SEPUTAR MANG KOKO DAN KARYANYA #6: Belajar Kecapi
Pembelajaran kecapi gaya Mang Koko dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan kampus seni, di antaranya SMKN 10 Bandung, UPI Bandung, dan ISBI Bandung.
Abizar Algifari Saiful
Pendidik musik, komposer, dan peneliti
22 Februari 2022
BandungBergerak.id - Bulan September tahun 2013. Awal mula saya masuk kuliah di Pendidikan Musik UPI. Dari awal masuk, saya sudah beritikad kuat untuk belajar dan memperdalam alat musik Kacapi. Mendengar lagu-lagu Mang Koko sejak SMP, membuat saya jatuh cinta dengan suara kacapi dan ingin mempelajarinya suatu saat. Pengetahuan mengenai kacapi, saya baru dapatkan secara jelas di kampus. Saat ini, muncul pertanyaan, kenapa ya, saat itu, sulit sekali mendapatkan informasi tentang sumber belajar karawitan Sunda? Apakah karawitan Sunda miskin peminat? Atau ilmu ini hanya ada di dalam tembok kampus saja? Semoga dengan didobraknya pintu jarak dan waktu dengan internet, informasi mengenai karawitan Sunda lebih mudah didapat.
Mulai dari semester dua kami harus memilih satu alat musik yang akan kami pelajari fokus ke depannya. Sudah tentu saya memilih kecapi sebagai alat musik yang akan diselami lebih dalam. Pada saat itu pertama saya menyentuh senar-senar kecapi. Kecapi yang digunakan adalah kecapi siter dengan jumlah senar 20. Kacapi ini biasa digunakan untuk karya-karya Mang Koko. Berbeda dengan kacapi perahu (indung) yang memiliki senar 18 digunakan pada repetoar kesenian tembang Sunda Cianjuran. Ingat sekali, pertama kali nyintreuk (dilakukan oleh jari tangan kanan) dan noél (dilakukan oleh jari tangan kiri), jari terasa kaku dan sakit. Setelah latihan pertama itu jari saya kapalan, karena belum terbiasa. Hal tersebut tidak menyurutkan semangat saya untuk terus berusaha berlatih dan berlatih. Tiada hari tanpa memegang kecapi. Terkadang saya bawa kacapi tersebut ke atas kasur, bahkan tak jarang tidur bersama. Untuk melatih kelenturan teknik nyintreuk dan noél saya habiskan waktu tiga bulan lebih. Dari sana saya muai terbiasa dan nyaman dengan teknik tersebut.
Setelah teknik dasar tersebut dikuasai, dosen saya, Pak Toni, mengajarkan lagu pertama berjudul Hariring Nu Kungsi Nyanding. Lagu ini digarap Mang Koko pada tanggal 26 Juli 1965 di Bandung. Rumpaka-nya (lirik) ditulis oleh Win ART berlaras pelog dengan gerakan sedeng. Gembira yang saya rasa ketika bisa dan lancar memainkan iringan kecapi lagu ini. Ditambah lagi dengan menghafal vokalnya, menambah semangat saya untuk terus mempelajari lagu-lagu Mang Koko lainnya. Untuk mempelajari lagu selanjutkan, kami diselingi oleh etude-etude yang Mang Koko telah tulis dalam bentuk buku berjudul Pelajaran Kacapi: Etude dan Teknik diterbitkan oleh Mitra Buana pada halaman pengantar penerbit. Buku ini digunakan di berbagai instansi kesenian di Bandung untuk mempelajari tabuhan iringan kacapi lagu karya Mang Koko.
Pembelajaran kecapi gaya Mang Koko dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan kampus seni, di antaranya di SMKN 10 Bandung, UPI Bandung, dan ISBI Bandung. Mengapa pembelajaran kecapi menjadi prioritas di instansi tersebut? Salah satunya adalah upaya pewarisan secara turun temurun, supaya karya garapan Mang Koko terus ada yang melanjutkan dan mengembangkan. Sebab dari pilihan kecapi Wanda Anyar yang banyak diajarkan di berbagai instansi adalah adanya buku petunjuk cara mempelajari karya-karya Mang Koko. Buku Pelajaran Kacapi: Etude dan Teknik, yang ditulis Mang Koko sendiri, menjadi penerang bagi seseorang yang ingin mempelajari tabuhan kecapi gayanya. Buku ini menjadi pengarah dasar untuk masuk pada tabuhan pirigan kecapi lagu Mang Kokoan. Saya pun merasa terbantu ketika pertama kali mempelajari tabuhan kacapi wanda anyar. Terdapat 53 nomor etude untuk dipelajari. Selurih etude tersebut disarikan dari seluruh tabukan kecapi lagu-lagu Mang Koko. Jadi, antara etude tersebut mencerminkan salah satu potongan tabuhan pada beberapa lagu.
