• Narasi
  • JURNAL BUNYI #7: Diajar Mamaos Cianjuran

JURNAL BUNYI #7: Diajar Mamaos Cianjuran

Tembang Sunda Cianjuran memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya, liukan ornamentasi indah yang digunakan pada vokalnya.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Kegiatan pelatihan Paguyuban Pamirig Tembang Sunda (PPTS) bersama Burhan Sukarma (kemeja biru bercorak) dan Rukruk Rukmana (batik coklat dengan topi). (Foto: Abizar Algifari)

8 Maret 2022


BandungBergerak.id - Lagu Udan Mas khidmat dilantunkan. Syairnya tak malu untuk mengaku ada. Bunyi kacapi indung menembus kesunyian. Ruhnya merasuk disetiap celah hati yang kosong. Suling mendampingi dengan kelihaian dan kelenturan melodi yang membuat kacapi indung tak bisa lepas dari lilitannya.

Terpejam dan coba menyelam dalam-dalam, mata, pikir, dan rasa tenggelam dalam bebunyian nan damai. Sampai pada panambih, hati semakin layu dan sendu; sulit beranjak. Saya duduk di antara para seniman tembang Cianjuran dan ibu-ibu pejuang kebudayaan. Hari selasa di setiap minggunya dalam kurun waktu satu tahun lebih, saya mencoba menggali kelenturan jari dan pita suara dalam tembang sunda Cianjuran.

Sudah lama saya ingin sekali belajar tembang Sunda Cianjuran. Salah satu genre musik Sunda ini memiliki banyak keistimewaan. Salah satunya, yang jadi perhatian utama saya adalah ornamentasi yang digunakan pada vokalnya. Keindahannya terletak pada kepiawaian para penembang dalam beratraksi, menunjukkan liukan ornamentasi di setiap suku kata syairnya.

Sudah terbayang berat untuk mempelajarinya. Ketika saya praktikkan, memang tak semudah yang dibayangkan. Ketahanan napas dan kelenturan pita suara menjadi modal utama untuk mempelajarinya. Pita suara harus sering digunakan dan dilatih pada setiap jenis ornamentasi. Waktu yang ideal untuk menguasi teknik ini pun terbilang cukup lama.

Saya tanyakan proses latihan kepada seniman tembang, katanya mereka butuh bertahun-tahun untuk melancarkan dan melenturkan pita suaranya. Bahkan, para seniman profesional melatih pita suaranya sejak dini.

Saya bergabung dengan salah satu komunitas tembang Sunda Cianjuran yang ada di Bandung. Sekitar awal tahun 2020 awal saya berkesempatan untuk berlatih mamaos tembang Cianjuran di komunitas Paguyuban Pamirig Tembang Sunda (PPTS), yang waktu itu bertempat di Rumah Seni Ropi Jalan Braga. Kegiatan yang komunitas lakukan setiap minggunya adalah latihan mamaos (vokal) Cianjuran, kelas kacapi Indung, dan kelas suling Cianjuran. Setiap orang dapat memilih satu atau lebih bidang latihan. Tentunya saya mengambil dua jenis latihan, yaitu mamaos Cianjuran dan kelas kacapi Indung.

Beberapa tahun terakhir, komunitas ini tak hanya berpusat di Kota Bandung saja, tetapi sudah berkumpul dan bersatu dengan komunitas tembang Cianjuran se-Jawa Barat. Hemat saya, langkah ini cukup tepat, karena dengan menurunnya minat masyarakat terhadap kesenian tradisi, membutuhkan langkah-langkah konkrit untuk mengumpulkan dan menghubungkan para seniman, peneliti, dan penikmat. Hal ini bertujuan agar kesenian tradisi, khusunya tembang Sunda Cianjuran, dapat terus dipertahankan; lebih bagus dikembangkan. Tak sekadar kesenian yang dianggap kuno, yang ditempatkan di resto Sunda sebagai pengiring para tamu makan.

Saya masih bingung, mengapa kesenian yang indah dan luhur ini masih dianggap remeh oleh beberapa pihak?

Baca Juga: Jurnal Bunyi (6): Menatap Tubuh Isola Menari
Jurnal Bunyi (5): Atik Soepandi, Menuliskan Bunyi Sunda dalam Kata
Jurnal Bunyi (4): Festival dan Pasanggiri Degung Tingkat Remaja Piala R.A.A. Wiranata Kusumah Ke-5

Obrolan dengan Para Maestro

Satu waktu, saya berbincang dengan salah satu seniman tembang Sunda Cianjuran. Dia pemain suling yang masyhur di Tatar Parahyangan yaitu Burhan Sukarma. Sehabis menyantap makan sore yang disiapkan oleh ibu-ibu pengurus Paguyuban Pamirig Tembang Sunda, saya mendekati Pak Burhan dan sedikit berbincang mengenai apresiasi masyrakat Amerika terhadap kesenian tembang Sunda Cianjuran. Perlu diketahui, Pak Burhan memiliki seorang istri asli negeri Paman Sam. Jadi, kini ia menetap bersama istrinya di Amerika. Istrinya pun salah satu pemain suling.

