi oleh aneka ragam biologi/hayati tumbuhan, tetapi terkait erat pula dengan budaya penduduk. Oleh karena itu, untuk menjaga ketahanan pangan penduduk perdesaan, tidak cukup hanya melindungi aneka ragam biologi/hayati saja. Tetapi, juga perlu memperhatikan aspek sosial ekonomi dan budaya penduduk.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

