• Opini
  • Estetika Bapak Aing

Estetika Bapak Aing

Gapura bergaya Candi Bentar di gerbang Gedung Sate tidak lahir dari kebutuhan publik, melainkan dari kehendak untuk menciptakan kekuatan simbolik.

Hilmy Fadiansyah

Penulis dan Pengajar. Tergabung di Highvolta Media.

Gedung Sate di Kota Bandung. (Foto: Ahmad Fikri/BandungBergerak.id)

2 Desember 2025


BandungBergerak.id – Pembangunan gapura bergaya Candi Bentar di gerbang Gedung Sate tidak bisa menjadi perbincangan angin lalu. Ini bukan sekedar kepentingan “estetis” atau penguatan identitas, namun menyangkut masalah sosial dan kultural; baik di aspek kota sebagai ruang maupun kota sebagai masyarakat yang hidup. Gedung Sate jelas memiliki sejarah panjang sebagai situs bersejarah, dan sebagian masyarakat–khususnya di Bandung–menyepakati bahwa Gedung Sate adalah warisan, bangunan yang menjadi ikon kota Bandung. Di balik itu, gedung ini merupakan simbol kekuasaan. Berdiri di pusat kota, memakan lahan yang besar dan berjarak dengan pemukiman warga. Gedung ini sudah berkali-kali mengubah wajahnya dengan sedemikian rupa sejalan bersama siapa yang menguasai kursi paling atas di dalamnya. Namun pembangunan gapura adalah persoalan lain, yang menimbulkan pertanyaan: atas dasar apa aset kota itu dibangun?

Kita mulai dari sisi tata kota, Kang Dedi Mulyadi (KDM), gubernur Jawa Barat, berargumen bahwa ini adalah hasil dari analisis ahli dan disusun berdasarkan ilmu sipil. Jika dibedah dari sisi mana pun, secara objek gerbang ini tak ada urgensinya sama sekali. Tidak ada koherensi secara visual, akulturasi yang tidak selaras antara gaya kolonial barat dan reinterpretasi bentuk candi Hindu-Buddha. Semua serba dipaksakan, estetika yang tidak berpijak ke mana-mana.

The Image of City menekankan pentingnya keterbacaan elemen visual yang jelas, Lynch dengan lugas menerangkan bahwa kota harus bisa dikenali oleh warganya. Mereka perlu untuk memahami dan mengenali kota di mana mereka tinggal. Alih-alih mengenali, gapura tersebut justru menjauhkan dari nilai-nilai tersebut. Kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Jawa Barat berargumen bahwa pembangunan gapura ini untuk memberikan citra baru dan representasi visual yang lebih kuat bagi Jawa Barat. Pernyataan tersebut jelas tak mendasar, representasi dari mana yang ingin ditampilkan.

Menciptakan “identitas baru” yang tidak sejalan dengan narasi ruang itu seperti bandit, apa yang sudah dibangun kemudian digeser menjadi bentuk simbolik yang baru. Estetika tidak bekerja seperti itu, estetika lahir dari pengalaman yang tercipta dari indra; dalam hal ini memori kolektif warga. Ketika gapura tersebut dibangun, mereka “dipaksa” untuk menyepakati simbol baru, yang lahir dengan pola menara gading. Warga diharuskan diam, disuapi santapan baru, dituntut untuk melihat hasil karya senilai 3,9 miliar.

Selanjutnya, pembangunan gapura ini bukan hanya soal estetika dan tata kota yang jelas tidak kontekstual, namun juga cacat paham para elite tentang politik ruang. Posisi warga jelas dipinggirkan, hak warga dalam konteks kultural diabaikan. Dalam hal ini, apa yang dikatakan Lefebvre tentang the production of space sangat bisa dipahami, bahwa ruang itu tidak pernah netral, ruang selalu diproduksi oleh kekuatan politik yang dominan. Artinya, gapura yang kita lihat sekarang berdiri di depan Gedung Sate bukan sekedar penanda masuk kantor Gubernur, seperti yang dikatakan KDM. Tetapi ini adalah keputusan untuk mengharuskan warga menganggap hal ini penting, menjadi “bayangan” yang diharapkan.

