JURNAL BUNYI #13: Catatan Sontak 3 Hari Ke-1
Sontak berusaha meruntuhkan sekat antara seniman dan akademisi yang terjadi selama ini, lebih baik dihentikan dan dibebaskan.
Abizar Algifari Saiful
Pendidik musik, komposer, dan peneliti
1 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Nngguunnggggg......Tak tak tak tak tak tak [dari suara pelan ke keras]. Ting, nung, ting, jreeeng... [Suara gitar menyambut]. Traang [dua senar kacapi dibunyikan]. Whhoooaaaaaaaaa... [Geraman teknik vokal metal]. Aaaa..a.aa.aa.aa..a.. [suara lirih teramplifikasi].
Benang merah terbentang; diikatkan pada senar paling atas kecapi siter Dody Satya Ekagustdiman. Benang putih pun begitu, diikatkan pada pemain kacapi satunya. Penggulung benang merah dan putih dipegang oleh dua orang yang berdiri di tempat penonton paling atas ruang orkes FPSD (Fakultas Pendidikan Seni dan Desain) UPI Bandung.
Sebelum pertunjukan Pak Dody menyampaikan awalan. Dua gelas plastik yang berisikan kacang hijau dan kacang kedelai sudah ia siapkan. Sambil berjalan sekitar area pentas, ia mendekat pada dua orang dan memberikan satu gelas plastik berisikan kacang-kacangan dan dua jenis sedotan. "Tolong nanti tiup kacang-kacang itu menggunakan sedotan, arahkan pada senar-senar kacapinya," jelasnya, pada dua orang.
Kebetulan Kang Robi Rusdiana menjadi salah satu orang pemegang mandat tersebut. Ia memberikan satu jenis sedotannya kepada saya untuk meniup kacang-kacang tersebut ke arah senar kacapi.
Sontak hari pertama diselenggarakan pada tanggal 26 Juli 2022. Setiap harinya terbagi menjadi tiga sesi, yakni sesi 1, sesi 2, dan sesi bebas. Untuk hari pertama, sesi 1 yang akan melakukan improvisasi bebas adalah Dody Satya Ekagustdiman, Mahatma Ardi Hartoko, Mumu Kribo, Ardy Bokir, dan Mbob. Sedangkan sesi 2 terdiri dari Oos Koswara, Nino Pancaadi, Abizar Algifari (penulis), Arum Dwi Hanantoro, dan Handriansyah Nugraha.
Setiap sesinya penyaji diberikan waktu 40 menit untuk berimprovisasi bebas. Hanya diberikan tanda mulai dan tanda akan berakhir (10 menit terakhir); ditandai dengan nyala matinya lampu ruangan.
Tulisan saya tentang dialog improvisasi kemarin [Jurnal Bunyi #12, 20 JULI 2022], sebagai salah satu pengalaman bunyi yang pernah saya rasakan. Apa sebenarnya dialog yang terjadi? Sontak menjawab itu semua. Tidak percis, namun sejalan. Yang ditawarkan masih sebuah sajian dialog yang ke sana ke mari. Tidak ada tema yang ajeg. Kegelisahan merupakan modal utama berdialog dalam berimprovisasi bebas. Tidak nyaman, mencari, dan terus berpikir akan apa, itulah yang saya baca dan rasa.
Sesi satu komposisi sajian improvisasi yang disuguhkan, yakni dua vokal beramplifikasi, dua buah kacapi siter, gitar elektrik, dan seorang penyaji pantomim. Kombinasi media bunyi seperti ini mungkin jarang terjadi pada musik populer. Bunyi pertama hadir. Lirih vokal sungguh menghipnotis para penonton untuk terus menatap ke arah para penyaji. Bunyi dua dawai kacapi yang dipetik secara bersamaan menumbuhkan kesakralan. Apalagi diawalai dengan bunyi-bunyi yang lambat dan meditatif. Mata seakan berat untuk menoleh hal-hal lain.
Simbol bunyi bukan satu-satunya bahasa yang digunakan, ada satu pemain pantomim yang menggunakan tubuhnya sebagai alat komunikasi. Di awal, belum tampak pemain pantomim itu hadir. Kira-kira 5 menit setelah sesi 1 dinyatakan dimulai, barulah terlihat muncul dari tempat duduk penonton. Dengan membawa beberapa alat rias wajah, pemain pantomim tersebut bergerak perlahan dengan volume langkah yang sedang dengan tempo lambat. Uniknya, pemain pantomim tersebut melakukan rias wajahnya pada saat pertunjukan berlangsung, yang di mana menjadi bagian dari kegiatan improvisasi yang ia lakukan. Keragaman media ungkap simbolik ini bagi saya memperkaya khazanah dalam berimprovisasi bebas.
Gagasan berani Sontak untuk menyatukan berbagai media patut diacungi jempol. Membongkar segala sekat-sekat tinggi yang memisahkan musik dengan bidang seni lain. Tetap, tubuh menjadi sosok pahlawan dalam bidang seni apa pun.
Baca Juga: Jurnal Bunyi #10: Pesona Kendang dalam Pertunjukan Tepak Ngawandaan Réngkak
Jurnal Bunyi #11: Dialog Bunyi Improvisasi
Jurnal Bunyi #12: Mungkinkah Musik Kontemporer (Abad ke-20) Masuk Sekolah?
