• Narasi
  • JURNAL BUNYI #5: Atik Soepandi, Menuliskan Bunyi Sunda dalam Kata

JURNAL BUNYI #5: Atik Soepandi, Menuliskan Bunyi Sunda dalam Kata

Di kalangan para akademikus dan seniman karawitan Sunda sudah tak asing lagi dengan nama Atik Soepandi. Ia tanggap dengan masalah kurangnya pendokumentasian.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Atik Soepandi. (Sumber: Buku Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan, 1984)

21 Februari 2022


BandungBergerak.idKebiasaan yang kerap saya lakukan setiap kali melewati lemari buku di ujung kamar adalah diam, melihat, dan bertanya pada diri, buku apa lagi ya, yang belum ada? Terkadang saya mendekat pada rak buku dan melihat satu-satu dari koleksi yang dimiliki. Saya senang mengoleksi buku-buku yang membahas mengenai kebudayaan Sunda, khususnya kesenian lokal.

Memang, buku genre tersebut tidak mudah didapat seperti mencari buku populer seperti novel, yang bertebaran di seluruh toko buku. Penulis yang produktif menuliskan mengenai kesenian Sunda pun jarang beregenerasi. Beberapa penulis yang menghasilkan tulisan mengenai karawitan Sunda, di antaranya Raden Mahcjar Angga Kusumadinata, Enoch Atmadibrata, Atik Soepandi, Enip Sukanda, Pandi Upandi, Mang Koko, Nano Suratno, Iwan Natapradja, Yus Wiradiredja, Apung Supena Wiratmaja, Ubun Kubarsah, Tardi Ruswandi, Heri Herdini, Lili Suparli, Yoyo RW, dan Engkos Warnika.

Salah satu penulis yang produktif dalam menghasilkan tulisan mengenai kesenian Sunda adalah Atik Soepandi. Pria ini lahir di Kampung Cibadak, Kelurahan Andir, Kota Bandung, pada tanggal 15 Mei 1944. Pada buku Apa Siapa Orang Sunda, editor Ajip Rosidi, dibahas secara singkat profil Atik Soepandi. Tertera di sana, sejak remaja Atik sudah menunjukan minatnya pada karawitan Sunda. Karena itu, setamat SMP (1961), ia masuk ke Konsevatori Karawitan Indonesia (Kokar) di Bandung (lulus 1965). Dari Kokar, Atik meneruskan kuliah di ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) Solo (lulus sarjana muda 1970 dan sarjana 1979). Pernah menjadi guru di sebuah SMP swata di Bandung (1964) dan di Kokar Solo (1966-1970). Produktivitas Atik dalam meneliti dan menulis dihargai pemerintah, melalui presiden. Atik pada tahun 1999 diberikan yanda jasa Satya Lencana karya Setia 30 Tahun.

Untuk di kalangan para akademisi dan seniman karawitan Sunda sudah tak asing lagi dengan nama ini. Atik terbilang produktif dalam memproduksi tulisan, utamanya mengenai karawitan Sunda. Saya banyak menemukan tulisannya dalam bentuk artikel, makalah, esai dalam majalah, dan buku. Jelas, sumbangsih tulisannya ini bermanfaat bagi masyarakat Sunda saat ini. Banyak penelitian karawitan Sunda yang dilakukan oleh para sarjana, menggunakan rujukan dan pijakan tulisan yang ditulis oleh Atik. Beberapa tulisannya membahas di antaranya, mengenai teori karawitan Sunda, kawih, ragam jenis alat musik dan kesenian di Tatar Sunda, dan kamus istilah dalam karawitan Sunda. Tulisannya tidak hanya digunakan pada penelitian karawitan Sunda saja, tetapi bidang seni lain pun terkadang membutuhkan tulisan beliau.

Atik mulai mengasah kepiawaian dalam menulis dimulai pada tahun 1970. Diktat dan buku yang pernah ia tulis, di antaranya Perkembangan Degung di Jawa Barat, Sekar Ligar, Teori Dasar Karawitan, Pengetahuan Tembang Sunda, Pengetahuan Titi Laras, Pengetahuan Pedalangan Jawa Barat, Apresiasi Pedalangan, Penuntun Pengajaran Karawitan Sunda, Dasa-Dasar Teori Karawitan, Kamus Istilah Karawitan Sunda, dan Khasanah Kesenian Daerah Jawa Barat. Selain produktif menulis, Atik aktif dalam berbagai kegiatan keilmuan lainnya yaitu seminar, diskusi, sarasehan, lokakarya, simposium, pasamoan kebudayaan, dan menjadi juri pada pasanggiri atau binojakrama padalangan.

