SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #7: Berkunjung ke Rumah Bu Ida Rosida
Lagu Bungur Jalan Ka Cianjur digarap Mang Koko perjalanan ke Cianjur. Sampai Cianjur, lagu itu sudah rampung.
Abizar Algifari Saiful
Pendidik musik, komposer, dan peneliti
2 Maret 2022
BandungBergerak.id - Tahun 2017 lalu, saya sedang menelisik salah satu lagu Mang Koko berjudul Guntur Galunggung. Kekaguman saya pada lagu tersebut langsung muncul ketika pertama kali mendengarnya. Awalnya saya merasa aneh dengan karya kawih dengan durasi panjang, kurang lebih 11 menit. Padahal dominan karya kawih Mang Kokoan berdurasi 3 hingga 7 menitan saja, itu pun adanya pengulangan bait syair yang dinyanyikan bergantian antara juru kawih pria dan wanita.
Guntur Galunggung coba saya putar, dan malah memunculkan keingintahuan yang berlanjut. Saya putar berulang-ulang, sekedar untuk menikmati kesan afektif yang saya imajinasikan. Tanpa melihat syairnya secara mendetail, saya dapat mengetahui maksud lagu itu apa. Gending bubuka (intro) yang khas membuat lagu ini memiliki identitas yang benar-benar mandiri. Diawali dengan bunyi kawat bernada rendah pada kacapi siter, lagu ini seakan menarik masuk yang mendengarkannya. Terbang, turun mengitari rumah yang di sekitarnya masih dikelilingi sawah, berlatar bayang gunung berwarna biru dan suara gemericik air sungai yang menabrak bebatuan besar.
Untuk memperdalam pemahaman lagu Guntur Galunggung, saya menyambangi tiga narasumber berbeda yaitu Bu Ida Rosida, Pak Kos Warnika, dan Prof. Iskandarwassid. Ketiga narasumber ini dipilih atas hasil diskusi dengan pembimbing karya tulis ilmiah saya yaitu ibu Dewi Suryati Budiwati. Kali ini saya akan ungkapkan kembali apa yang saya dan narasumber obrolkan terkait Mang Koko.
Waktu itu saya rekam percakapan kami menggunakan gawai. Namun, setelah saya cari file audionya di laptop dan hardisk ternyata belum juga saya temukan. Padahal di sana, ada beberapa obrolan yang saat ini saya lupa detailnya. Semoga saja rekaman audio itu ketemu. Amin.
Saya mencoba untuk menguraikan percakapan kami. Walau rekaman audio itu belum ditemukan, saya coba untuk berusaha mengingat hal-hal apa saja yang kami perbincangkan kala itu. Akan saya mulai dari kunjungan ke rumah Bu Ida Rosida, selaku anak kandung Mang Koko.
Ida Rosida lahir pada tanggal 26 Agustus 1953. Dari kedelapan anak kandung Mang Koko, Bu Ida dikaruniai vokal (pita suara) yang unggul dibanding anggota keluarga lainnya. Para seniman Sunda sudah tak asing lagi dengan nama ini. Ida Rosida merupakan juru kawih wanda anyar yang masyhur. Suaranya khas. Mendengar permulaan lagu pun kita sudah tahu itu suaranya. Tinggi dan tegas, itulah yang dapat saya gambarkan suaranya dengan kata. Saya bertamu dengan janji yang sudah dibuat dahulu melalui pesan teks. Saya dijamu dengan ramah dan hangat.
Kala itu saya datang bersama mantan pacar saya yang sekarang sudah menjadi istri. Ia membantu saya dalam proses perekaman audio dan pendokumentasian foto. Perbincangan dimulai dengan perkenalan dan maksud tujuan kami datang ke rumahnya. Sebagai salah satu anak Mang Koko, Bu Ida merupakan saksi kunci penting terkait lahirnya karya-karya yang diciptakan oleh Mang Koko. Pandangannya tidak sebatas masalah kekaryaan ayahnya, tetapi ia memaparkan kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan Mang Koko di rumah. Di antaranya, ketika Mang Koko sedang membuat atau menggarap lagu, tidak ada anaknya yang berani mengganggu. Mang Koko sangat fokus pada pekerjaan. Menyendiri, menulis, dan berlama-lama duduk untuk menyusun nada demi nada yang akan disandingkan dengan syair yang sudah ia tulis, maupun syair yang berasal dari karya para sastrawan Sunda.
