• Opini
  • JURNAL BUNYI #6: Menatap Tubuh Isola Menari

JURNAL BUNYI #6: Menatap Tubuh Isola Menari

Menari 12 jam tidak bergelut dengan tubuhnya saja, tetapi dengan angin yang dingin, teriknya matahari, panasnya aspal, bahkan omongan dari warga kampus sekitar.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Pertunjukan tari virtual Isola Menari 12 Jam ke-11 di Kampus UPI, Bandung, 2022. (Sumber: Youtube Channel Himastar UPI)  

26 Februari 2022


BandungBergerak.idSelama berkuliah musik, banyak kegiatan yang menjadi wadah mahasiswa untuk mengungkapkan ekspresi. Selain tuntutan mata kuliah yang harus diselesaikan, saya harus mencari pengalaman lain di luar konteks tersebut. Keterbatasan cakupan mata kuliah yang ada pada kurikulum jurusan, membuat kami harus mencari, menginisiasi, atau membuat kegiatan untuk menambah pengetahuan dan mengobati rasa kepenasaranan terkait materi yang sama sekali tidak ada dalam mata kuliah. Walau tujuan jurusan adalah menjadikan seorang pendidik (guru) seni, namun bekal yang kami siapkan untuk mengajar nanti harus selalu diperbaharui dan ditambah. Salah satunya, kegiatan di luar mata kuliah inilah kami bisa mendapatkan tambahan tersebut.

Salah satu kegiatan yang masih saya ingat adalah Isola Menari 12 Jam. Sesuai dengan judul kegiatannya, acara ini mengunggulkan pertunjukan tari. Perhelatan menari ini diselenggarakan setiap tahun. Pertama kali menonton acara ini saya terpukau dengan para penari yang kuat menggerakan tubuhnya tanpa jeda selama 12 jam. Memang sebelum ditetapkan sebagai penari 12 jam, calon penari melewati beberapa tes terlebih dahulu untuk memastikan bahwa fisik dan mentalnya kuat. Para penari 12 jam menari sambil berjalan, makan, tidur, duduk, berbincang, dan kegiatan kebiasaan lainnya. Tubuhnya dipacu untuk bergerak, dirinya bisa merasakan seluruh tubuhnya berbicara, ototnya terkadang tegang dengan gerakan yang gagah dan lentur ketika melakukan gerakan halus. Bila belum terbiasa dan tak siap, sudah bisa dipastikan pingsan yang akan terjadi. Ketahanan fisik memang sangat diandalkan. Penari 12 jam tidak bergelut dengan tubuhnya saja, tetapi dengan angin yang dingin, teriknya matahari, panasnya aspal, bahkan omongan dari warga kampus sekitar.

Isola Menari 12 Jam merupakan festival tari yang diadakan oleh program studi Pendidikan Tari Universitas Pendidikan Indonesia. Sesuai dengan awalan nama festival ini isola. Kegiatan ini menggunakan ikon bekas villa mewah wartawan dan raja koran Hindia Belanda kala itu, Dominique Willem Berrety. Usia festival tari ini sudah 11 tahun. Kegiatan utama tari ini adalah mencari beberapa penari untuk menari selama 12 jam nonstop. Tak hanya itu, digelar pula pertunjukan yang nonstop selama 12 jam. Para penyaji berasal dari berbagai daerah di Indonesia, tetapi didominasi oleh penyaji yang berasal dari Jawa Barat. Pada kondisi pagebluk pun Isola Menari tetap diselenggarakan namun terbatas. Sajian pertunjukan dapat dinikmati di dua wahana yaitu virtual dan langsung. Dengan menambahkan wahana virtual, penonton dapat dijangkau lebih luas. Genre tari yang disuguhkan pun bermacam-macam, mulai dari tari klasik, kreasi, sampai kontemporer.