Seniman dan Akademikus
Di tengah pertunjukan sesi satu, Pak Dody beranjak dari tempatnya dan segera mengambil gulungan benang yang sudah tergulung mendekat pada kacapinya. Mengulurnya lagi secara perlahan ke arah benang putih berasal. Begitupun dengan gulungan benang warna putih, diulur menjauh menuju tempat awal penggulung benang berwarna merah. Sehingga pada akhirnya benang merah dan putih bersilangan. Pada saat itu, saya mencoba menafsirkan aksi tersebut. Karena hal tersebut seperti memberikan satu pertanyaan tanpa kata, yang tak mau dijawab tergesa-gesa. Tanda dan simbol yang terpancar pada sajian improvisasi bebas sesi satu sungguh bervariasi. Tidak hanya bebunyian, aksi, gerak, interaksi, dan ekspresi memperkaya jalinan kalimat simbol tersebut. Sungguh menarik sekaligus semakin memantik pertanyaan terus timbul dalam benak.
Pada sesi dua, saya menjadi salah satu penyaji dalam kelompok improvisasi bebas. Saya menggunakan dua buah kacapi siter. Kacapi pertama dilaras dengan menaikan nada 3(na) laras pelog menjadi 3-(ni) dan nada 4(ti) menjadi nada 4-(ti dalam laras madenda 4=panelu). Kacapi kedua saya buat berbeda. Saya memodifikasi kacapi tersebut dengan menambahkan dawai dan paku di beberapa bagiannya. Selain kacapi, saya membawa bow (alat penggesek) violin, mic karaoke masa kini, sisir, dan mainan ikan. Komposisi media bunyi pada sesi dua ini, yaitu dua buah kacapi, dua vokal, dan satu penari. Kang Robi terlebih dahulu menyebutkan masing-masing nama kami sebelum akhirnya bunyi pertama dikumandangkan. Saya awali sajian improvisasi bebas sesi dua ini dengan membunyikan dawai kacapi dengan menyapunya secara keras dan langsung menahannya. Pancingan ini berlanjut pada respon bunyi peyaji lain.
Karena sesi 2 ini saya menjadi salah satu penyaji, tulisan paragraf ini lebih pada apa yang saya rasakan (subjektif) pada saat berimprovisasi bebas. Pertama dimulai, napas mulai saya atur. Memejamkan mata sambil mengambil napas dalam-dalam menjadi solusi ampuh pada saat itu. Memilih bunyi pertama memang perlu keberanian.
Pada saat mulai menyajikan improvisasi bebas, saya fokus menangkap bebunyian dan stimulus visual di atas pentas. Ada satu penari yang bergerak meliuk, sungguh tenang, beranjak dari sisi satu ke sisi lain panggung, memformulasikan tubuhnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ruang. Pertanyaan yang terus muncul dalam diri adalah apa yang harus saya respons atau pancing selanjutnya? Siap atau tidak siap harus siap. Informasi yang bertebaran dalam pentas begitu beragam dan cepat. Di sana saya harus cepat mengambil keputusan untuk merespons, memicu, meneruskan, melanjutkan, menghentikan, menyelaraskan, berlawanan, tiba-tiba, atau mengacau. Durasi 40 menit sungguh tak terasa di atas pentas. Kami asyik meramu simbol-simbol artistik yang ada.
Sontak menawarkan pertunjukan sebelum pertunjukan. Proses kekaryaan seperti ini menjadi salah satu alternatif gaya garap. Intuisi sangat berperan pada sajian musik ini. Kata-kata, mungkin sulit mewakilkan fenomena bebunyian ini. Walaupun begitu, sajian musik gaya begini patut dibaca secara saksama. Proses membaca memang akan terasa sulit. Mengapresiasinya saja terkadang sukar menahan ketidaknyamanan hati dan pikir menolak stimulus bunyi dari para penyaji. Indah dan nyaman yang biasa dirasakan, seperti melawan bebunyian tersebut masuk dan mengambil lahan keindahan yang sudah terpacak lama.
Sontak dapat diartikan pula seketika. Kehadirannya di kampus, hemat saya, membawa angin segar bagi proses berpikir menggarap musik. Bagi saya, ini sebuah langkah yang berani. Membawa gaya musik eksperimental; sifat improvisasi bebas yang abstrak, ke tempat yang biasa berpikir sistematis dan aman-aman saja.
Warna baru ini menjadi bumbu lain bagi kampus untuk dapat meluaskan pandangan terhadap peristiwa musikal yang saat ini terjadi. Sekat antara seniman dan akademisi yang terjadi selama ini, lebih baik dihentikan dan dibebaskan. Perbedaan yang menjadi tembok besar harus segera diruntuhkan. Hal ini demi keseimbangan ekosistem kesenian yang ada. Semua memiliki porsi yang sama. Semua saling membutuhkan. Seniman harus sering diajak ke dalam tembok kampus. Akademisi pun harus lentur pada setiap pandangan dan gagasan yang dilontarkan oleh para seniman. Tidak ada yang lebih penting. Semua harus menjadi siang dan malam, barat dan timur, utara dan selatan, pria dan wanita, hitam dan putih.