• Kolom
  • JURNAL BUNYI #23: Pekik-pekuk Syahdu Tarantula

JURNAL BUNYI #23: Pekik-pekuk Syahdu Tarantula

Pertunjukan musik Ansambel Tikoro bertajuk Tarantula karya Robi Rusdiana bertumpu pada eksplorasi suara tenggorokan dalam pertunjukkan layaknya pertandingan tinju.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Pertunjukan Musik Ansambel Tikoro kayra Robi Rusdiana bertajuk Tarantula. (Foto: Abizar Algifari Saiful)

2 September 2023


BandungBergerak.id – Tarantula. Yang terlintas pertama adalah nama satu jenis serangga; bagi sebagian orang menyeramkan. Begitu pun saya, ketika mendapatkan undangan pertunjukan dari Robi Rusdiana atau akrab saya sapa Kang Robi.

Membaca judul pertunjukan “Tarantula”, menyeret saya untuk mengira kesan afektif apa yang muncul nanti ketika menyaksikan pertunjukan tersebut. Apa benar seram? Ataukah kebalikannya; ada kejutan di sana? Pikiran gelisah tak sabar menunggu.

Judul tersebut membuat bingung sekaligus penasaran, apa yang akan terjadi pada pertunjukan nanti. Tertulis pula kalimat “Etude Show for Extreme Vocal and Shadow Boxing”, makin lama saya melamun. Apakah saya akan merasakan pukulan dalam pertunjukan tersebut? Atau saya akan menyaksikan pertunjukan dalam sebuah ring tinju? Itu anggapan awal saya.

Komposisi warna hitam, oranye, dan merah dalam poster menciptakan kesan seram, garang, keras, pekik, serta, suasana serupa lainnya. Pertunjukan tersebut digelar pada tanggal 22 Juni 2023, di Gedung Haji Hasan Mustapa, Universitas Pasundan, Bandung, pukul 19.00 WIB.

Malam itu, saya datang lebih awal. Beberapa penampil sedang berbincang sembari meregangkan tubuh; siap-siap untuk tampil. Segenap penonton sudah berdiri di depan gedung pertunjukan. Sorot lampu mempertajam ciri, bahwa akan diadakannya satu acara di sini. Baliho terpampang di sebelah kanan gedung. Kru pertunjukan berlalu lalang, mempersiapkan dan memastikan semua hal teknis sudah baik.

Dari luar sempat saya mengintip ruangan pertunjukan yang menurut saya mencekam. Tampak kursi berwarna hitam diselimuti sarang laba-laba buatan – yang pada awalnya saya mengira itu adalah benang pembatas. Suasana mencekam semakin menjadi ketika asap buatan mulai membalut ruangan pertunjukan. Asap terjebak di sana. Lama kelamaan, asap tersebut seperti kabut yang menghalangi jarak pandang mata. Tapi asyik juga. Kernyit pada muka penonton menandakan rasa penasaran yang tinggi.

Baca Juga: JURNAL BUNYI #20: Infinite Gameland Sesi 2, Melepas, Bebas, agar tak Tandas
JURNAL BUNYI #21: Gamelan dan Sekolah
JURNAL BUNYI #22: Angklung Sered, Duel Dalam Kedamaian

Musim Ansambel Tikoro

Saatnya tiba. Panitia sudah mempersilakan untuk masuk ruang pertunjukan. Ketika awal memasuki ruang tersebut, bentuk panggung sedikit berbeda dengan panggung pada umumnya. Memang, ruangan tersebut menyediakan panggung, tetapi dihiraukan begitu saja. Malahan, komposer lebih tertarik mengeksplorasi panggung di area kursi penonton.

Saya duduk di kursi yang menghadap pintu masuk. Untuk memperjelasnya, saya akan mendeskripsikan posisi penonton dan di mana penyaji akan tampil.

Kursi penonton disusun membentuk persegi. Keempat sisinya diberi celah di bagian tengah sebagai lalu-lalang penyaji. Di titik pusat persegi ditaruhnya dua pengeras suara yang saling membelakangi. Penyaji lebih banyak beraktivitas di empat bagian sudut yang telah disiapkan mikrofon beserta stand part untuk menyandarkan partitur musik. Di luar sisi kursi sebelah kanan terdapat satu meja yang terdapat satu laptop dan perlengkapan pengolah bunyi. Bila dilihat dari atas, posisi ini mirip dengan ring tinju. Tentunya setelah melakukan penyesuaian konsep pertunjukannya.

Tikoro yang berarti tenggorokan merupakan mesin andalan Ansambel Tikoro dalam mengeksplorasi suara. Mesin tubuh tersebut dikawinkan dengan mesin bertubuh dingin. Mampu mengobrak-abrik suara tenggorokan menjadi suara-suara trans.

Sebelum pertunjukan dimulai, Kang Robi beserta kawan-kawannya duduk di depan sambil ngobrol santai membahas apa yang akan dilakukan dia dan kelompoknya malam ini. Ternyata, karya yang akan dimainkan berdasar pada etude (cara/metode latihan) yang ia susun untuk ansambelnya. Etude sendiri merupakan komposisi musik yang dibuat khusus untuk melatih teknik tertentu.

Ada 10 nomor karya yang akan disajikan. Judul persisnya saya belum menangkap jelas dari setiap nomor karya. Tidak terlalu lama berdialog, mereka pun bersiap untuk memulai pertunjukan.

