• Narasi
  • JURNAL BUNYI #8: Musik Tradisi, Siapa yang Punya?

JURNAL BUNYI #8: Musik Tradisi, Siapa yang Punya?

Proses hak cipta sendiri dahulu tidak ada. Baru muncul pada tahun 1982. Hak cipta untuk musik tradisi membutuhkan penelitian mendalam.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Diskusi Terpumpun Musik Tradisional Jawa Barat Dalam Rangka Memperingati Hari Musik Nasional. (Sumber: Channel Youtube Budaya Jabar)

22 Maret 2022


BandungBergerak.idKeberagaman musik tradisi yang ada di Jawa Barat merupakan kekayaan budaya yang patut dijaga, dikelola, dan dilindungi dengan baik. Sampai sekarang upaya itu kerap dikumandangkan dan dipertahankan. Memang tidak mudah untuk melakukan pekerjaan rumah ini. Namun, sebagai manusia yang hidup dalam kebudayaan tersebut, kita patut mendukung dan berpartisipasi dalam usaha preservasi musik tradisi.

Banyak usaha yang sudah dilakukan, di antaranya proses perekaman (dokumentasi aural dan visual), pengelolaan arsip, dan pencatatan (penelitian). Dengan usaha yang sudah diupayakan ini, bagaimana kita mempertahankan aktivitas tersebut supaya tetap berjalan secara optimal? Bagaimana cara kita untuk mengakui keberadaan musik tradisi sama seperti musik populer lainnya? Apa ada solusi konkrit supaya musik tradisi dapat sejajar posisinya dengan musik yang lain? Harapan kita mengenai kesetaraan musik tradisi memang mulia. Pada prakteknya terkadang harapan ini naik-turun seperti gelombang. Memang, saya pun mengakui bahwa mengabulkan angan-angan ini tidak mudah, butuh kerjasama dan konsistensi dalam mengaplikasikannya. Ini merupakan masalah bersama yang harus dikerjakan bersama pula.

Untuk memperingati hari musik nasional (9 Maret), Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat mengadakan pertemuan virtual dengan tajuk Diskusi Terpumpun Musik Tradisi Jawa Barat. Topik utama yang diketengahkan adalah perlindungan hukum kepemilikan musik tradisi. Penyaji awal dibawakan oleh Gilang Ramadhan dengan pembahasan inovasi dan isu penting yang harus dicarikan solusinya mengenai perlindungan dan penghargaan untuk musik tradisi Jawa Barat. Ada pun lima narasumber terkait yang memaparkan ide dan pengetahuan cemerlangnya untuk berdiskusi terkait perlindungan dan preservasi musik tradisi. Narasumber tersebut adalah Endo Suanda, