• Kolom
  • JURNAL BUNYI #21: Gamelan dan Sekolah

JURNAL BUNYI #21: Gamelan dan Sekolah

Belajar gamelan bukan hanya perkara mempelajari alat musik semata. Gamelan dapat dijadikan sebagai simulasi berkomunikasi dalam lingkungan sosial.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Seperangkat alat musik gamelan. (Foto: Abizar Algifari Saiful)

13 Maret 2023


BandungBergerak.id – Ada apa antara gamelan dan sekolah? Apakah ada hubungan antara mereka? Sudah berapa lama mereka saling mengenal? Mengapa mereka harus dipertemukan? Muncul beberapa pertanyaan absurd dalam diri. Kali ini, saya akan membahas dan ngalor-ngidul tentang gamelan dan sekolah. Sebenarnya, adakah hubungan di antara keduanya? Timbal balik apa yang terjadi? Adakah komunikasi yang terjalin di antaranya? Tentunya akan menyita waktu untuk menjawab satu per satu pertanyaan tersebut. Namun, khususnya dalam tulisan ini, saya akan mencubit sedikit permasalahan dan menghidangkannya pada pembaca: apa pentingnya belajar gamelan? Dengan fokus pembelajaran gamelan di sekolah.

Gamelan memang sudah lama hidup di tanah Nusantara. Begitu pun di Sunda. Gamelan hadir berdampingan dengan masyarakatnya. Sejarah membuktikan bahwa gamelan sudah melewati berbagai zaman, situasi, dan kondisi. Alat musik satu ini pun tidak mati seperti kata depannya "alat". Gamelan hidup sebagai alat komunikasi dalam berbagai konteks sosial. Pesan yang disematkan bermacam sesuai dengan tuan yang menabuhnya.

Usianya yang tak muda lagi membuat gamelan menjadi saksi bisu bahkan menjadi tempat kita bertanya: kenapa kamu bisa hidup hingga saat ini? Dengan begitu banyak fenomena alam dan sosial yang terjadi, bagaimana kau bertahan hidup? Apakah karena tubuhmu yang terbuat dari kayu dan logam? Ataukah hasil jerih payah tuanmu yang mengurus dengan telaten? Semua berhak atas hadirmu di atas muka bumi ini. Seluruh kalangan, mulai dari sunan hingga petani disinggahi tanpa batas dan rasa sungkan.

Silaturahmi yang dilakukan gamelan berdampak pada banyaknya orang yang ingin mempelajarinya. Lingkupnya tidak berbatas. Formal, non formal, dan informal menganggap gamelan merupakan salah satu media belajar kesenian tradisi. Ini sebagai asumsi awal yang disimpulkan dari pengalaman saya mengajar gamelan. Yang tradisi, tentu saja yang tua dan kuno; begitu anggapan sebagian orang.

Meskipun gamelan diakui keberadaannya, namun rasanya (wirasa) masih belum terasa. Gamelan hanya sebuah benda mati tanpa ditabuh (dibunyikan). Manusianyalah yang perlu menghidupkan rasa tersebut. Mengajak gamelan berinteraksi dan membawanya hidup dalam gaibnya bunyi yang syahdu.

Baca Juga: JURNAL BUNYI #20: Infinite Gameland Sesi 2, Melepas, Bebas, agar tak Tandas
JURNAL BUNYI #19: Infinite Gameland Sesi 1, Membebaskan Belenggu Kuno pada Gamelan
JURNAL BUNYI #18: Pakalangan Kaul (Lawas yang Dirindukan)
SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #12: Rekam Jejak Majalah Swara Cangkurileung

Belajar Gamelan di Sekolah

Sekolah merupakan salah satu tempat yang disinggahi gamelan. Tentunya dengan misi tertentu. Sesuai dengan sumber daya manusia yang ada. Adanya gamelan di sekolah menjadi harapan bagi para murid untuk dekat dengan alat musik buatan ibunya (Indonesia).

Sebutan “gamelan” mencakup seluruh alat musik atau waditra yang ada di dalamnya. Gamelan sendiri merupakan salah satu bentuk ansambel musik. Berbeda dengan orkestra, gamelan didominasi oleh alat musik idiophone (tubuhnya sebagai sumber bunyi; bisa dimainkan dengan cara dipukul), contoh: saron, bonang, cempres, gong, dan kenong. Mereka adalah satu keluarga. Setiap suara amat berarti perannya. Satu sama lain saling menguatkan, melengkapi, menopang, mengisi, dan pada akhirnya menjadi satu.

Istilah gamelan digunakan di berbagai daerah ekosistem gamelan itu berasal, seperti di pulau Jawa, Bali, dan Minang. Kiranya, tiga daerah ini yang menjadi rumah bagi gamelan. Namun, untuk mengerucutkan perbincangan, konteks pembahasan kali ini akan fokus pada gamelan dengung. Karena saya lebih banyak berjumpa dengan jenis gamelan yang satu ini. Dan, banyak sekolah di Jawa Barat pun memiliki gamelan degung.

Penting jika kali ini judul “gamelan dan sekolah” berangkat dari pengalaman saya ketika melakukan pembelajaran gamelan degung di sekolah. Mengapa gamelan degung yang selalu disediakan di sekolah? Ya, alasan kuat pertama adalah gamelan degung merupakan gamelan yang mencirikan budaya Sunda; kedua, gamelan degung memiliki jumlah waditra (alat musik) yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah waditra pada gamelan Jawa dan Bali. Dapat menyesuaikan dengan isi dompet sekolah.