Layaknya pertandingan tinju, yang membuka pertandingan adalah wasit. Satu orang menjadi ”wasit” pertunjukan. Untuk memanggil para pemusik, wasit memberikan prolog pembuka yang energik dan abstrak. Perlu mengernyitkan kening untuk memahami perkataan wasit. Kata-kata yang diucapkan wasit bayang. Wasit sengaja bergumam untuk mengacaukan kata asli yang keluar dari mulutnya. Satu per satu pemusik disebut dan muncul dengan aksi seperti pemain tinju. Setiap pemusik yang sudah dipanggil wasit menempati setiap penjuru kursi penonton.

Setiap nomor karya, wasit juga yang memberitahukan. Dalam tulisan ini, saya tidak akan menguraikan setiap nomor karyanya. Namun, lebih pada menelisik beberapa fenomena yang menarik dari pertunjukan tersebut.

Dari awal hingga akhir pertunjukan bertumpu pada eksplorasi suara tenggorokan dan beberapa bunyi olahan komputer. Untuk durasi pertunjukan 60 menit, karya ini membutuhkan ketahanan mendengarkan yang cukup. Pasalnya, setiap nomor karya memiliki bahan yang sama, namun dengan penyusunan unsur musikal yang berbeda.

Saya baru pertama kali menyaksikan pertunjukan yang menyuguhkan karya musik untuk latihan (etude). Saya kira, biasanya karya musik untuk pertunjukan memang sengaja dibuat khusus. Alih-alih menjemukan, ternyata pertunjukan ini membawa kesan baru. Demokratisasi selera disodorkan. Mengajak indra pengecap rasa “enak” menikmati hidangan di luar rutinitas. Telinga setiap penonton dimanjakan dengan geraman, hantaman, dan teriakan. Dan saya lihat, mereka menikmatinya.

Pertunjukkan Ketahanan

Saya baca, pertunjukan ini terinspirasi dari action music. Memang bukan tawaran yang benar-benar baru. Namun, sajian seperti ini patut dibiasakan disuguhkan kepada publik, khususnya di Bandung. Menyoal inovasi musikal, seniman Bandung sungguh agresif akan itu. Tetapi masih ada dominasi selera. Saya kira, musik yang menggandeng genre pop itulah yang familier. Bukan memaksa pula. Kiranya, menu lain patut ditawarkan kepada masyarakat. Ada loh, karya seperti ini. Cobain deh, rasa yang ini. Setidaknya, dengan begitu ada variasi baru dalam berkesenian, khususnya musik.

Musik pun dapat dipandang tidak dari bunyinya saja. Seluruh indra kita dapat dikerahkan untuk mencerap musik. Ansambel Tikoro cerdik dan berani membuka jalan tersebut. Melibatkan aksi tubuh di dalam pertunjukan musik, yang dikira hanya bunyi saja.

Material pengolahan suara Ansambel Tikoro tidak saja berpijak dari vokal musik bawah tanah. Beberapa teknik gangsa dalam vokal dalang wayang golek juga turut diolah. Tepatnya pada etude nomor 5. Secara auditif, bunyi yang dihasilkan memiliki warna yang nyaris sama. Suaranya berasal dari tenggorokan dalam. Bunyinya dalam dan sedikit kasar. Bila dibunyikan secara bersamaan dengan dinamika yang keras, telinga seakan dikepung dan dikunci untuk tidak ke mana-mana.

Untuk menghasilkan bunyi seperti ini membutuhkan tenaga yang lebih. Mungkin bagi Ansambel Tikoro hal tersebut sudah biasa. Salut dengan ketahanan vokalnya. Tenggorokannya dipertaruhkan selama satu jam. Bila orang yang belum terlatih mungkin sudah sakit dan hilang suaranya. Ditambah ada teater boxing dalam pertunjukan musiknya. Tidak hanya tenggorokan, seluruh tubuh dipacu untuk menyampaikan maksud terselubungnya.

Tubuh pesuara itu melantunkan bunyi pekik, berat, dalam, dan menyayat. Terkadang main-main di pekarangan depan sebentar. Warna hitam, merah, oranye, dan biru mengajak suara-suara mereka untuk merdeka; tak diganggu oleh sekat harus begini atau harus begitu. Namun, musik bawah tanah sebagai nenek moyangnya duduk dalam jajaran tamu terhormat. Sajian suara mereka menyerbu telinga pendengar dari berbagai sudut – seperti dikeroyok.

Empat sudut, empat tubuh, empat vibrasi saling pukul dan sikut untuk mempertentangkan kemapanan harmonisasi. Dibungkus suasana ragawi yang menantang, eksplorasi suara tenggorokan menjadi lain. Bersengkarut dengan ekspektasi penonton, mereka sedikit demi sedikit menyampaikan jawabannya.

Menyoal tentang musik tak hanya sekadar bunyi belaka. Tubuh sebagai sumber bunyi berhak mendapat peran utama. Dan mereka melakukan itu. Aktivitas olahraga boxing meramu aksi sebagai bagian daripada bunyi itu sendiri. Agaknya mereka jarang dipertemukan. Namun sememangnya, mereka adalah saudara yang mampu membaur. Melayani manusia yang kehausan akan tatapan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//