Wajah-wajah Bandung yang Hilang: Mengapa Konferensi Asia Afrika 1955 Membutuhkan Rekognisi Penuh
Dari kisah yang disebut di jalan dan di Museum Asia-Afrika, delegasi dari Afrika tidak disebutkan, berjarak, tak bergambar, dan tak terdaftar.
Shibli Jamal Shariff Asad
Kandidat PhD bidang Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
28 November 2025
BandungBergerak.id – Ada sebuah peribahasa dari negara saya yang mengungkapkan makna penting dari esai ini: “Enyama ntono okayana ekuli munkwawa,” yang berarti, “kita bisa mengeluh ketika diberikan bagian kecil, tapi kita juga harus menyimpan bagian kecil itu agar tidak bisa diambil oleh lawan kita.” Dengan kata lain, ketika penghargaan yang diberikan terbatas atau tidak sesuai dengan usaha kita, kita harus melindungi bagian kecil itu dengan gigih sementara kita juga meminta pengakuan yang cukup. Dengan semangat itulah saya menulis dari Bandung, kota di mana Konferensi Asia Afrika (ACC) 1955 diadakan - yang dikenal sebagai “Bandung Conference” yang membentuk solidaritas di antara benua-benua.
Tujuh puluh tahun sudah lewat, dan Bandung masih merayakan momen tersebut. Tonggak batas kota yang ada di titik 0 kilometer di dekat Museum Asia-Afrika, Savoy Homann, Grand Preanger, batu-batu yang bulat di pinggir Jalan Asia-Afrika, mempertunjukkan nama-nama dan bendera negara-negara. Semua berdiri sebagai bukti nyata untuk acara yang membuka pintu menuju “jalan tengah” menyelesaikan masalah blok-blok perang dingin dan memenangkan kedaulatan, hak asasi manusia, dan rasa saling menghormati. Namun, meskipun tempat-tempat ini masih menjaga ingatan sejarah, ada juga banyak sejarah yang terlupakan.
Sebagai mahasiswa asing yang sudah tinggal di Indonesia selama hampir 5 tahun dan juga yang berjalan-jalan di dalam museum dan di sekitar Jalan Asia-Afrika di mana sejarah ini terjadi, saya mendengar dari pemandu wisata berbicara dengan bangga tentang peran Indonesia di Konferensi Asia Afrika. Presiden Soekarno dan Roeslan Abdulgani sebagai sekretaris konferensi benar-benar menerima rekognisi. Para wisatawan mendengar tentang Zhou Enhai, Jawaharlal Nehru, Carlos Rumlo, U Nu dan tokoh-tokoh Asia yang wajah-wajah dan kata-kata mereka sudah terlihat di bagian sejak awal. Di Museum Asia-Afrika masih terlihat kursi-kursi, podium, gong, dan tulisan sepuluh Prinsip Bandung yang dirayakan. Ini semua nyata, faktual, dan layak dijaga. Tapi ada kegelisahan dalam kesunyian. Dari kisah yang disebut di jalan dan di museum, delegasi dari Afrika tidak disebutkan, berjarak, tak bergambar, dan tak terdaftar. Catatan museum dan cerita masyarakat kota menyebutkan bahwa ada 29 negara berpartisipasi. Tapi saya menemukan tak satu pun, monumen yang didedikasikan untuk menghormati delegasi dari Afrika dari nama ataupun wajah. Jika semangat Bandung benar-benar berdiri untuk kesetaraan dalam keikutsertaan, mengapa banyak orang yang menyeberangi samudra dan benua untuk ikut Konferensi Asia Afrika 1955 hampir tak berwajah di peringatan kota?
Baca Juga: Menyimak Pameran Kuasa Kata Konferensi Asia Afrika 1955 di Museum KAA
Menuju Kawasan Konferensi Asia-Afrika sebagai Warisan Dunia
Tur Pameran Tutur Luhur Figur Asia-Afrika, Mengungkap Antusiasme Media Dunia pada KAA 1955
Makna Sejarah dan Keadilan Global dalam Semangat Bandung
Penghapusan ini tak saja kedukaan akademik. Ini masalah keadilan sejarah, pendidikan masyarakat, dan diplomasi internasional. Sepuluh Prinsip yang dibentuk di Bandung –menghormati kedaulatan dan integritas wilayah, menyelesaikan masalah dengan damai, mempromosikan kepentingan bersama dan menghormati keadilan dan kewajiban Internasional– semua diadopsi oleh pergerakan semu yang disuarakan dari Asia dan Afrika. Kehadiran Afrika, walaupun terkadang berjumlah kecil dari negara merdeka saat itu (Egypt, Ethiopia, Liberia, Libya di antara yang lain) juga membantu untuk mempercepat gelombang aksi anti kolonial di seluruh Benua Afrika di tahun berikutnya. Pemimpin yang kemudian merangkul prinsip ini –Haile Selassie, Gamal Abdel Nasser, Kwame Nkrumah, Patrice Lumumba, Julius Nyerere, Milton Obote, Kenneth Kaunda, Hastings Kamuzu Banda, dan yang lain –berdiri di atas bahu dialog dan solidaritas yang diinisiasi di Bandung.