Baca Juga: Jurnal Bunyi (3): Kabeungharan Karawitan Sunda
Jurnal Bunyi (4): Festival dan Pasanggiri Degung Tingkat Remaja Piala R.A.A. Wiranata Kusumah Ke-5
Jurnal Bunyi (5): Atik Soepandi, Menuliskan Bunyi Sunda dalam Kata

Pertunjukan Virtual

Sebelum pandemi datang, kegiatan festival ini dapat disaksikan secara langsung. Pada hari itu, saya sering melihat para penari, mulai dari anak usia dini sampai orang tua turut berpartisipasi pada acara ini. Terlihat ekspresi semringah dan bahagia dari para penari. Meskipun mereka dari berbagai daerah di Indonesia namun, semangatnya tidak padam.

Menyaksikan pertunjukan tari secara virtual dan langsung jelas memiliki perbedaan. Suasana yang dirasa ketika menyaksikannya secara langsung menawarkan imajinasi yang berbeda dan tentu saja sedikit distraksi. Karena dalam wilayah pertunjukan tersebut sudah dikondisikan diminimalisir gangguan yang akan terjadi. Niat diri menyaksikan pertunjukan pun fokus, tak ada yang lain. Dialog yang terjadi di antara penonton terjadi secara spontan. Menimbulkan perbandingan persepsi dan tafsir. Seluruh proses komunikasi terjadi lebih banyak ketika pertunjukan sedang berlangsung.

Lain hal dengan menyaksikan pertunjukan tari secara virtual. Yang saya rasa, ketika menyaksikan pertunjukan di depan layar membutuhkan tenaga dan fokus yang lebih. Sebelum memutar video pertunjukannya, kita harus mengondisikan terlebih dahulu lingkungan tempat menonton. Hindari tempat yang ramai dan yang akan membuat aktivitas lain selain menonton. Perlu juga untuk memposisikan tubuh layaknya menonton pertunjukan secara langsung. Saya pernah menonton pertunjukan dari layar gawai dengan posisi tubuh sambil tiduran dan akhirnya malah tertidur. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap proses penerimaan informasi dari video pertunjukan tersebut.

Geliat tubuh membentuk ekspresi abstrak membuat daya tarik tersendiri ketika menyaksikan sebuah pertunjukan tari. Banyak hal yang masih saya pertanyakan ketika menyaksikan sebuah pertunjukan tari. Apakah tari itu hanya berbentuk gerak saja? Apakah musik dalam tari terpisah dari karya tariannya? Apakah segala yang menempel dan digunakan oleh penari, ikut pula menari? Selayaknya mendeskripsikan sebuah meja, pasti kita mulai dari yang terlihat. Apakah tari hanya bersifat visual (melihat gerak)? Memulai dari pertanyaan di atas, saya mencoba untuk mengungkap sedikit fenomena komunikasi estetik yang terjadi.

Komunikasi yang terjadi tidak hanya dari penyaji kepada penonton saja, tetapi pun sebaliknya. Dengan lingkungan sekitar, tukang dagang, orang yang sekadar lewat, hujan, suara binatang, suara kendaraan bermotor, semuanya ikut terlibat dalam proses komunikasi. Memang tidak semuanya menjadi bagian besar dari proses ini, tetapi peristiwa kecil tersebut yang terkadang menjadi distraksi, bisa pula malah mendukung pertunjukan yang sedang disaksikan.

Dalam hal ini saya memposisikan diri sebagai apresiator tari yang bukan penari. Saya sering menonton pertunjukan tari dan menjadi pemusik untuk pertunjukan tari. Entah mengapa. Ketika melihat tubuh penari mulai bergerak, terasa ada yang sampai pada pikiran dan perasaan. Tenaga yang disalurkan pada otot terasa memancarkan ekspresi lain di balik gerak. Informasi estetik tersebut berseliweran tanpa arah dan tak ada keinginan untuk diterjemahkan; bebas, hanya ekspresi tak bersekat.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//