SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #8: Prof Iskandarwassid dan Syair Lagu Guntur Galunggung
Prof Iskandarwassid menceritakan pengalamannya ketika Gunung Galunggung meletus tahun 1982, ketika itu ia sedang mengendarai motor ke arah Tasikmalaya.
Abizar Algifari Saiful
Pendidik musik, komposer, dan peneliti
5 Maret 2022
BandungBergerak.id - Sebelumnya saya sudah memaparkan hasil berbincang dengan Bu Ida Rosida, anak kandung Mang Koko. Perannya memang cukup penting dalam kegiatan preservasi karya-karya ayahnya. Saat ini Bu Ida merupakan salah satu orang yang sangat dekat dengan keberadaan karya kawih Mang Kokoan. Walaupun Yayasan Cangkurileung tak seaktif pada saat dipimpin langsung oleh Mang Koko, Bu Ida mengambil tongkat estafet ayahnya dan berusaha untuk tetap aktif mengumandangkan karya-karyanya.
Keutuhan karya Mang Koko tidak akan terlepas dari peran syair (rumpaka). Menurut Sukajardjana pada musik Timur (Indonesia) syair merupakan jiwa dari musik tersebut. Betapa pentingnya kehadiran syair dalam kemprangan kecapi. Untuk menguji seberapa penting syair dalam sebuah lagu bisa dengan cara mendengarkan lagu dengan menghilangkan syair lagunya, hanya bunyi alat musiknya saja (instrumentalia). Apakah pesan dari lagu tersebut tersampaikan? Dalam pikiran kita, apa yang kita bayangkan ketika mendengarkan sebuah lagu, gelombang bunyinya atau syairnya? Tentu saja syair yang membuat otak kita menyusun sketsa visual. Kita membayangkan apa yang dihadirkan dalam syair tersebut. Daun yang jatuh, rumah di pinggir sungai, bertemu di kaki gunung; ketiga contoh tersebut bila dibaca atau pun diingat akan memunculkan visualnya terlebih dahulu. Jelas, karena sesungguhnya manusia keranjingan dengan yang namanya simbol visual.
Nah, untuk membedah syair lagu Mang Koko, saya berniat mengunjungi rumah Prof. Iskandarwassid, lebih akrab disapa Prof Iswas. Petunjuk ini saya dapatkan dari saran Bu Dewi sebagai pembimbing tulisan ilmiah saya. Bu Dewi memberikan nomor gawai istri dari Prof Iswas yakni Bu Ruhaliyah, dosen Pendidikan dan Sastra Sunda dan pascasarjana UPI Bandung. Kala itu saya langsung mengirimkan pesan teks kepada Bu Ruhaliyah dengan tujuan ingin bertemu dengan suaminya, Prof Iswas, untuk diminta pendapat dan saran terkait materi penelitian saya. Tak sampai matahari terbenam, pesan teks saya dibalas Bu Ruhaliyah. Dan kami pun membuat janji untuk bertemu dengan Prof Iswas. Kebetulan, saya bertemu dengan Prof Iswas bukan di rumahnya, tetapi di gedung pascasarjana UPI, tempat di mana hari itu ia mengajar.
Hari yang sudah dijanjikan pun tiba. Saya segera menuju ke gedung pascasarjana UPI. Letak gedung ini berada di samping gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (Geugeut Winda) dan masjid Al Furqan. Waktu itu tempat bertemu kami di lantai 5 ruang jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Sesampainya di sana, ternyata Prof Iswas sudah ada, dan saya pun langsung menyapa, memperkenalkan diri, serta menyampaikan maksud saya datang kepadanya. Perbincangan pun dimulai. Pertama, saya memberikan dua lembar kertas yang berisi syair lagu Guntur Galunggung karya Mang Koko. Di situ tertera penulis rumpakanya adalah Wahyu Wibisana. Ia ingat bahwa Wahyu Wibisana adalah kakak tingkatnya ketika berkuliah di jurusan pendidikan bahasa dan sastra Sunda IKIP (kini, UPI) Bandung.