Pengalaman saya selama mengikuti Forum Pemuda Asia Afrika (AAYF) tahun 2025 di mana saya ikut serta dalam Panel Perdagangan dan menyampaikan isu ini dalam pidato penutupan atas nama para delegasi muda –Wali Kota Bandung (2024–2029), Bapak Farhan Muhammad, hadir pada acara penutupan dan memberikan gambaran yang berkesan. Beliau mengenang betapa sulitnya perjalanan pada tahun 1955 di mana para delegasi harus bepergian dengan kapal laut, perahu, atau pesawat sederhana selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
“Jika mereka bisa melakukannya waktu itu,” katanya, “mereka pantas mendapat penghargaan kita sekarang”. Pernyataan itu menjadi pengingat kecil tapi kuat, bahwa usaha fisik dan pengorbanan pribadi para delegasi sangat berarti. Saya meninggalkan museum dan percakapan dengan para pemandu dan staf dengan keyakinan bahwa sudah waktunya kisah Bandung dilengkapi bukan diubah, tetapi diperkaya. Saya mengusulkan beberapa langkah praktis dan penuh hormat yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah kota, komite warisan Bandung, Komite Asia Afrika, lembaga-lembaga UNESCO, dan masyarakat sipil.
Merekognisi Keikutsertaan Tokoh Afrika
Yang pertama, pemulihan dan publikasi arsip. Sejarawan dan pengelola arsip sebaiknya mengidentifikasi dan mempublikasikan daftar resmi para delegasi dari 29 negara, lengkap dengan nama, foto (jika ada), dan biografi singkat tentang peran serta kontribusi mereka. Selain itu, laporan media, notulen, dan surat pribadi yang berkaitan dengan partisipasi negara-negara Afrika juga perlu didigitalkan. Kemudian yang kedua adalah penghormatan dalam bentuk Monumen. Dua puluh sembilan seri plakat wajah, patung kecil (bust), atau ukiran potret para peserta Konferensi Asia–Afrika 1955 harus dibuat atau dipasang di Jalan Asia–Afrika dan di Museum Asia–Afrika, satu untuk setiap negara peserta. Setiap plakat harus mencantumkan nama delegasi, negara asal, dan kalimat singkat tentang kontribusinya.
Ketiga, integrasi museum dan kurikulum. Pameran museum dan bahan pendidikan perlu diperluas agar menceritakan kisah lengkap 29 negara peserta, termasuk para delegasi dari Afrika, sehingga pengunjung, pelajar, dan wisatawan internasional bisa memahami cerita Bandung secara utuh. Yang terakhir adalah Program Kebudayaan dan Beasiswa. Pemerintah dan lembaga terkait perlu mendanai program beasiswa dan kerja sama bagi peneliti Asia dan Afrika untuk membuat karya publik seperti pameran, film dokumenter, dan bahan belajar siswa yang memperdalam pemahaman masyarakat tentang dampak global Bandung.
Seruan untuk Melengkapi Kisah Bandung dan Menegakkan Keadilan Sejarah
Tujuan dari ide ini bukan untuk mengurangi peran penting Indonesia sebagai tuan rumah dan pemimpin pada tahun 1955, tetapi untuk menghormati pencapaian bersama. Pengakuan seperti ini akan memperkuat peran Bandung sebagai arsip hidup kerja sama Selatan–Selatan dan menginspirasi generasi muda yang berjalan di jalan-jalan kota ini. Saya sudah menyampaikan usulan ini secara langsung pada AAYF 2025 dan menyerahkan catatan singkat kepada Wali Kota Farhan agar mempertimbangkannya. Beliau berjanji akan membacanya.
Sekarang, saya mengajak pembuat kebijakan, perencanaan kota, sejarawan, pengelola museum, pendidik, dan warga di seluruh Asia dan Afrika serta siapa pun yang menghargai keadilan dalam sejarah –untuk bertindak. Berjalan di Jalan Braga atau berdiri di depan penanda 0 kilometer, lalu menyadari bahwa bendera negara sendiri pernah berkibar di tempat yang jauh, menimbulkan perasaan yang mendalam. Bagi saya, seorang mahasiswa doktor asal Uganda, perasaan itu adalah kebanggaan yang disertai harapan: Mari kita lengkapi kisah ini. Biarlah peringatan Bandung menampilkan wajah semua orang yang telah memberi suara mereka dalam konferensi itu.
Biarlah museum dan jalan-jalan Bandung mengajarkan kesetaraan dalam pengakuan, bukan hanya dalam prinsip, tetapi juga dalam tindakan nyata. Akhirnya, kita harus berani menuntut pengakuan, meski kecil, dan terus menjaganya sampai menjadi penghargaan penuh yang layak diterima. Tujuh puluh tahun kemudian, Semangat Bandung memanggil kita untuk menyelesaikan apa yang telah dimulainya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

