• Narasi
  • JURNAL BUNYI #19: Infinite Gameland Sesi 1, Membebaskan Belenggu Kuno pada Gamelan

JURNAL BUNYI #19: Infinite Gameland Sesi 1, Membebaskan Belenggu Kuno pada Gamelan

Gamelan mampu melebur dengan genre musik apa pun, mulai dari pop, jazz, rock, hingga metal, seperti terlihat pada Infinite Gameland di Kampus UPI, Bandung.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Pertunjukan Infinite Gameland di Ampiteater Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Senin 10 Oktober 2022. (Foto: Abizar Algifari Saiful/Penulis)

18 Oktober 2022


BandungBergerak.idBila mendengar kata gamelan, mungkin sebagian orang akan langsung beranggapan musiknya sudah kuno atau musiknya sudah ketinggalan zaman. Memang, konsepsi ini perlu dimafhumi. Pasalnya, banyak genre musik yang ditawarkan kepada masyarakat, dan mereka berhak memilih, mana yang ingin didengar dan dinikmati. Derasnya hantaman arus pergerakan musik membuat gamelan perlu mempertahankan dirinya. Jangan sampai terbawa atau bahkan lenyap digulung ombak globalisasi.

Berbeda dengan pandangan kebanyakan masyarakat di luar, ansambel gamelan Kyai Fatahillah optimis dengan keberadaan gamelan. Tidak hanya secara fisik, dibaca dari sisi gagasan kekaryaannya, gamelan mampu berkelindan dengan zaman apa pun. Kelompok gamelan pimpinan komposer Iwan Gunawan ini sudah puluhan tahun bergelut dengan gamelan. Mengeksporasi gamelan dalam kemungkinan musikal yang tidak dilakukan pada karya musik gamelan sebelumnya (tradisi). Ini merupakan suatu hal yang penting, demi eksistensi gamelan di masyarakat Indonesia, lebih luasnya dunia. Sudah sahnya gamelan diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda mengisyaratkan bahwa gamelan bukan saja milik warga Indonesia, tetapi milik warga dunia. Pernyataan ini bukan memberikan kepemilikan gamelan kepada negara lain, tetapi gamelan sudah diakui keberadaannya oleh dunia internasional.

Sememangnya, inovasi musikal yang dilakukan oleh Iwan gunawan dan gamelan Kyai Fatahillah mengehembuskan angin segar bagi perkembangan karawitan Sunda. Walaupun dalam perjalanannya tidak semulus yang dibayangkan. Bagi seorang kreator hal tersebut sudah dapat dipastikan akan terjadi. Tidak mengapa banyak yang kontra, namun langkahnya ini, hemat saya, satu buah gerakan meningkatkan warna-warni repertoar gamelan di Indonesia.

Tetap, saya berpegang bahwa tradisi bukan sebuah barang antik yang hanya dapat dinikmati di satu momen. Tradisi selalu memperbaharui dirinya dengan kreativitas; terus mencari dan tetap mencari. Bentuk fisiknya sama, yakni gamelan. Namun, gagasan berpikir dan garapnya yang dapat terus diperbaharui; bahkan, memungkinkan pula fisiknya dimodifikasi.

Baca Juga: JURNAL BUNYI #18: Pakalangan Kaul (Lawas yang Dirindukan)
JURNAL BUNYI #17: Apa Pentingnya Mengenal Alat Musik Tradisi Sunda (Daerah)?

Infinite Gameland di Kampus UPI

Pada tanggal 10 Oktober 2022, gedung Ampiteater, Universitas Pendidikan Indonesia, digempur dengan bebunyian alat musik idiofon yang datang dari dunia lain. Infinite Gameland, merupakan tajuk yang diusung oleh ansambel Kyai Fatahillah untuk mewakilkan konser gamelannya.

Kata infinite sendiri diambil dari bahasa Inggris yang berari tak terbatas. Kata Gameland (bukan gamelan) dibubuhkan untuk mengartikulasikan bahwa gamelan merupakan wahana bermain (eksplorasi) yang luas dan tak terbatas, begitu yang dikatakan Slamet Abdul Sjukur. Berpijak pula pada pernyataan I Wayan Sadra yang ingin membebaskan bunyi dari beban kulturnya, ansambel Kyai Fatahillah amat bergairah untuk terus mencari jalan baru dalam memperlakukan gamelan. Antusiasme penonton yang berasal dari kalangan mahasiswa, akademkus, sampai masyarakat umum, begitu tampak. Karya-karya yang disuguhkan dalam konser ini begitu segar. Menawarkan kepada apresiator santapan musik lian dengan cara pengolahan unsur musik yang beragam.

Konser Infinite Gamelan dibagi menjadi dua sesi pertunjukan. Sesi satu diselenggarakan pukul 13.00 hingga pukul 16.30. Sedangkan, sesi dua dimulai pukul 19.30 sampai 22.00. Pengelompokkan sesi satu dan dua dibagi berdasarkan jenis suguhan cara garap gamelan. Sesi satu, bisa saya bilang lebih nge-pop dibandingkan dengan yang sesi berikutnya. Sajian musik gamelan di siang hari lebih ramah telinga dan selera masyarakat pada umumnya. Ansambel Kyai Fatahillah menamai suguhan ini dengan sebutan gamelan big band. Ada 10 daftar karya musik yang dibawakan pada sesi ini, yaitu Maskumambang (Restu), Sisindiran (Aji Nalendra), Kindcangkeling (Aditya Anugraha), Ojo Maning Keke (Hendra Jatmika, Iwan Gunawan, dan Dody M. Kholid), Sekar Jepun (Harry Roesli), Dangdanggula (Restu), Songket Mojang (Restu), Funkyland (Iqbal), Buah Kawung (Aditya Pratama), dan Ragrag Hate (Habib).

