• Opini
  • Daya Sora Jeung Ceta: Perjalanan Artistik Gugum Gumbira dan Euis Komariah

Daya Sora Jeung Ceta: Perjalanan Artistik Gugum Gumbira dan Euis Komariah

Sajian musik dan tari Daya Sora jeung Ceta yang digelar secara virtual menceritakan kisah hidup dan karya pasangan maestro Gugum Gumbira dan Euis Komariah.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Daya Sora Jeung Ceta merupakan sebuah pertunjukan yang menegaskan sumbangan besar pasangan maestro Gugum Gumbira dan Euis Komariah. (Sumber: Channel Youtube Jugala Jaipongan Official)

12 Maret 2022


BandungBergerak.id - Tanpa kehadiran sosoknya, terdengar suara Bu Euis Komariah. Lembut, halus, dan indah. suaranya seperti ibu yang menasihati anaknya sepenuh hati tanpa pamrih. Satu orang penari merespons suara Bu Euis dengan gerakan eksploratif tetapi terukur. Gending gamelan mulai terdengar, tanda para penari lain untuk masuk dan menari bersama.

Sajian musik dan tari dengan judul Daya Sora jeung Ceta pun dimulai. Pergelaran ini disajikan secara virtual. Penayangan perdananya memang dilakukan di kanal Youtube Jugala Jaipongan Official pada 9 Maret 2022.

Saya teringat pernyataan Prof. Endo Suanda: siapa mengikuti apa, tari mengikuti musik atau musik mengiringi tari, itu dua-duanya terjadi, kedua bidang seni harus mengerti. Dalam kesenian tradisi, tidak ada sekat antara bidang seni.

Nah, pernyataan ini tercermin pada pertunjukan yang berjudul Daya Sora Jeung Ceta, yang artinya daya suara atau bunyi dan gerak. Harmonisasi suara atau bunyi dan gerak dalam pertunjukan ini memang terasa selaras dan seimbang. Layaknya kedua tokoh pendiri padepokan seni Jugala, yakni Gugum Gumbira dan Euis Komariah. Sepasang suami istri ini bagaikan judulnya. Tak akan pernah terpisah dan akan saling ada.

Jelas, dalam bagian prolog dijelaskan bahwa pertunjukan ini menceritakan perjalanan kehidupan, nyata dan karya, dua orang maestro. Gugum Gumbira adalah maestro tari jaipongan, sedangkan Euis Komariah merupakan maestro karawitan Sunda, khususnya di bidang vokal. Dua-duanya seniman masyhur yang akan dikenang sepanjang masa, khususnya oleh masyarakat Sunda.

Tak perlu diragukan lagi, karya yang telah dihasilkan oleh sepasang kekasih ini sudah banyak dan diakui oleh masyarakat luas. Atas dedikasinya pula, mereka layak diberikan gelar maestro.

Saya tak pernah bertemu secara fisik dengan mereka berdua. Namun, saya merupakan pengagum mereka berdua. Suara Bu Euis selalu menjadi teman yang hangat, memberikan perhatian, dan mewarnai hati yang sendu.

Saya tak sepenuhnya mengerti tari. Jaipongan yang saya ketahui di awal mungkin bukan ciptaan Pak Gugum Gumbira. Ketika saya iseng mengunjungi channel Youtube Jugala, banyak dokumentasi karya Pak Gugum di sana. Saya terpukau dengan gerakan-gerakannya. Kalau saya gambarkan, gerakannya jelas, cerah, dan terarah. Rentangan tangan yang lebar selalu saya lihat di setiap transisinya. Liukan tubuh penarinya maksimal, namun tidak berlebihan.

Gerak Pak Gugum terekam jelas pada tubuh penari. Ruang tubuh yang lebar nan lincah dia garap sepenuh hati. Begitu pun dengan suara Bu Euis Komariah, mengalun, mengelus, dan menusuk kalbu yang lama tak dihampiri rindu. Gerak, bunyi, dan rasa saling berbincang di atas pentas. Tak ingin cari keributan atau pengakuan.