Di awal perjumpaan anak-anak dengan gamelan degung berjalan kikuk. Ketika saya menunjuk salah satu instrumen musik (waditra) dan bertanya kepada anak-anak di kelas itu: apa nama alat musik ini? Dua orang dengan suara berbisik dan ragu menjawab, “Saron, pak”. Saya pun melanjutkan menunjuk instrumen lain dan bertanya kembali. Hanya 20 persen anak-anak yang mampu menjawabnya. Bahkan di beberapa kelas tidak ada sama sekali. Apakah ini suatu hal yang wajar terjadi? Ataukah ini bukan merupakan hal penting yang harus dibahas? Setiap orang berhak atas jawabannya masing-masing. Namun, hemat saya, kejadian ini tidak baik-baik saja. Padahal instrumen musik ini merupakan saudaranya sendiri yang muncul dari tanah yang sama. Di sini saya tidak ingin menyalahkan siapa pun. Ini merupakan salah satu refleksi kita bersama terkait kegiatan pembelajaran seni di sekolah.

Ketika saya mulai mengajak anak-anak untuk menabuh gamelan, tampak wajah yang kebingungan. Namun, sejalan dengan adaptasinya terhadap alat musik tersebut, anak-anak malah lebih penasaran dan ketagihan menabuh setiap waditra yang ada pada ansambel gamelan. Dari sini saya berpikir, selama ini jangan-jangan bukan karena anak-anak tidak suka dengan belajar gamelan. Mungkin, dugaan saya sementara, anak-anak tidak dicoba untuk dekat dan kenal dengan gamelan. Kiranya, anggapan anak-anak tentang gamelan yang kuno menjadi menipis dan hilang ketika mereka memainkannya. Mereka pun terlihat antusias dengan tugas membunyikan setiap alat musiknya.

Tak kenal maka tak sayang, gamelan pun begitu. Sepertinya, tembok penghalang terbesar terkait pembelajaran musik tradisi di sekolah adalah pandangan awal: anak-anak akan bosan, anak-anak tidak antusias, anak-anak tidak tertarik; yang jangan-jangan tidak pernah terjadi.

Makna Pembelajaran Gamelan

Belajar menabuh gamelan bukan hanya perkara membunyikan sebuah waditra (alat musik). Jika hanya membunyikannya saja, semua orang pasti bisa. Pembelajaran gamelan menuntut peserta untuk ikut menyatukan rasa dan saling dengar. Namun, pernyataan ini merupakan celoteh beberapa kalangan saja; belum masuk tahap pelaksanaan. Mengapa? Banyak faktor. Mulai dari fasilitas yang memang tidak ada hingga metode pembelajaran yang dilakukan masih belum tepat. Belajar gamelan sama dengan belajar mata pelajaran atau ilmu lainnya. Ada tahapan yang perlu dilewati satu per satu. Umumnya, pemain awam akan langsung menabuh salah satu waditra dalam gamelan karena penasaran dengan bunyinya. Bagus. Ini merupakan awal yang baik. Rasa penasaran mulai tumbuh dan langsung terjun melakukan eksplorasi.

Kegiatan berlatih gamelan menuntut siswa untuk membunyikan setiap alat musiknya tanpa menutupi suara teman lainnya. Jika suara waditra yang dibunyikan terlalu keras akan menutup dan dominasi suara menyebabkan ketidakseimbangan. Begitu pun sebaliknya. Seluruh waditra harus dibunyikan sesuai dengan porsi dan perannya. Hemat saya, ini merupakan salah satu pembelajaran yang penting. Tidak hanya pada konteks pembelajaran musik saja. Peserta didik dapat menghubungkan dan menyimpulkan dengan konteks kehidupan nyata. Pelajaran saling menghargai, toleransi, rendah hati, dan tidak congkak, dapat ditemukan dalam pembelajaran gamelan.

Relasi aktivitas seni dengan kehidupan nyata, kiranya dapat menjadi satu media penyampaian yang tepat dan efektif; peserta didik dapat langsung merasakannya. Keseimbangan diperlukan di sini. Saling dengar, saling respons, saling menjaga, dan berjalan pada lintasan masing-masing, merupakan kegiatan yang secara tidak sadar mereka pelajari ketika belajar gamelan.

Gamelan dan sekolah agaknya dapat menjadi sahabat sejati. Belajar gamelan bukan hanya perkara mempelajari alat musik saja. Jauh dari pada itu, pembelajaran gamelan memiliki manfaat yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Bukan hanya melatih peserta didik meningkatkan kualitas musikalnya, gamelan dapat dijadikan sebagai simulasi berkomunikasi dalam lingkungan sosial. Walaupun pernyataan ini masih akan menguap, setidaknya kegiatan ini dapat dicoba sebagai alternatif pembelajaran berbasis kearifan lokal.

Gamelan sebagai harta karun yang dimiliki, pantasnya dapat diberlanjutkan kebermanfaatannya. Jangan sampai manfaatnya dirasakan terlebih dahulu oleh negara yang bukan rumahnya. Sepertinya sudah terjadi. Beberapa negara sudah memasukan pembelajaran gamelan kepada kurikulum sekolahnya. Seperti yang diartikulasikan di depan, kepiawaian dalam menabuh bukan tujuan utamanya. Peserta didik, secara tidak langsung ikut ‘menjadi’ setiap waditra-nya. Perlu berjalan bersama untuk menghasilkan sebuah keharmonisan bunyi. Kalau gamelan saja harus berjalan (bunyi) bersama untuk menemukan suatu keharmonisan, bagaimana dengan manusia?

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//