Seperti istilah gamelan bitel yang hadir pada zaman Mang Koko. Untuk mempopulerkan gamelan, hari ini dirasa cukup urgen. Untuk apa? Balik lagi, untuk melangitkan kembali gamelan yang masyarakat kira sudah tertelan bumi. Membawa gamelan keluar dari kandangnya, keluar dari tembok-tembok yang memisahkannya, dan berontak dari kepemilikikan pihak tertentu. Mungkin, bila anak muda menyaksikan pertunjukan gamelan di sesi satu ini, akan mengubah pikirannya tentang kekunoan gamelan yang selama ini hinggap. Gamelan mampu melebur dengan genre musik apa pun, mulai dari pop, jazz, rock, hingga metal. Instrumen musik tradisi barat pun, kiranya mampu bersahabat dengan dingin dan kerasnya gamelan. Mendengarkan sajian di sesi pertama ini, seperti makan karedok dikejuan (diberi keju). Terasa aneh, namun patut dicoba.

Pada sesi pertama ini, karya musik gamelan big band didominasi oleh karya mahasiswa musik. Mereka begitu antusias dengan diadakan kegiatan seperti ini. Mulanya karya tersebut hanya untuk memenuhi tugas perkuliahan saja, kini dapat diwujudkan dalam bentuk pertunjukan nyata. Bagi mereka ini merupakan sebuah wadah yang penting. Dengan ini mahasiswa dapat terus bereksplorasi diri untuk terus menggarap karya musik kreatif.

Sesungguhnya, wahana seperti ini jarang disediakan dan dikembangkan di dalam kampus secara merata. Menyediakan ruang kreatif untuk mereka, memperlihatkan kembali bibit-bibit muda yang potensial ke depannya. Daya berkreativitas perlu disebar dan ditularkan. Bukan untuk meninggalkan segala yang berbau tradisi (kuno, lama, lawas), di sisi lain membuat tertarik para anak muda menjadi salah satu cara regenerasi. Perjalanan kreativitas, dalam hal ini musik gamelan, harus dilanjutkan. Dengan membuat tertarik dan penasaran, nampaknya akan menumbuhkan rasa penasaran akan identitas apa yang ia garap selama ini (tradisinya). Berpikir ke depan, bukan melupakan yang dahulu. Berpikir ke depan untuk melanjutkan perjuangan dan mempertahankan keberadaan gamelan di muka bumi ini.

Mahasiswa musik yang tampil siang itu, membuat saya termenung sesaat. Ternyata, masih terhampar luas wilayah garap yang dapat dilakukan oleh gamelan. Eksplorasi para mahasiswa dalam memperlakukan instrumen musiknya sungguh unik. Misalnya, permainan saksofon yang mengadaptasi ornamentasi waditra suling. Nuansa parahyangan dapat diterapkan dalam bakunya nada saksofon. Memang, tiruan yang dilakukan tidak sama persis dengan ornamentasi suling asli. Eksplorasi seperti ini menumbuhkan warna baru dalam proses membunyikannya. Wirasa yang biasa ia luapkan pada suling dapat diterapkan pada saksofon. Tidak hanya saksofon, instrumen musik tradisi barat yang dilibatkan dalam pertunjukan gamelan big band amat beragam.

Ansambel gamelan Kyai Fatahillah yang saya kenal biasa memainkan karya musik bertemakan gamelan jazz. Mungkin, ini sebagai embrio membaurkan idiom musik populer ke dalam alat musik tradisi. Secara musikal, skala nada pada gamelan laras salendro mirip dengan susunan nada yang biasa digunakan dalam musik jazz. Walaupun kedua jenis musik ini berasal dari negara yang berjauhan, namun bahasa bunyi dapat menyatukannya. Permainan musik jazz yang improvisatif disandingkan dengan permainan gamelan yang lincah dan nakal, menimbulkan suasana musik yang bergairah dan berlari. Bahan dan materi boleh tua. Dengan cara garap yang segar, menciptakan karya musik yang mampu melintasi zona waktu mana pun.

Pada sesi satu, telinga diajak pemanasan terlebih dahulu. Menyaksikan karya musik yang ramah dengar. Adaptasi musik populer memancing para apresiator untuk membuka pandangan baru terkait gamelan. Lebih elok jika pertunjukan seperti ini dapat digelar di ruang publik yang lebih luas. Tentunya dengan intensitas waktu yang rutin.

Hemat saya, masyarakat umum perlu mengetahui dan menyaksikan pertunjukan seperti ini. Selain menambah pengalaman estetik, masyarakat dibawa mendekat pada identitas aslinya, yakni gamelan. Selama ini, pertunjukan gamelan di ruang publik sungguh minim, bahkan tak ada. Khususnya di Kota Bandung, penting untuk membuka ruang-ruangnya, memantik para generasi muda untuk berekspresi secara positif. Mungkin, suatu saat, bila kota ini dapat dengan konsisten menggelar konser seperti ini, dapat meningkatkan celah-celah pariwisata yang menarik para pelancong untuk singgah di kota yang diciptakan Tuhan sambil tersenyum ini.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//