• Kolom
  • JEJAK PENA SEORANG TENTARA: Seabad Sastrawan Trisnoyuwono

JEJAK PENA SEORANG TENTARA: Seabad Sastrawan Trisnoyuwono

Trisnoyuwono, sastrawan yang pernah berkarier di pasukan elite militer. Putrinya, Tristianti Sintawardani atau Sinta Trisnoyuwono, menulis puisi untuknya.

Ernawatie Sutarna

Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.

Novel Pagar Kawat Berduri (1961), salah satu karya Trisnoyuwono. (Sumber: goodreads)

1 Desember 2025


BandungBergerakAku di sini sendiri, berkalang air mata kerinduan // Ku ucap doa untuk bapak, doa berbalut kerinduan // Pak, aku tak lagi menangis // Ada lengan kukuh bapak tumbuh di tubuhku / Ada napas bapak dalam rinduku yang selalu memelukku / Ada cinta kasih bapak dalam jantungku yang selalu menguatkanku // Damailah di sana pak / Selalu ada rindu untuk Bapak, selalu rindu pak ... / Sampai jumpa di tempat keabadian, pak ...//

Puisi penuh kerinduan dan doa itu ditulis oleh Tristianti Sintawardani atau Sinta Trisnoyuwono, putri bungsu sastrawan dan jurnalis Trisnoyuwono, sebuah ungkapan hati seorang putri pada cinta pertamanya.

Trisnoyuwono, seorang sastrawan dan jurnalis yang melahirkan banyak karya yang masih bisa kita nikmati sampai saat ini. Salah satu karyanya adalah sebuah buku kumpulan cerpen dengan judul Lakilaki dan Mesiu yang terbit tahun 1957. Buku yang berisi sepuluh cerpen ini banyak berkisah tentang perang, salah satu cerpen dalam buku tersebut berjudul Tinggul memenangkan hadiah dari majalah Kisah di tahun1956.

Selain buku kumpulan cerpen yang fenomenal itu, ada banyak karya lainnya di antaranya kumpulan cerpen Angin Laut (1958), Di Medan Perang (1962), novel Pagar Kawat Berduri (1961), Bulan Madu (1962), Surat-Surat Cinta (1968), Petualang (1981), dan karya lainnya berupa kumpulan karya dengan penulis lain, yaitu Kisah-kisah Revolusi (1965), Biarkan Cahaya Mmatahari Membersihkan Dulu (1966), dan Peristiwa-Peristiwa Ibukota Pendudukan (1970).

Karier jurnalistik Trisnoyuwono dijalaninya di beberapa media, antara lain di majalah Trio, Aneka, Berita Minggu dan perjalanannya sebagai wartawan berakhit di surat kabar Pikiran Rakyat di Bandung. Sesuai jiwa petualangnya, Trisnoyuwono lebih menyukai liputan-liputan lapangan, misalnya meliput peristiwa penumpasan pemberontak oleh RPKAD di Kalimantan, dan suatu operasi militer di Wamena, Irian Jaya (Papua).

Karya-karya Trisnoyuwono sering mengambil latar belakang militer karena ia mempunyai pengalaman pribadi di dunia ketentaraan. Ya, banyak orang lebih mengenal Trisnoyuwono sebagai seorang sastrawan dan jurnalis ketimbang seorang tentara. Padahal kariernya diawali di dunia militer.

Setelah lulus dari HIS Kanisius di Yogyakarta, Trisnoyuwono melanjutkan ke SMP lalu ke SMA, tapi sebelum menyelesaikan sekolah Trsnoyuwono bergabung dengan para pemuda ikut berjuang melawan Belanda, kemudian bergabung dengan Tentara Rakyat Martaram pada tahun 1946, tahun 1947 menyelesaikan sekoahnya, dan di tahun 1950 Trisnoyuwono begabung dengan Tentara Nasional Indonesia. Kariernya terus berlanjut, sampai suatu ketika di tahun 1952, Trisnoyuwono tercatat sebagai salah satu yang ikut mendirikan korps komando di bawah pimpinan Mayor A. Visser atas penunjukan Kolonel Kawilarang. Korps Komando itu kemudian berkembang menjadi RPKAD/Kopassus (Data Pokok Kebahasaan dan Kesastraan). Karier militer Trisnoyuwono berakhir di tahun 1953 dengan pangkat terakhir Sersan Mayor.