Susunan etude dari nomor 1 sampai nomor 53 disusun Mang Koko sesuai dengan tingkat kerumitannya. Mulai dari teknik nyintreuk gembyang (oktaf) sampai pola pirigan (iringan) yang rumit pada lagu-lagu kelompok dewasa, seperti Guntur Galunggung (25 Juni 1982), Remis Beureum Dina Eurih (30 Oktober 1966), Tepung di Lamping Galunggung (6 Mei 1972), dan Putri Ninun Deudeuh Teuing (30 Januari 1975). Jika sudah memahami hitungan tempo (gerakan musik) dan bisa membaca serat kanayagan (notasi damina), kita dapat mempelajari etude ini secara mandiri. Dengan melahap seluruh nomor etude kecapi dalam buku ini, aplikasi penjarian pada intro dan iringan kacapi pada lagu karya Mang Koko apa pun dapat dipelajari dengan mudah, dibandingkan langsung mempelajari lagu. Istilah musik yang digunakan pada buku ini sudah disesuaikan ketika yang kita ketahui teori musik Barat terlebih dahulu. Seperti penggunaan istilah interval, tempo, oktaf, dan penggunaan bar di setiap bagian etudenya.
Saya kira Mang Koko cukup detail dalam memikirkan karyanya. Dari proses garap, menulis notasi, sampai pembelajaran terhadap karyanya dipikirkan dengan baik; tidak hanya untuk saat itu tetapi untuk masa di mana ia sudah tidak ada. Didukung oleh Yayasan Cangkurileung, yayasan bentukannya, dan lembaga rekaman kala itu, persebaran dan sosialisasi dapat dilakukan secara masif, khususnya di Jawa Barat. Nama Mang Koko pun semakin dikenal, tak hanya di sekolah, di warung kopi pun selalu terdengar karyanya. Dapat dibayangkan, Mang Koko sama terkenalnya dengan para pejabat dan bangsawan kala itu. Berkat radio, suara Mang Koko dapat didengar hingga pelosok desa.
Baca Juga: Seputar Mang Koko dan Karyanya (5): Bertahan dari Kritikan Polisi Kebudayaan
Seputar Mang Koko dan Karyanya (4): Mencari Data Mang Koko ke Rumah Pak Rasita
Seputar Mang Koko dan Karyanya (3): Sosok Seniman yang Mendidik
Antusias Menurun
Sepeninggal Mang Koko ke hadapanNya, eksistensi dan semangat Yayasan Cangkurileung mulai menurun. Pelatihan yang dahulu sering diselenggarakan, sudah berkurang intensitasnya. Pareumeun obor, itu yang dirasakan para keluarga, kerabat, dan umumnya masyarakat Sunda. Untungnya Mang Koko meninggalkan banyak jejak tulisan berupa notasi musik, catatan, dan buku. Termasuk buku pembelajaran kecapi ini. Dewasa ini pun, terasa penurunan antusias para pemuda terhadap karya Mang Koko. Untuk tertarik saja, membutuhkan tenaga ekstra untuk menarik perhatian para pemuda. Seperti yang ditulis oleh penerbit buku ini pada bagian pengantar. Keinginan untuk menerbitkan sekaligus menyebar luaskan naskah buku Pelajaran Kacapi cukup beralasan. Mengingat kacapi salah satu waditra kesenian Sunda, banyak diabaikan dalam arti tidak mendapat lirikan perhatian selayaknya terutama generasi muda selaku pewaris sekaligus sebagai penerus.
Berbagai kendala yang mehambat semakin berkurangnya minat penggarap waditra kecapi dikarenakan beberapa faktor antara lain, terbatasnya kesempatan pengenalan, akibatnya mereka, terutama generasi penerus, merasa asing akan miliknya (identitas) sendiri. Jauh berbeda keadaannya dengan masa sebelum revolusi fisik sekitar tahun tiga puluhan (1930-an), di mana waditra kecapi (siter) hampir tersebat di mana-mana. Mulai dari warung kopi sampai pos ronda. Terdengar suara petikan kecapi sebagai sarana pelipur lara.
Buku yang saya miliki ini adalah cetakan keempat yang berangka tahun 1990. Pada tahun itu saja minat pemuda sudah diprediksi turun. Dengan perkembangan zaman, apresiasi para pemuda pun ikut berkembang. Otomatis pengaruh eksternal pun semakin banyak. Pilihannya hanya dua, menarik atau tidak. Jika mempelajari kecapi ini adalah hal menarik maka teknologi membuat mudah mencari informasi apa pun terkait itu. Apabila dari awal sudah tidak tertarik, maka sekeras dan semudah apa pun informasi itu mempengaruhi, tidak akan mengubah apa pun.
Memang tidak ada yang benar dan salah, suka atau tidak suka; perasaan tersebut pilihan masing-masing orang. Sama seperti tulisan yang akan menemukan tempat dan tuannya. Karya seni pun akan tetap ada, menunggu bahkan menghampiri tuannya. Bila tidak dicari dan dibutuhkan pun, sebuah karya akan baik-baik saja.