Sebelum menjawab, ia menghela nafas terlebih dahulu. Katanya, tingkat apresiasi di sana terkait kesenian tradisi negara lain sangat tinggi, utamanya Indonesia. Banyak kampus di sana sudah memasukkan pembelajaran tembang Sunda Cianjuran dan gamelan degung ke dalam kurikulumnya. Pak Burhan pun beberapa kali menjadi dosen tamu di beberapa universitas di sana.

Pernah, suatu ketika ia sedang tampil dengan seniman Sunda lain di sana. Ketika pertunjukan selesai banyak penonton yang meneteskan air mata. Saking terpukau dengan keindahan dan kedamaian tembang Sunda Cianjuran. Dengan ketidakmengertian mereka, pesan estetik dari sajian Cianjuran dapat dirasakan dan diresapi.

Mendengar cerita Pak Burhan, lebih elok jika kita sebagai pemiliki dari kesenian tradisi ini dapat menghargai dan bangga. Bukan sebaliknya. Obrolan kami terpotong oleh mulai kembali kegiatan komunitas selanjutnya yaitu kelas kacapi Indung oleh Pak Rukruk Rukmana.

Pak Rukruk, panggilan guru kacapi saya, sangat lihai memukau dengan kelincahan jari jemarinya. Tak mudah memisahkan hati tangan kanan dan kiri untuk menjalankan masing-masing tugasnya. Tangan kanan memainkan melodi yang kompleks, sedangkan tangan kiri memberikan pijakan yang pasti dengan gerakan yang konsisten sekaligus nakal.

Terkadang tabuhan tangan kiri Pak Rukruk menggoda sekaligus membuat kami yang mendengarkannya bingung, bagaimana cara menabuh pola melodi seperti itu? Tangannya seperti memiliki pengendali sendiri; nurut dengan apa yang dikehendaki pemiliknya.

Di kalangan seniman Tembang Sunda Cianjuran, nama Pak Rukruk sudah tak asing lagi. Kepiawaian bermain kacapi Cianjuran membuatnya eksis dan bahkan gelar maestro sudah ia dapatkan. Jarang sekali yang dapat menguasai kacapi gaya Cianjuran. Di samping teknik tabuhan yang memang khusus dan berbeda, guru yang dapat mengajarkan pun dewasa ini kian langka.

Salah satu jenis tabuhan yang saya senangi adalah pasieupan. Teknik ini menuntut kelunturan dan kelincahan jari serta sensitivitas telinga yang ideal. Karena gerakan musik (tempo) pada teknik pasieupan tidak ajeg. Ketukannya harus dirasakan dan disesuaikan dengan durasi setiap pijakan nadanya. Bila diibaratkan seperti pantulan bola yang dilempar ke atas. Semakin lama semakin sering pantulannya.

Usia Pak Rukruk bisa dibilang sudah tak muda lagi. Tetapi memorinya masih kuat dan tajam. Berbagai gending tabuhan kacapi Tembang bisa diperagakannya dengan mulus, tanpa terbata-bata. Mungkin karena ratusan, bahkan ribuan kali pengulangan, kepalanya bagai kamus gending yang bila dibutuhkan, tinggal diambil dan diputar.

Melihat dan mendengar beberapa pengalaman para seniman ketika memulai latihan mamaos (vokal), kacapi, atau suling; dapat disimpulkan kunci dari penguasaan vokal atau alat musik adalah latihan, latihan, dan latihan. Tidak ada cara lain. Repetisi membuat terbiasa. Jika sudah terbiasa, kemampuan tersebut akan tersimpan dan terekam oleh memori otot.

Bila ingin beralasan tak dapat latihan, seniman dahulu pantas untuk itu. Namun, untuk kita yang hidup di zaman ini, sepertinya tidak. Dengan kemajuan teknologi di seluruh bidang dewasa ini dapat dimanfaatkan untuk proses pembelajaran dan latihan. Semoga dengan modal kemapanan teknologi dan pengetahuan, dapat berdampak pula pada kelestarian, pembinaan, dan pengelolaan kesenian tradisi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//