• Kolom
  • JURNAL BUNYI #25: Narasi Eksil Tubuh dan Bunyi

JURNAL BUNYI #25: Narasi Eksil Tubuh dan Bunyi

Bunyi bekerja dalam wilayah yang tak ingin benar-benar dihampiri manusia, wilayah yang menuntut keheningan dan keberanian untuk menutup mata.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Mauricio Kagel Staatstheater: Repertoire (1967-1970). (Foto: Dokumentasi Abizar Algifari Saiful)

3 Desember 2025


BandungBergerak.id – Makan di warung tegal mengajak tubuh untuk masuk dalam teritorial kultur lain. Indra disuguhkan dengan bermacam teks yang kaya rasa. Tak banyak berbelit, pramusaji mulai memainkan peran pentingnya. Tawarannya banyak, tinggal pilih komposisi teks seperti apa yang kita inginkan. Bila sudah, tinggal memilih untuk duduk di mana. Atraksi teks dalam ruang berkelindan dengan wewangian rempah. Musik remix angklung pantura menemani di tengah proses mengunyah. Berada di ruang tersebut, tubuh dijejal dengan teks, vibrasi kultural yang menghantam dinding-dinding konsepsi yang dibawa dari rumah.

Tubuh biologis terus mencari perannya dalam jagat kultural. Kehadiran tubuh menjadi cikal bakal adanya persepsi. Sejatinya, alam semesta berdiri tegak tanpa iming-iming apa pun; tidak mau disisipi arti, makna, atau tafsir. Tubuhlah yang menjadikan lukisan yang indah, musik yang mengusik, tarian yang menawan, puisi yang katarsis, dan doa yang ..... [diam]–seperti yang Sutardji bilang. Apakah tubuh akan tersingkir dekat-dekat ini? Ataukah tubuh akan menyamun alam semesta dengan konsepsi dan anggapan semu? Perlahan tubuh bergerak ke sana. Kuasa logis kerap mematikan alur jagat yang semestinya. Mesti ke mana tubuh bergerak? Mesti ke mana tubuh hinggap? Mesti ke mana tubuh menyelinap? Dan mesti di mana tubuh menginap?

Gerak adalah senjata tubuh untuk berucap. Atas gerak bunyi terucap. Atas gerak tangan mengusap. Atas gerak hati tertambat. Tubuh sebagai indung gerak berupaya menjelajah dan menyingkap apa yang terjadi pada alam semesta kini. Apakah tubuh bagian terpisah dari alam semesta? Apa perannya di sini: penyeimbang atau sebaliknya? Sememangnya, tubuh terus mendaras untuk tetap akur. Namun, tubuh bukan kaleng kosong, ia gelas yang dapat diisi dengan apa pun. Mulai dari air hingga sampah mendapat haknya untuk menetap. Siapa yang mengizinkan? Tentunya, sang pemilik tubuh.

Bunyi–lanjutan halus dari gerak–menyimpan kuasa yang tak selalu kita sadari, seolah ia datang dari celah yang tak pernah berhasil dipetakan. Ia dapat memenuhi gelas tubuh dengan ingatan yang lama hilang, atau justru mengacaukannya hingga kita tak lagi mengenali apa yang menetap di dalam diri. Ada kegaiban yang membuat bunyi bekerja tanpa perlu permisi: ia mengetuk, merembes, lalu mengubah arah perasaan. Pesan-pesan afeksi itu, yang kadang hanya berupa getar kecil, menjadi santapan yang menegakkan kembali kesadaran bahwa tubuh ingin terus hadir, ingin terus menyatakan bahwa keberadaannya tidak pernah selesai, sebab bunyi selalu memanggilnya untuk kembali mendengar dirinya sendiri.

Baca Juga: JURNAL BUNYI #22: Angklung Sered, Duel Dalam Kedamaian
JURNAL BUNYI #23: Pekik-pekuk Syahdu Tarantula
JURNAL BUNYI #24: Ngurulung Angklung di Kota Bandung

Tubuh dalam Narasi Visual

Mauricio Kagel dalam Repertoire aus Staatstheater berupaya untuk meleburkan tubuh dan bunyi menjadi teks yang lain, entah apa namanya. Dalam pertunjukannya, tubuh amat menjadi topangan bunyi. Setiap aksi yang dilakukan tubuh, mewakilkan teks tubuh-bunyi (baca: teks yang baru). Tidak lagi menyoal ini dari mana dan untuk apa, namun ini adalah proses pencariannya. Tubuh-bunyi menyihir dan menggeser hipotesis mapan tentang posisi tubuh dan bunyi. Alih-alih memagarnya dengan istilah konsep atau gagasan, Mauricio Kagel meruntuhkan dan mengembalikannya pada “teks” lahiriah. Apa ini adalah sebuah penghancuran? Ataukah jalan menuju hulu, tempat awal mulanya?

