• Berita
  • Mendiskusikan Kehidupan Orang Bajau di The Room 19: Tersisih di Laut Sendiri

Mendiskusikan Kehidupan Orang Bajau di The Room 19: Tersisih di Laut Sendiri

Tak mengenal batas negara, suku Bajau di Indonesia justru terjebak aturan modern, stigma, hingga kriminalisasi. Dikisahkan dalam novel Manusia Perahu Terakhir.

Diskusi bertajuk Ngobrol Isu-Isu Laut, Diskusi dan Bermain Game Bersama Teman Bajau yang digelar The Room 19, Bandung, Minggu, 23 November 2025. (Foto: The Room 19/BandungBergerak)

Penulis Salma Nur Fauziyah1 Desember 2025


BandungBergerakOrang Bajau atau Bajo menjadi potret miris masyarakat adat yang tersisih di negeri sendiri. Hidup sebagai manusia perahu membuat mereka kerap didiskriminasi hingga mengalami krisis identitas. Tradisi mereka yang tak mengenal batas laut berbenturan dengan dunia modern yang menetapkan garis-garis perairan negara.

Erni Bajau, aktivis Suku Bajau sekaligus ketua umum POSBI, menjadi salah satu yang merasakan langsung diskriminasi itu. Ia pernah bertunangan, namun hubungan tersebut kandas setelah keluarga calon suaminya menolak menikah dengan orang Bajau.

“Saya pernah tunangan enam tahun, ditolak sama keluarga (tunangannya). Karena saya mendengar kata-kata bahwa ‘sebenarnya kami ini keturunan bangsawan’ dan melarang kawin dengan orang Bajo. Karena bagi mereka orang Bajo itu adalah orang yang tidak punya identitas dan budak,” cerita Erni dalam diskusi bertajuk “Ngobrol Isu-Isu Laut: Diskusi dan Bermain Game Bersama Teman Bajau” yang digelar The Room 19, Bandung, Minggu, 23 November 2025.

Selain stigma identitas dan kehidupan nomaden di laut, orang Bajau juga rentan dikriminalisasi. Banyak di antara mereka terjerat kasus hukum, terutama ketika memasuki perairan negara lain tanpa disadari, lalu dituduh melakukan pemancingan ilegal. Bagi masyarakat Bajau, laut adalah ruang hidup tanpa batas sehingga konsep wilayah perairan kerap tidak mereka pahami.

“Kami hanya bisa mengadvokasi melalui pemberitaan media yang provokatif supaya mereka mendapat perlindungan,” ujar Erni.

Sebagai aktivis, Erni telah melakukan banyak upaya untuk membantu dan mengadvokasi persoalan yang dihadapi orang Bajau, terutama melalui POSBI (Perkumpulan Orang Same-Bajau Indonesia). Ia juga menulis novel berjudul “Manusia Perahu Terakhir” setelah menjalani riset selama tujuh tahun.

Ia menulis buku tersebut untuk memberikan informasi yang valid tentang siapa sebenarnya Suku Sama/Same atau Orang Bajau. Istilah orang Bajau merujuk pada identitas Suku Sama/Same, salah satu etnis yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Mereka dikenal sebagai manusia perahu karena sebagian besar hidup di atas perahu beratap yang disebut “sappo’”.

Meski tersebar luas, keberadaan mereka kerap luput dari perhatian. Padahal, sebagai suku yang hidup di laut dan berpindah-pindah, mereka memiliki banyak keunggulan, terutama pengetahuan tentang laut dan kemampuan menyelam yang diakui.

Sebelum acara diskusi dimulai, beberapa peserta mengaku belum familiar dengan orang Bajau. Vera, salah satu peserta, mengatakan ia mengenal suku Bajau dari penjelasan dosennya. Mahasiswi Poltekpar NHI itu bercerita bahwa dosennya mencontohkan Bajau sebagai komunitas yang menerapkan gaya hidup berkelanjutan.

“Dosen aku bilang mereka hanya boleh memancing satu kali untuk makan. Jadi mereka enggak boleh mengambil berlebihan,” ujarnya.

Peserta lain, Rega, menambahkan selain soal minimnya pengetahuan publik, Rega menyinggung aktivitas di darat yang justru merugikan masyarakat laut. Pencemaran akibat pertambangan nikel ilegal, misalnya, memaksa nelayan Bajau melaut lebih jauh untuk mencari ikan.

Baca Juga: Bertandang ke Kampung Suku Bajau
Otonomi Masyarakat Adat sudah Ada Jauh sebelum Republik Indonesia Berdiri

Hidup di Era Pembangunan Infrastruktur dan Investasi

Kehidupan Suku Bajau sempat difilmkan dalam The Bajau (2019) yang dirilis Watchdoc, rumah produksi film dokumenter yang didirikan jurnalis Dandhy Dwi Laksono. Dikisahkan bahwa suku berjuluk sea gypsies itu hidup di era pembangunan infrastruktur dan investasi.

Prolog film diawali narasi miris tentang penangkapan 500 orang suku Bajau oleh pemerintah RI. Mereka dituding melakukan pencurian ikan (illegal fishing) di perairan Indonesia.

