• Narasi
  • SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #5: Bertahan dari Kritikan Polisi Kebudayaan

SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #5: Bertahan dari Kritikan Polisi Kebudayaan

Mang Koko tak berhenti berkarya di tengah banyak kritikan. Ia menganggap hal tersebut sebagai pecutan untuk lebih semangat berkarya dan sebagai ajang pembuktian.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Mang Koko. (Sumber: Bulletin Kebudayaan Jawa Barat Kawit Nomor 49 Tahun 1997)

15 Februari 2022


BandungBergerak.idGamelan bitel. Itulah sebutan pada awal kemunculan gamelan wanda anyar yang diinisiasi oleh Mang Koko. Mengapa disebut gamelan bitel? Kala itu karya Mang Koko masih dianggap asing oleh para seniman dan penikmatnya. Kesan yang ditimbulkan saat itu seperti mendengarkan lagu pop dan gamelan yang digarapnya pun berbeda. Memang proses kreatif pasti akan mendapatkan respons pro dan kontra. Cokorda Sukawati (2003) dalam Sukerta mengungkapkan dalam bukunya berjudul Metode Penyusunan Karya Musik: Sebuah Alternatif bahwa seorang kreator harus menguatkan batinnya untuk tidak takut dibandingkan dengan orang lain, tidak takut kelihatan bodoh, tidak takut melakukan kesalahan, tidak takut terhadap kritik, tidak takut akan hal yang yang tidak diketahui, dan tidak takut dikucilkan. Faktanya, Mang Koko dapat melewati itu semua.

Mang Koko tak berhenti berkarya dengan masalah seperti itu. Ia menganggap hal tersebut sebagai pecutan untuk lebih semangat berkarya dan sebagai ajang pembuktian. Terbukti saat ini. Pengorbanan sebagian waktu hidup yang dicurahkan untuk kesenian membuahkan hasil yang manis dan memuaskan. Mang Koko menjadi maestro pembaharu karawitan Sunda. Karyanya berjumlah ratusan. Terabadikan dalam bentuk tulisan tangan (notasi musik) dan rekaman berupa piringan hitam maupun kaset pita. Dari ketekunan ini pun, Mang Koko mendapat banyak penghargaan. Gelar maestro yang dinobatkan kepada Mang Koko tidak hanya berlandaskan pada satu pandangan saja. Pengakuan murid, seniman, dan masyarakat umum membuktikan Mang Koko memang seorang kreator sejati, tak mudah menyerah, dan bijaksana.

Gelar maestro tidak ujug-ujug dinobatkan pada Mang Koko tanpa alasan yang jelas. Kepiawaiannya dalam mencipta lagu, menggarap sekar gending, memainkan instrumen musik, dan mendidik yang membuat Mang Koko sampai pada tahap ini. Walaupun raga sudah tak tampak, namun ilmu dan semangat berkaryanya masih terasa sampai hari ini.

Pesan Mang Koko untuk para pemuda tertuang dalam tulisannya yang disampaikan pada Sawala Seni Karawitan Sunda yang di prakarsai oleh pemerintah daerah Kabupaten Cianjur Dasentra Bandung pada hari Sabtu 28 September 1985 yang berbunyi: Khusus ka para nonoman seniman karawitan Sunda, ulah waka sugema duméh ngaraos parantos terampil di garapan vokal atanapi instruméntal, namung teras ngayakeun usaha ningkatkeun éta keterampilan bari sareng ngundeur élmu-élmu, supados ka payun mah langkung jembar sareng mekar dina ngayakeun kréasina. Pesan tersebut merupakan penggalan dalam ceramahnya.

Pada potongan ceramah Mang Koko juga tersirat pesan yang mengajak para anak muda untuk terus berkreasi. Mencurahkan seluruh kreativitasnya untuk kemajuan kesenian daerah. Ia tidak memutus rantai kreativitas. Kritikan pedas yang menyerangnya tidak ia lakukan lagi kepada para muridnya. Malahan menyulut semangat penerusnya untuk terus melanjutkan dan mempertahankan api semangat berkaryanya. Kreativitas yang dilakukan harus dibarengi pula dengan pengetahuan dan pengalaman musikal yang ideal. Sebagai seorang komposer, Mang Koko mampu menyeimbangkan hal itu.