Mereka ingin menyampaikan pesan penting tentang sebuah perjalanan. Musik gamelan pengiring tari tidak diposisikan sebagai tempelan saja. Tepakan kendang terkadang mandiri, tak direspons oleh tubuh penari. Begitu pun sebaliknya. Kadang tari dan musik menjadi satu kesatuan dan saling melengkapi. Tak jarang gending gamelan menjadi aksen gerak tertentu.

Baca Juga: Jurnal Bunyi (7): Diajar Mamaos Cianjuran
Jurnal Bunyi (6): Menatap Tubuh Isola Menari
Jurnal Bunyi (5): Atik Soepandi, Menuliskan Bunyi Sunda dalam Kata

Membedah Daya Sora Jeung Ceta

Karya pertama yang dipentaskan adalah tari berjudul “Penjug Bojong” yang diciptakan oleh Pak Gugum Gumbira pada tahun 1986. Karya tari ini dibawakan oleh tiga orang laki-laki. Kenapa laki-laki menari jaipongan? Pasti muncul pertanyaan seperti itu. Bukankah tari jaipong biasa ditarikan oleh perempuan dengan seluruh estetika tubuhnya?

Saya pun baru menyaksikan sajian karya tari ini. Hemat saya, tarian ini memang pantas dibawakan oleh laki-laki karena gerakan yang digunakan lebih ladak dan gagah, walaupun masih ada kelincahan di dalamnya. Perpindahan penari pada tarian ini sangat dinamis. Penari tak ragu untuk berputar cepat dan lompat, lalu mendarat dalam posisi duduk. Ketiga penari keluar mengakhiri tariannya sambil berjingkrak.

Akhir tarian pertama tak membuat musiknya berhenti. Para nayaga (penabuh gamelan) menyelingi jembatan kosong dengan potongan gending. Penari kedua sudah siap beraksi.

Tarian kedua yang ditampilkan berjudul “Sonteng” yang diciptakan pada tahun 1985. Kali ini yang menari hanya satu orang perempuan. Gerakannya lincah, ringan, dan riang. Gerakan penari perempuan itu jelas arah dan yakin dengan ketubuhannya. Musik iringannya menggunakan gamelan laras salendro, dihias oleh lagu “Seunggah”. Gerak tubuhnya kadang dipatahkan dan kadang mengalun dengan tenaga yang energik. Pada tarian ini tangan dan kepala menjadi media eksplorasi yang luas. Seperti sajian tarian pertama, penari mengakhir dengan perlahan hilang dari panggung.

Gelikna suling dengan jangkauan nada rendah memberatkan hati untuk mempercepat videonya. Lagu “Puspa Endah” pun dilantunkan. Karya degung kawih ini diiringi oleh gamelan degung, kecapi, dan kendang. Lagunya mengajak pendengarnya untuk duduk di selasar rumah ditemani secangkir kopi atau teh sambil berbincang dengan orang terkasih.

Berlanjut dengan lagu Tepang Asih yang makin memanjakan telinga. Diakhiri dengan syair harapan baik yang dilantunkan oleh juru kawih.

Rupanya gending yang gamelan degung mainkan beralih menjadi laras salendro. Perpindahan ini dibarengi oleh penari selanjutnya yang berputar masuk ke arena pentas. Karya tari ketiga pun dimulai. Nama tariannya adalah “Setra Galuh”, diciptakan pada tahun 2019.

Liukan bunyi rebab mengawal tubuh penari untuk bergerak secara perlahan, merasakan tubuhnya lebih mendalam. Pada tarian ini penari masih energik dalam melakukan setiap gerakannya. Namun, dinamika gerak diolah lebih bervariasi. Terkadang gerak dipatahkan dan kadang dibuat mengalun, tetap dalam tuntunan suara kendang. Kostum yang digunakan penari pada tarian “Setra Galuh” lebih terlihat feminim dibandingkan dengan tarian sebelumnya.