Proses menulis yang dilakukan Atik masih merasakan bunyi mesin tik yang jika salah, pilihannya hanya dua, bersusah payah menutupnya atau mengulangi ketikannya menggunakan kertas yang baru. Ini terlihat dari arsip yang saya temukan dalam bentuk modul pembelajaran. Atik Soepandi merupakan salah satu staf pengajar dan peneliti di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung dan pernah menjabat sebagai Ketua Direktorium KORI (Konsevatori Tari) Bandung bersama Tubagus Maktal dengan masa jabatan 1971-1972. Baik ASTI maupun Konsevatori Tari saat ini menjadi Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung.

Sudah barang tentu, sebagai seorang dosen, Atik dituntut untuk menghasilkan tulisan yang sesuai dengan keilmuannya. Yang nantinya harus diajarkan kepada para mahasiswa.

Sengaja pada tulisan kali ini saya menuliskan sosok penulis dan peneliti karawitan Sunda. Berbeda dengan sosok seniman yang terlihat raga dan karyanya di atas pentas. Para penulis sama mengorbankan banyak waktunya dengan seniman, tetapi jarang terlihat dan diakui. Namanya hanya tertulis di tengah atau sudut sampul buku tanpa terlihat sosoknya. Bagi penulis saat ini, mudah sekali dalam menyisipkan foto dalam karya tulisnya. Namun, penulis yang masih merasakan dinginnya mesin tik; untuk menulis saja membutuhkan energi yang luar biasa, apalagi harus berfoto dan menyisipkan foto pada tulisannya.

Baca Juga: Hari Bahasa Ibu Internasional sebagai Momentum untuk Kembali Mencintai Bahasa Sunda
Sareundeu Angklung Buncis Cireundeu
Genjring Akrobat, antara Seni dan Kekuatan Super Seorang Ibu

Mendokumentasikan Seni Karawitan

Sosok Atik Soepandi merupakan jiwa yang terkenang dalam keabadian kata. Raga sudah tak ada, tapi gagasan dan semangatnya masih terasa dalam setiap kata ketikannya. Karawitan Sunda memang didominasi oleh aktivitas praktik di dalamnya; sama dengan bidang seni lainnya. Memang, praktik merupakan kunci dari penguasaan dari cabang seni manapun. Hasil latihan lalu dipertunjukan di depan umum dan disoraki banyak penonton. Setelah itu, terlupakan, tidak ada jejak yang bisa dilacak. Nah, di sini peran seorang penulis, pengarang, atau peneliti untuk mendokumentasikan hal tersebut. Meninggalkan jejak berupa dokumentasi tertulis yang tentunya dibekali oleh pengetahuan yang layak. Saya ibaratkan jejak seni pertunjukan ini seperti berjalan di pinggir pantai. Ketika menoleh jejak kaki kita ke belakang. Hitungan detik tersapu ombak, hilang, tak meninggalkan apa pun.

Atik Soepandi merupakan salah satu orangnya. Tanggap dan ngeuh dengan masalah kurangnya pendokumentasian pada seni pertunjukan. Tujuannya mengilmiahkan karawitan Sunda; bukan untuk membuat patokan mutlak. Tatapi supaya karawitan Sunda dapat naik derajat dan dianggap sebagai bagian dari ilmu; tidak dianggap terus menerus sebagai hiburan belaka. Bersyukur kita memiliki sosok Atik Soepandi. Yang dapat ditengok bukunya untuk melihat pemikirannya. Seni pertunjukan yang elusif memang membutuhkan pengetahuan, waktu, dan tenaga untuk membedahnya. Butuh fokus disertai kerjasama yang ikhlas di antara para penggiat budaya. Memang, Atik tak terdengar dalam balutan kaset pita, namun komposisi katanya tertanam dalam kertas dan merasuk pada setiap pikiran pembacanya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//