Sersan Mayor Trisnoyuwono (tengah) bersama Mayor Moch. Idjon Djanbi, dan Mayor RE. Djaelani. (Sumber Foto: Sinta Trisnoyuwono diwarnai oleh Subagja Halim)
Sersan Mayor Trisnoyuwono (tengah) bersama Mayor Moch. Idjon Djanbi, dan Mayor RE. Djaelani. (Sumber Foto: Sinta Trisnoyuwono diwarnai oleh Subagja Halim)

Trisnoyuwono di Mata Sang Puteri

Diiringi hujan yang tak deras tapi juga bukan gerimis, di satu tempat di Lembang menjelang senja, ada perbincangan antara saya, teh Sinta Trisnoyuwono dan Kang Anton Jansz, tentang sosok Trisnoyuwono.

“Bapak orangnya sangat disiplin, keras. Kalau janjian sama Bapak, telat lima menit saja pasti ditinggal. Bapak juga cuek, semau gue, ga suka diatur-atur. Lebih suka pakai celana pendek kalau pergi,” kenang Sinta.

Ada kejadian yang tak bisa dia lupakan saat harus menjalani hukuman dijemur di atas genteng. Peristiwa itu terjadi ketika Sinta meminta izin untuk mencoba olah raga terjun payung seperti yang pernah ditekuni ayahnya. Berulang kali meminta izin, berulang kali pula ayahnya melarang, sampai suatu saat ketika Trisnoyuwono sudah mulai jengkel dengan kerewelan putri bungsunya itu, maka Trisnoyuwono pun menekankan larangannya.

“Lu itu kalau gua bilang tidak, ya tidak! Mau ngelawan gua?”

Trisnoyuwono memang dikenal dengan gaya bahasanya yang ber-elu gua saat berbicara. Dan ketika Sinta remaja terus merengek, dia pun mendapat hukuman jemur di atas genteng. Hukuman yang cukup berkesan dan diingatnya sampai saat ini. Keinginan Sinta untuk menggeluti olahraga terjun payung hilang sejak kakaknya Tristian “Inong” Wirawan, gugur ketika melakukan terjun payung di tanggal 27 Januari 1989.

“Bapak sangat terpukul dengan meninggalnya kakak,” tutur Sinta.

Sejak masih duduk di sekolah dasar, Sinta selalu diajak sang ayah ke Skomen Mahawarman, di Jalan Surapati. Kenangan itu menguatkan niat Sinta untuk menjadi anggota Resimen Mahasiswa. Sampai akhirnya di tahun 1986, Sinta dilantik sebagai anggota Resimen Mahasiswa dengan sang ayah sebagai penyemat baret ungunya.

Baca Juga: Mulung Tanjung #11: Pamali, Kearifan Lokal Masyarakat Sunda Beranjak Terlupakan
MULUNG TANJUNG #12: Hanjuang dan Handeuleum, Tanaman yang Erat dengan Urang Sunda

Seabad Sastrawan Trisnoyuwono

Salah satu karya Trisnoyuwono adalah sebuah novel yang berjudul Pagar Kawat Berduri, digali dari pengalaman pribadinya sebagai seorang tentara, hal yang banyak orang tidak mengetahuinya. Novel ini mendapatkan hadiah sastra Yayasan Yamin di tahun 1963 dan diangkat menjadi karya film yang disutradarai Asrul Sani pada tahun 1961. Trisnoyuwono sendiri sebagai penulis cerita.

Trisnoyuwono lahir di Yogyakarta pada 12 November 1925. Ia merupakan anak sulung dari empat bersaudara dan satu-satunya putra dalam keluarga Kadim Hardjoprawiro.

Pada 1956, ia menikah dengan Sulasmi, gadis asal Tegal, dan pasangan ini dikaruniai dua anak: Tristanti Mitayani & Tristian Wirawan. Kemudian, Trisnoyuwono menikah dengan Nunung Malia Atmawijaya, perempuan Sunda, dan memiliki dua anak: Tristian Wirawan (almarhum) dan Tristianti Sintawardani (Sinta).

Parasutnya tak akan lagi bisa terlihat mengembang di bentangan langit setelah Trisnoyuwono meninggal karena sakit pada tanggal 29 Oktober 1996 di Bandung. Tapi jejak penanya masih tajam terbaca dalam karya-karya yang ia tinggalkan.

Sabad kemudian, masihkah Trisnoyuwono dikenal para pegiat literasi di Indonesia? Atau perlahan hilang seperti debu tertiup angin?

“Selalu bangga jadi anak bapak, selalu ada rindu untuk bapak. Happy heavenly birthday, pak,” tulis Sinta Trinoyuwono, di akun media sosialnya, 12 November 2025.

*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//