Jurnal Bunyi #10: Pesona Kendang dalam Pertunjukan Tepak Ngawandaan Réngkak
Walaupun pandemi ini sudah mengarah pada endemi, hemat saya, kemampuan pada bidang digital ini perlu masuk pada kurikulum kuliah sesuai bidang studi masing-masing.
Abizar Algifari Saiful
Pendidik musik, komposer, dan peneliti
26 Juni 2022
BandungBergerak.id - Saya masuk pada pintu berwarna abu-abu. Terpancar lampu yang lumayan mengusik mata. Lantai 2 di gedung pertunjukan Sunan Ambu menyuguhkan bentangan pemandangan panggung yang selalu memunculkan rasa penasaran untuk menebak, apa yang ada di balik layar tersebut. Ini merupakan pertanda baik yang saya rindukan selama ini.
Ternyata sudah lumayan banyak penonton, entah itu anggota keluarga dari penyaji atau seluruh lapisan masyarakat di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung; semua terlihat semringah dengan dapat menyaksikan ujian dari mahasiswa tingkat akhir.
Kali ini mahasiswa jurusan karawitan yang unjuk kemampuan sebagai syarat untuk lulus dan menerima gelar sarjana seni. Selama pagebluk melanda kemarin, khususnya mahasiswa fakultas seni pertunjukan di ISBI Bandung, menyajikan pertunjukan untuk ujian akhirnya melalui sajian video. Tentu saja karena aturan protokol kesehatan yang masih perlu ditaati. Respons negatif sudah tentu terlontar dari berbagai pihak, namun di lain sisi, para mahasiswa dituntut untut meningkatkan kemampuannya di bidang media digital. Mulai dari bagaimana mengambil gambar, merekam audio, sampai dengan melakukan editing video, perlu dimasukan dalam daftar kemampuan yang harus dipelajari dan harus dipersiapkan.
Walaupun pandemi ini sudah mengarah pada endemi, hemat saya, kemampuan pada bidang digital ini perlu masuk pada kurikulum kuliah sesuai bidang studi masing-masing. Karena ke depan, tidak menutup kemungkinan, seluruh aspek kehidupan akan dibuat berlari oleh kemajuan teknologi.
Malam itu, saya menyaksikan rangkaian pertunjukan ujian akhir jurusan karawitan ISBI Bandung; khususnya dua pertunjukan terakhir. Kebetulan, dua pertunjukan ini menyajikan kepiawaian para penyaji dalam menggarap kendang dalam wanda jaipongan. Layar terbuka, posisi para nayaga (pemusik) sudah siap. Bunyi pertama dengan dinamika yang keras membuka sajian pertunjukan pertama. Kelincahan melodi dari setiap waditra menciptakan identitas kuat akan wanda jaipongan. Tak hanya lincah, setiap waditra berpijak kuat pada beberapa bagian untuk memberikan aksen gerak yang jelas. Mendengarnya, seakan diajak berlari, terbang, kadang dibanting pada bagian-bagian tertentu. Kuatnya tenaga amat terasa dalam bunyi. Satu sajian pertunjukan kurang lebih berdurasi 30 menit. Namun, malam itu, saya hanya menyaksikan satu pertunjukan secara utuh.
Tepak Ngawandaan Réngkak. Itulah judul yang disebutkan narator dalam membacakan profil karya dan penyaji yang akan tampil. Herlan Rosela menjadi penyaji kendang wanda jaipongan sebagai pemungkas ujian akhir mahasiswa jurusan karawitan malam itu, Kamis (16 Juni 2022). Lampu central sudah dipadamkan. Tirai panggung perlahan mulai terbuka. Para nayaga sudah bersiap pada instrumen musiknya.
Satu pemusik yang menjadi sorotan dalam sajian ini, tentu saja penabuh kendang. Posisi penabuh kendang berada lebih tinggi dibandingkan dengan instrumen lainnya. Hal ini dimaksudkan supaya para penguji dan penonton dapat dengan jelas menyaksikan aksi dari penabuh kendang. Sesuai dengan tajuk yang diangkat, bila saya artikan sekilas, yakni pola tabuhan kendang yang mewarnai (jenis) gerak.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang diartikulasikan penyaji dalam sebuah dialog. Katanya, penggunaan kata Tepak Ngawandaan Réngkak sebagai judul penyajian ini dilandasi atas arti dari judul tersebut yaitu garap kendang yang memberikan karakter terhadap gerak. Dengan demikian, Tepak Ngawandaan Réngkak dapat dimaknai sebagai sebuah semangat dan rasa yang dapat membangun sebuah karakter terhadap gerak yang akan penyaji sampaikan.