Terlihat sekali dalam karya-karyanya, Mang Koko memiliki pengetahuan dan keterampilan yang kaya. Penguasaan dan pengalaman memainkan alat musik tradisi barat seperti biola dan gitar menimbulkan gagasan musikal yang unik. Sudah barang tentu kepiawaian Mang Koko dalam memainkan kacapi ia dapatkan dari ayahnya. Ditambah suara Mang Koko yang mantap ngawih dan nembang menambah penguasaan pengetahuan dan gagasan yang bimusikal. Tardi Ruswandi menjabarkan kepiawaian fisik Mang Koko pada tulisannya yang berjudul Peranan Mang Koko Dalam Penggalian Karawitan Sunda dalam Bulletin Kebudayaan Jawa Barat Kawit nomor 49 tahun 1997. Keterampilan tangan dibedakan atas cara penjarian untuk memainkan kacapi dan cara menabuh gamelan secara melodis. Untuk penjarian diambil dari menir muda dan kacapi Cianjuran. Untuk menabuh gamelan pelog-salendro secara melodis diambil dari teknik permainan gamelan degung klasik. Kerasnya menabuh gamelan secara melodis diambil dari gamelan Bali. Sedangkan teknik menabuh kempemprangan dan carukan diambil dari garapan kliningan (jenis kesenian yang menggarap sekar gending).

Mengenai keterampilan teknik olah vokal (melatih pernafasan dan suara-suara tinggi) diambil dari tarhim (membaca Al-Quran sampai menjelang subuh); untuk kesederhanaan melodi vokal diambil dari tembang pupuh (sekar irama merdeka yang melodinya masih sederhana); untuk vibrasi salendro dan surupan tinggi diambil dari tembang pagerageungan; untuk ornamentasi vokal diambil dari tembang Cianjuran dan kawih kepesindenan.

Baca Juga: Seputar Mang Koko dan Karyanya (2): Letusan Dahsyat 1982 dalam Syair Guntur Galunggung
Seputar Mang Koko dan Karyanya (3): Sosok Seniman yang Mendidik
Seputar Mang Koko dan Karyanya (4): Mencari Data Mang Koko ke Rumah Pak Rasita

Polisi Kebudayaan

Warna-warni elemen pada karawitan gaya Mang Koko menunjukan variasi dan kekayaan pada kesenian Sunda. Wanda anyar atau Mang Koko-an merupakan cerminan kekayaan bunyi di Tatar Sunda. Proses kreatif yang panjang Mang Koko jalani dengan kesabaran dan ketabahan. Menyusun anak tangga satu persatu. Tidak ada tujuan individual. Mang Koko hanya ingin membukakan pandangan mengenai pentingnya semangat berkreasi; mencari kemungkinan baru. Cemoohan dan gunjingan menjadi santapan utama sekaligus penutup. Istilah polisi kebudayaan yang saya sebutkan pada bagian judul dimaksudkan pada kritikan pedas yang dilontarkan oleh para oknum kebudayaan yang memandang adanya kata salah-benar, merusak, dan tidak patuh terhadap proses kreativitas yang dilakukan oleh para seniman pembaharu. Yang menjadikan mereka keberatan dengan kreativitas baru adalah istilah kata tradisi. Apa sebenarnya tradisi itu? Apakah selalu berhubungan dengan pakem dan patokan khusus yang sungguh tidak dapat dirubah satu senti pun? Jika begitu, apa fungsi dari daya kreativitas yang dimiliki oleh para seniman? Saya berpijak pada pengertian tradisi yang diungkapkan oleh maestro tari Sardono W. Kusumo yang menyebutkan bahwa kesenian tradisi adalah kesenian yang terus bertumbuh, yang terus bergerak, yang selalu ada kreativitas di dalamnya. Perlu diketahui bahwa Sardono memiliki nasib yang sama dengan Mang Koko. Telur busuk pernah mendarat ketika ia sedang melakukan pentas.

Kritikan memang wajar terlontar dari siapa pun. Bahkan kritik menjadi salah satu hal penting bagi timbal balik dari sebuah karya seni. Seniman dan apresiator dapat lebih belajar sekaligus berdialog dalam sebuah wahana kritik ulasan karya seni. Banyaknya kritik yang dilontarkan kepada Mang Koko, meyakinkan bahwa Mang Koko merupakan insan seni yang dilihat akan memberikan warna baru pada ruang karawitan Sunda. Kala itu kritikan ditujukan langsung berupa bahasa lisan yang tak terekam jejaknya. Jarang sekali saya menemukan kritik seni pertunjukan, khususnya kesenian tradisi, dalam bentuk tulisan. Kritik menjadi api sekaligus angin untuk sang seniman. Pilihannya hanya dua, berhenti atau terus berkarya. Mang Koko memilih untuk menyelam pada keyakinannya untuk berkarya. Bayangkan jika Mang Koko berhenti berkarya. Apakah kita masih dapat mendengar ekspresifnya gending kacapi pada lagu Remis Beureum Dina Eurih?

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//