Baca Juga: Perda Cagar Budaya Bandung Dikhawatirkan Menghapus Heritage secara Terselubung
Mendengar Kritik Para Pelajar Bandung terhadap Kebijakan Pendidikan Gubernur Dedi Mulyadi
Gerbang Baru Gedung Sate Menuai Polemik, Antara Selera Gubernur dan Anggaran Miliaran Rupiah

Simbol Kekuasaan

Gapura ini tidak lahir dari kebutuhan publik, melainkan dari kehendak untuk menciptakan kekuatan simbolik. Menegaskan kehadiran negara sebagai pemilik panggung. Fungsi kota bukan lagi menjadi ruang publik, namun menjadi arena pertunjukan kekuasaan. Di sini warga tidak dijadikan subjek politik, melainkan sekumpulan orang yang dapat tertib dan dimobilisasi. Mereka tak perlu dilibatkan, cukup dijadikan properti untuk kebutuhan estetis gapura tersebut.

Kemarahan warga bukan berdasarkan “ramai karena ramai”, ikut komentar ketika viral. Tetapi karena warga terganggu secara struktural dan emosional. Gedung Sate pernah berkali-kali ditambahkan elemen-elemen yang tak kontekstual. Beberapa tahun lalu ketika Ridwan Kamil menjabat, Ia memasang signage bertuliskan “Taman Gedung Sate” dengan warna merah mencolok di bagian halaman belakang, yang bisa dinilai jelek saja belum. Namun dalam kasus gapura yang dibangun ketika kepemimpinan KDM, memiliki masalah lain yang berlapis. Rekam jejaknya dalam hal “keramaian” bukan sekedar main-main untuk dibaca.

Tanggal 18 Juli 2025 menjadi petaka bagi warga Garut, di mana tiga orang meninggal saat pesta rakyat di pernikahan anaknya. Hal ini tak bisa dibaca sebagai musibah yang “kebetulan”, ini adalah hasil dari sistem pertunjukan yang tak pernah didesain dengan benar, yang didesain hanya lampu sorot dan keramaian. Karena yang penting “panggung” tetap hidup, bagaimanapun caranya.

Bentuk seperti ini adalah sajian feodal: kekuasaan tampil gemerlap, panggung dibangun berjarak, warga hanya bisa menonton dari jauh, dan mereka bukan sebagai pemeran, tetapi sebagai pengisi agar suasana tampak meriah. Ini bukan bentuk kedekatan dengan warga, mereka tak pernah ditanya untuk terlibat. Karena dalam model kekuasaan seperti ini, warga hanyalah populasi, dihitung dalam kalkulator.

Pola yang berulang ini seperti kebijakan pada barak. Siapa yang dianggap “mengganggu” akan didisiplinkan dengan cara militer, yang menyusahkan akan ditertibkan. Semua harus bisa diatur. Ini bukan persoalan kebijakan saja, tetapi ini adalah obsesi, bagaimana cara-cara feodal seperti zaman kerajaan diterapkan kembali. Raja duduk di singgasana, rakyat harus tunduk atas aturan.

Hal ini tercermin kembali saat pembangunan gapura di Gedung Sate, melihat “panggung” yang tak bisa disentuh, dan tak diberi ruang untuk menyentuh. Gedung Sate sendiri adalah simbol kekuasaan, letak di mana semua akses warga ditutup. Ia bukan lahir sebagai simbol kota, tak pernah mewakili kehidupan warga. Gedung tersebut hanyalah aset politik, cagar budaya hanya jadi latar dibalik hiruk-pikuk raksasa. Ditambah dengan adanya gapura baru, diciptakan untuk ritual simbolis sebuah citra politik.

Gapura tersebut mungkin hanya dandanan baru, dari pola lama yang akan terus berulang. Selama gaya otoriter ini berlangsung, “kebiasaan” ini akan terus berlanjut; warga akan terus diperintahkan untuk patuh, ramai sedikit masuk ke konten, diviralkan kemudian dipermalukan. Di kemudian hari mungkin akan ada “gapura-gapura” lainnya, yang membentuk relasi kuasa bagi siapa yang boleh bersuara dan tidak. Bangunan akan berbeda, namun logikanya tetap sama.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//