Keraguan selalu mampir dan berbisik pelan: aku tidak akan pergi. Ia hadir seperti bayangan yang mengikuti langkah, tak pernah benar-benar lenyap meski cahaya berubah. Apa yang tampak sebagai kemuskilan sering kali hanyalah dinding imaji yang memantulkan bentuknya sendiri–bias, rapuh, namun cukup kuat untuk membuat kita berhenti sejenak. Dalam pencarian teks liyan yang lahir dari tubuh dan bunyi, rasa dingin itu muncul: seolah ada jarak yang tak bisa segera dijembatani. Tubuh ingin mengucap, bunyi ingin meruang, namun keduanya belum menemukan bahasa yang sepenuhnya akrab. Di tengah jeda itu, kita belajar menerima bahwa keraguan bukan musuh, melainkan penanda bahwa pencarian masih berlangsung. 

Alangkah bebasnya tubuh anak-anak; mereka bergerak tanpa beban tujuan, seolah dunia adalah halaman luas yang tak mengenal pagar. Mereka berlari, melompat, berguling, lalu tertawa tanpa perlu menegaskan makna apa pun. Wahana permainan mereka tidak dibatasi aturan - hanya dibimbing oleh naluri yang jernih. Teriakan yang pecah atau bisikan yang nyaris hilang sama-sama diberi tempat, sebab bagi anak-anak tak ada yang benar, tak ada yang salah; semuanya adalah kemungkinan. Mereka berseloroh dengan dirinya sendiri, dengan temannya, dengan imajinasi yang tak pernah menua. Di sanalah tubuh mencapai bentuknya yang paling magnifiken: menjadi keberadaan yang merayakan hidup tanpa syarat, tanpa konsep, tanpa rasa takut untuk keliru.

Tubuh banyak diakui dalam narasi visual. Kaum minoritas seperti bunyi, menganggap dirinya hadir seorang diri. Mengapa? Apakah manusia takut untuk memejamkan mata? Apakah manusia takut akan kegelapan? Apakah manusia takut akan kesendirian? Padahal mata dan telinga hinggap di satu kepala. Rambu-rambu lalu lintas lebih mudah dibuat, dibandingkan rambu-rambu mendengarkan. Sunyi (baca: jeda) dalam obrolan dihindari, seakan-akan untuk menutupi stigma "lo gak asik". Padahal mata dan telinga ditaruh lebih tinggi dibandingkan mulut. Jumlahnya pun kalah: mata dua, telinga dua, mulut satu. Apakah itu pertanda? 

Mungkin karena itulah bunyi kerap merasa tersisih: ia bekerja dalam wilayah yang tak ingin benar-benar dihampiri manusia, wilayah yang menuntut keheningan dan keberanian untuk menutup mata. Dalam ruang semacam itu, tubuh kehilangan pegangan visualnya dan harus bersandar pada getaran yang lebih samar. Di sana, bunyi sebenarnya menawarkan kedekatan yang tak dimiliki cahaya–kedekatan yang menyentuh tanpa harus melihat. Tetapi kedekatan itu sering disalahpahami sebagai ancaman. Kita takut pada apa yang tak memiliki bentuk. Kita gelisah ketika arah tidak digambar. Justru dalam kegelisahan itu, tubuh mulai sadar bahwa bunyi bukan pelengkap, melainkan pintu menuju kemungkinan persepsi yang lain.

Jalinan visual yang dirajut oleh Kagel memang tak dapat disalahkan; ia seperti seseorang yang sejak awal telah mencium bau eksil yang mengendap di balik tubuh. Ia tahu bahwa tubuh visual–yang selama ini dipuja, dipertontonkan, diberi hak istimewa–menyimpan kehausan yang tak terkatakan. Dari sanalah percik gagasan itu muncul: menukar posisi tubuh dan bunyi, menjungkirkan hierarki yang lama dianggap mapan. Seluruh aksinya, yang tampak ganjil sekaligus menggoda, adalah upaya untuk menyatakan pertukaran itu: kamu jadi aku, aku jadi kamu. Sebuah eksperimen yang bukan sekadar permainan estetis, tetapi usaha untuk kembali pada asal-usul persepsi, tempat tubuh dan bunyi pernah berdiri tanpa jarak.

Untuk menutup tulisan ini, mari sama-sama berdoa: “Ya Tuhan, terima kasih atas pemberian-Mu ini, walau akal kerap membuat semuanya kabur dan rancu, kami tetap dapat menikmatinya.”

 

***

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Jurnal Bunyi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//