Tampak pemusik sudah mulai fokus pada tabuhan pertama yang akan dibunyikan. Bunyi pertama terdengar sangat berenergi, menggugah setiap penonton yang menyaksikan. Posisi duduk apresiator mulai diperbaiki supaya terasa nyaman selama menyaksikan pertunjukan. Memang, musik yang didengarkan mengajak kita berlari dan terus bergerak. Tak nyaman jika hanya menyaksikan pertunjukan tari ketuk tilu dan jaipongan dengan posisi duduk dan diam. Musiknya mengajak dan menarik tubuh untuk ikut bergerak mengikuti irama dan dinamika yang disuguhkan. Asyik jika dapat ikut menari di dekat panggung.
Perlu diketahui, setiap satu orang penyaji menyuguhkan tiga judul karya yang dikemas tanpa jeda. Pada sajian yang bertajuk Tepak Ngawandaan Réngkak disuguhkan tiga garapan karya, yaitu Garap Kendang Tari Rasjati, Garap Kendang Tari Pemuda Utama, dan Garap kendang Tari Mayang Mandiri. Pemilihan garap kendang Tari Rasjati dilandasi atas kepentingan garap kendang dalam bentuk Lenyepan yang merupakan salah satu kelompok Lagu Ageung, sebagai representasi garap kendang jaipongan dengan iringan karya Lili Suparli. Lalu pemilihan garap kendang Tari Pemuda Utama dilandasi atas kepentingan garap kendang dalam bentuk Rérénggongan sebagai represntasi jaipongan gaya Ujang Bei. Dan pemilihan garap kendang Tari Mayang Mandiri dilandasi atas kepentingan apresiatif.
Dari tangkapan indrawi, bagi saya, Tari Rasjati melukiskan beberapa karakter tubuh wanita yang paradoks, di antaranya feminim namun maskulin, halus namun tegas, keras namun gemulai, khidmat namun eksploratif, anggun namun ladak, dan menggoda namun melawan. Geraknya mantap bertenaga. Tidak membiarkan mata penonton untuk lepas dari ikatan setiap liuk tubuh penari.
Suguhan garap kendang kedua adalah Tari Pemuda Utama. Saya baru mendengar judul tari tersebut. Ternyata tarian ini disajikan oleh dua orang pemuda (pria). Pola geraknya bervariasi, pada beberapa bagian gerakan kedua penari sama dan kompak, di sisi lain terkadang gerakannya saling merespons gerak. Karena ditarikan oleh dua orang pria, karakter gerak yang dihasilkan pun maskulin. Meskipun dalam wanda jaipongan, gerak yang dipilih adalah gerakan yang lugas namun tidak meninggalkan kesan lincah sebagai ciri khas dasarnya.
Garap kendang jaipong yang ketiga, yakni Tari Mayang Mandiri. Sesuai dengan alasan penyaji, bahwa pemilihan tari ini berdasarkan kepentingan apresiatif atau bisa dikatakan populer. Penarinya terdiri dari tiga orang wanita berkostum warna merah muda.
Baca Juga: JURNAL BUNYI #7: Diajar Mamaos Cianjuran
JURNAL BUNYI #8: Musik Tradisi, Siapa yang Punya?
JURNAL BUNYI #9: Racun Telinga Ini dari Mana?
Eksplorasi Gagasan
Menyaksikan dan mendengarkan garap kedang dalam pertunjukan malam itu, meyakinkan saya bahwa kendang merupakan instrumen yang lentur. Memang yang disuguhkan adalah pertunjukan garap kendang jaipongan, namun ada proses kreatif di dalamnya. Penyaji tidak hanya menyajikan karya tersebut tanpa ada pembeda. Di dalamnya ada gagasan anyar dari proses eksplorasi yang dilakukan sepanjang proses penggarapan pertunjukan ini, utamanya pada penggarapan pola tabuhan kendang.
Saya teringat pernyataan Prof. Rustopo yang mengartikulasikan bahwa kreativitas dalam mengembangkan sebuah karya musik (karawitan) dapat berlandaskan pada kesenian terdahulu atau aturan dan konsep yang sudah ada. Hemat saya, jurusan karawitan ISBI Bandung, secara tidak langsung sudah melakukan kegiatan preservasi. Sajian lawas, dapat ditata dan disusun sedemikian rupa supaya dapat dinikmati dengan kemasan yang lebih segar.
Harapan saya, semoga pertunjukan seni tradisi seperti ini tidak hanya dapat dinikmati dalam tembok kampus seni saja. Sehingga pandangan khalayak umum terhadap kesenian tradisi dapat berkembang kepada kualitas berpikir yang lebih baik. Sungguh senang hati ini dapat menyaksikan kembali pertunjukan seni secara langsung.