Suku Bajau tersebar di Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Namun tidak ada satu pun yang mengakui asal usul mereka. Kalaupun ada negara mau merangkul suku Bajau, negara-negara tersebut memaksa mereka tinggal di darat dan memiliki identitas kewarganegaraan.

Padahal sejak berabad-abad lalu sebelum negara-negara modern lahir, leluhur suku Bajo sudah biasa mengarungi lautan tanpa mengenal batas kontinental. “Mereka hidup berdasarkan arah angin,” demikian narasi Film The Bajau.

Namun kini, ketika mereka singgah di suatu wilayah, mereka dinilai melakukan pelanggaran batas suatu negara. Pemerintah membujuk mereka agar mau hidup di daratan dan mengantongi identitas baru sebagai orang daratan. Padahal identitas mereka pengembara laut.

Film The Bajau mengisahkan kehidupan keluarga suku Bajau yang hidup di Torosiaje, Provinsi Gorontalo, dan di Morombo, Sulawesi Utara. Para keluarga suku Bajau tersebut mengungkapkan pandangan hidupnya tentang laut, rumah, dan upaya pemerintah yang berniat membantu mereka.

Di Torosiaje, mereka hidup dalam perairan dangkal yang jernih dengan kerang dan ikan yang cukup. Mereka juga menggunakan perahu mesin, es, BBM, minyak tanah, dan bertransaksi jual beli hasil laut. Film ini menunjukan ada asimiliasi antara kehidupan tradisional suku Bajo dan perkembangan zaman.

Serding, salah seorang nelayan dari suku Bajau yang mengikuti program pemerintah untuk tinggal di daratan, mengakui mencari ikan sekarang ini lebih mudah karena ada mesin dan es. Tapi jika disuruh memilih, ia lebih kerasan tinggal di atas perahu daripada di rumah.

Meski ada mesin dan es untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan, jumlah ikan saat ini diakui Serding tak sebanyak dahulu. Menurutnya laut sudah tercemar, ikan-ikan juga terganggu oleh lalu lintas kapal-kapal besar.

Memang di daratan ia bisa menyekolahkan anaknya. Tetapi jika kesulitan biaya sekolah, anaknya kembali ke laut menjadi nelayan dengan perahu kayu sederhana dan alat tangkap ikan tradisional.

Pilihan hidup di laut juga diamini nelayan Bajau lainnya. “Orang Bajau biasa di laut harus tetap di laut,” tandas Munu. Kalaupun ada bantuan permukiman di darat, hal ini hanya formalitas saja. Ada orang Bajau yang memiliki rumah di darat tapi hidupnya tetap di laut.

Kendati demikian, kehidupan orang-orang Bajau di Gorontalo relatif lebih baik dibandingkan saudara mereka yang hidup di Morombo. Di Marombo mereka tinggal di rumah-rumah kayu sangat sederhana dan kumuh yang didirikan di laut dangkal.

Air laut di sekitar rumah mereka tampak keruh dan tercemar pertambangan nikel di seberang pantai. Kapal-kapal tongkang pengangkut pasir biji besi berlabuh di sekitar tambang. Posisi rumah warga Bajau tak jauh dari jalan yang menjadi lalu lintas truk pengangkut bahan tambang. Mereka terjepit antara daratan dan lautan.

Seorang Bajau menceritakan, dulu sebelum ada perusahan tambang, air laut di sekitar rumahnya sangat jernih dan banyak ikan. Sejak perusahaan tambang berdiri, airnya menjadi keruh, ikan-ikan menghilang. Mereka harus pergi jauh untuk mencari satu dua ikan yang merupakan makanan pokok sekaligus sumber pencaharian.

Warga juga menceritakan soal pendekatan pemerintah agar mereka mau hidup di darat. Pendekatan dilakukan oleh Dinas Sosial yang menjanjikan bantuan dan membujuk agar mereka jangan khawatir hidup di darat, anak-anak mereka bisa sekolah, juga bisa berkebun. Jika mereka tetap hidup di laut, mereka akan menghadapi situasi yang bahaya.

Mereka sempat diberi lahan untuk bercocok tanam. Namun sejak orang-orang dari luar berdatangan dan perusahaan tambang dan sawit didirikan, lahan mereka digusur tanpa ganti rugi.

Orang Bajau merasa dibodohi oleh pendatang. Mereka dilarang hidup di laut, tapi hidup di darat pun digusur. Mereka tidak bisa kerja di tambang karena tidak punya ijazah.

Di akhir film, disajikan data bahwa di Sultra terdapat 141 izin usaha tambang dan 4.000 hektar perkebunan sawit. Akibatnya, gunung, hutan, dan laut rusak parah, salah satunya di sekitar Morombo. Pada 2019 terjadi banjir di Kecamatan Asera, Oheo, dan Wiwirano. Warga mengungsi ke tenda-tenda darurat.

Warga Bajau punya keyakinan tersendiri selama hidup di lautan. Keyakinan ini mungkin tak dimilikki maupun dipahami orang-orang daratan maupun pemerintah yang memaksa mereka agar tinggal di darat.

“Kalau nyawa hilang di laut sebagai nelayan, apa boleh buat,” kata seorang Bajau. 

Bahaya maupun bencana bisa datang dari mana saja, baik di darat maupun di laut. Daratan pun tak lepas dari ancaman bencana banjir akibat dirusaknya alam.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//