Bu Ida menyampaikan satu cerita tentang salah satu proses penggarapan lagu. Ia bercerita mengenai proses di balik lagu Bungur Jalan Ka Cianjur. Lagu ini termasuk kategori tingkat dewasa. Bahwa lagu ini digarap waktu Mang Koko hendak pergi ke Cianjur. Perjalanannya waktu itu menggunakan mobil. Syair lagu ini memang sudah ada. Penulis syairnya adalah salah satu sastrawan masyhur Sunda yang bernama Wahyu Wibisana. Katanya, sepanjang perjalanan Mang Koko bersenandung sambil menggunakan alat yang ukurannya kecil (saya lupa ini alat musik atau bukan); sejenis penala bunyi, disertai menuliskan susunan melodi tersebut pada buku catatan yang dibawanya. Begitu sampai di Cianjur, lagu itu sudah rampung. Dari sini kita bisa melihat kemampuan Mang Koko dalam menggarap lagu sungguh luar biasa. Cara kerjanya seperti para komponis musik barat. Kepekaan telinga akan bunyi dan insting garapnya membuat Mang Koko cepat untuk berkarya. Memang tidak semua karya dikerjakannya dalam waktu singkat. Ada beberapa karya yang ia kerjakan berminggu bahkan berbulan-bulan.
Bu Ida yang pensiunan guru SMKI (Sekolah Menengah Karawitan), kini SMKN 10 Bandung, sesekali mencontohkan potongan lagu-lagu Mang Koko untuk memberikan gambaran, sehingga memudahkan dalam menjelaskan, khususnya yang berkaitan dengan istilah dalam karawitan Sunda yang bila tanpa contoh sulit untuk dimengerti. Misalkan modulasi, pada karya Mang Koko yang sedang saya tanyakan, lagu Guntur Galunggung, terdapat bagian di mana harus berpindah wilayah nada. Proses modulasi ini dilakukan pada kacapi, vokal pun ikut berpindah wilayah nada.
Baca Juga: Seputar Mang Koko dan Karyanya (4): Mencari Data Mang Koko ke Rumah Pak Rasita
Seputar Mang Koko dan Karyanya (5): Bertahan dari Kritikan Polisi Kebudayaan
Seputar Mang Koko dan Karyanya (6): Belajar Kecapi
Mang Koko di Rumahnya
Selain memperbincangkan terkait kekaryaang Mang Koko, Bu Ida menceritakan sosok ayahnya ketika berada di rumah. Ia mengungkapkan bahwa Mang Koko merupakan pribadi yang disiplin, bijaksana, dan dekat dengan keluarga. Untuk masalah kedisiplinan tidak usah diragukan lagi. Intensitas latihan dan eksplorasi kacapi yang dilakukan Mang Koko tak ada tandingannya. Menurut guru kacapi saya, Deri Wardhani, bahwa di beberapa ruang rumahnya Mang Koko sengaja menyimpan kacapi di depan pintunya. Jadi, setiap kali ia hendak berpindah ruang atau beraktivitas di ruang lain, hal yang pertama dilakukannya adalah mengambil kacapi dan langsung melatih kelenturan jarinya; entah itu memainkan pirigan lagu atau sekedar melakukan senam jari. Disiplinnya juga diterapkan pada kelompok gamelannya. Ketika azan berkumandang Mang Koko tak segan untuk menghentikan segala aktivitas latihannya. Perannya sebagai seniman besar, tidak membuat Mang Koko lupa terhadap keluarga. Kecintaannya terhadap karawitan Sunda malah membuat Mang Koko dapat menghidupi seluruh anggota keluarganya. Bu Ida juga menarasikan pengalamannya ketika pentas, proses perekaman lagu, dan mengajar.
Kesusksesan Mang Koko sebagai maestro karawitan Sunda tidak dapat terlaksana tanpa peran; khususnya keluarga, juru kawih, para seniman, operator rekam, penyiar radio, dan umumnya masyarakat Jawa Barat. Sudah tentu Bu Ida sebagai anak sekaligus juru kawih. Yang membuat karya Mang Koko terus terdengar sampai saat ini. Suaranya tidak pernah lelah dan bosan untuk terus mengumandangkan karya sang maestro. Tak mudah memang untuk mempertahankan. Namun, Bu Ida merupakan sosok seniman tangguh sekaligus anak yang berbakti pada orang tuanya.
Pada satu titik, Bu Ida menceritakan pulangnya Mang Koko ke hadapan illahi. Tubuhnya tak dapat berbohong. Ada kesedihan yang mendalam. Sungguh kabar yang tak terduga. Keluarga dan semua orang yang menyayangi Mang Koko harus ikhlas dan melanjutkan tongkat estafet perjuangannya. Walau sedih dan pilu, di mata Bu Ida, saya melihat semangat. Memiliki ayah seorang maestro pembaharu karawitan Sunda merupakan tanggung jawab yang harus dipegang dan dipertahankan. Sampai saat ini Bu Ida masih semangat dan mampu merawat karya ayahnya dengan dedikasinya. Yayasan Cangkurileung yang saat ini dipegangnya rutin menyelenggarakan lomba (pasanggiri) kawih mulai dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat dewasa (umum); tunggal maupun dalam bentuk layeutan sora (paduan suara). Untuk menambah dokumentasi karya Mang Koko dalam bentuk rekaman, tak jarang ia melakukan perekaman kembali lagu-lagu Mang Koko, tentunya dengan garapan musik yang lebih anyar.