Baca Juga: Seputar Mang Koko dan Karyanya (5): Bertahan dari Kritikan Polisi Kebudayaan
Seputar Mang Koko dan Karyanya (6): Belajar Kecapi
Seputar Mang Koko dan Karyanya (7): Berkunjung ke Rumah Bu Ida Rosida
Sekitar tiga atau empat menit ia membaca terlebih dahulu syair yang saya berikan. Setelah itu ia coba untuk mengartikan dan membahas inti dari setiap baitnya. Perbincangan kami lebih intens ketika ia membahas mengenai kata imah (rumah) di dalam syair tersebut. Ia menyampaikan bahwa rumah di sini dapat berupa gambaran fisik atau bahasa simbol. Sudah jelas rumahnya terkubuh lumpur dan abu vulkanik, hanya tampak atapnya saja. Sebagai bahasa simbolik rumah memiliki banyak arti. Rumah sebagai tempat berlindung, rumah sebagai tempat kebahagiaan berada, rumah sebagai ruang memori yang mendalam bagi penghuninya, rumah sebagai susunan mimpi yang terus dibangun dan diperindah, dan masih banyak tafsiran lainnya. Saya resapi dan proses setiap pernyataan beliau.
Katanya juga, Mang Maman dan Bi Warsih dalam syair sebagai perlambang sepasang suami istri. Bagaimana sih seharusnya perilaku sepasang suami istri? Tentu saja saling melengkapi kekurangan masing-masing, saling menyayangi, saling menghargai, saling melindungi, dan saling mendukung. Dari pernyataan yang ia sampaikan tersebut saya teringat bait syair yang menjelaskan bahwa Mang Maman dan Bi Warsih memesan pagar di kota untuk dipasang di rumahnya. Pola pagarnya seperti huruf depan mereka M dan W, M untuk Maman dan W untuk Warsih. M dan W saling bertumpangan membentuk belah ketupat atau bisa jadi layang-layang. Di situ saya menafsir bahwa sepasang suami istri, apa pun yang terjadi, mereka harus hadapi bersama-sama. Rumah ini sebagai tempat bahagia ada, dengan pagar yang nanti dipasang semoga kebahagiaan tersebut akan terus tumbuh dan abadi. Perbincangan kami berkutat lebih banyak menelisik simbol-simbol kata yang ada dalam syair yang ditulis oleh Wahyu Wibisana.
Sebenarnya, ia menyarankan saya untuk mewawancarai mantan rektor Unpad (Universitas Padjadjaran) Prof. Ganjar Kurnia. Saran beliau tersebut didasarkan pada kedekatan hubungan pertemanan Prof Ganjar dengan Wahyu Wibisana. Katanya, Pak Wahyu lebih sering berinteraksi, bekerja, dan berkolaborasi dengan Prof Ganjar. Sehubungan dengan penulisan karya ilmiah yang dikejar waktu pengumpulan, maka saya belum sempat untuk menanyakan dan berdiskusi dengan beliau terkait peran dan karya-karya Wahyu Wibisana. Semoga lain waktu saya dapat bertemu dan berbincang dengan beliau.
Prof Iswas sedikit menceritakan pengalamannya ketika Gunung Galunggung meletus tahun 1982. Sungguh jelas sekali, abu vulkanik yang ia ceritakan terasa dalam ucapannya. Ketika itu ia sedang mengendarai motor ke arah Tasikmalaya, kalu tidak salah. Tebalnya abu vulkanik Gunung Galunggung kala itu sampai menutupi jalan sehingga arahnya tidak jelas dan rawan kecelakaan. Dan jalanan pun licin. Katanya, abu vulkanik Gunung Galunggung terbang menutupi langit Eropa. Berarti sungguh dahsyat letusannya. Tak hanya abu vulkanik, ketika Galunggung meletus terdengar suara gemuruh dan muncul petir di balik awan panas tebal yang keluar dari kawah.
Pada akhir perbincangan, Prof Iswas berkata bahwa bila mendengarkan lagu Guntur Galunggung saat ini pasti berbeda rasa kepedihannya ketika mereka yang pernah mengalami dan lagu ini diputar ketika gunung tersebut masih aktif erupsi. Kepedihan kehilangan tempat tinggal, kehilangan hewan ternak, kehilangan ladang, dan harus rela serta mengikuti aturan transmigrasi pemerintah kala itu. Galunggung erupsi satu tahun lamanya (1982-1983), waktu yang lama bagi sebuah gunung api erupsi. Syair tulisan Wahyu Wibisana ini merupakan gambaran yang ia rasakan pada saat itu; karena kampung halaman Wahyu Wibisana berada di Tasikmalaya. Kekuatan emosi dan melekatnya memori tersebut tercermin pada lagu Guntur Galunggung.