Gending gamelan salendro yang lincah tiba-tiba harus digantikan dengan suara kecapi dan suling, yang sepertinya masuk ke dalam wanda (genre) Cianjuran. Terdengar kempyungan kecapi disusul lilitan melodi suling. Anggapan saya benar ternyata, memang sajian tembang Cianjuran yang disajikan kali ini. Lagu yang dibawakan adalah lagu ekstra (panambih) dengan judul “Jalir Jangji”. Juru Mamaos membawakan lagu ini dua putaran bait.

Selesai lagu panambih tersebut, setelah ditampilkan karya tari Pak Gugum Gumbira berjudul “Kuntul Mangut” yang diciptakan tahun 2019. Dari gerakannya, tarian ini menggambarkan kehidupan salah satu jenis burung, yakni burung kuntul dengan nama latin Egretta Garzetta. Para penari menirukan gerak jalan, mengepakkan sayap, menoleh, dan aktivitas burung kuntul lainnya.

Tarian ini diiringi oleh lagu Bulan Sapasi yang digarap menggunakan gamelan salendro. Tak lupa, kendang masih menjadi kunci utama atau pijakan untuk para penari bergerak.

Sajian tari Burung Kuntul ini ditarikan oleh empat orang yang menggunakan kostum berwarna putih, ditambah aksen hiasan kepala berupa bulu, mirip burung kuntul. Gerakan terbang para penari ke arah depan panggung, pertanda berakhirnya tarian ini. Tinggal satu tarian lagi yang akan dipentaskan.

Tari “Ronggeng Bandung” yang diciptakan tahun 1990 menjadi gong akhir pertunjukan Daya Sora Jeung Ceta. Sesuai dengan kata awal dari nama tarian ini, yaitu ronggeng, kali ini gerak para penari makin ekspresif. Liukan tubuh pada beberapa bagian lebih difokuskan untuk memperlihatkan karakter ronggeng sebenarnya. Tarian ini dibawakan oleh tiga orang penari yang mengenakan kostum warna hijau dengan selendang kuning melingkar pada lehernya.

Di tengah sajian, tiga penari laki-laki memasuki panggung dan menghampiri masing-masing pasangan menarinya. Keenam penari tersebut langsung melakukan tarian rampak (bersama-sama, menggunakan gerakan yang sama pula). Menjelang akhir pertunjukan, salah seorang penari laki-laki mengajak para nayaga berkomunikasi sambil ocon (bercanda).

Teknik perekaman yang dilakukan pun sangat tepat. Pergerakan dan perpindahan kamera diperhitungkan berdasar pada gerakan dan posisi penari sehingga penonton yang menyaksikan tidak merasa risih dan bingung dengan mata kamera yang disuguhkan.

Bentuk pertunjukan Daya Sora Jeung Ceta ini adalah sekar gending. Karya tari Pak Gugum diselingi oleh sajian degung kawih dan tembang Cianjuran Bu Euis membuat pertunjukan ini menarik. Terkadang mata harus menatap layar secara intens untuk mengikuti kelenturan dan kelincahan para penari. Pada beberapa saat, kita dapat terpejam, mengistirahatkan mata dan fokus mendengarkan keindahan liukan vokal dari juru kawih dan sinden, menyajikan lagu-lagu lawas Bu Euis yang tak kan mati ditelan zaman.

Perjalanan hidup yang dialami oleh Gugum Gumbira dan Euis Komariah menjadi saksi perjuangan dan pengorbanan yang sebenarnya. Keduanya merupakan pejuang budaya. Mengangkat nilai lokal, mereka membuat jeneng (nama, pengakuan) dan jenang (materi) dapat diraih. Walau raganya sudah di alam keabadian, karya mereka berdua akan tetap abadi, dikenang, dan menjadi sejarah.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//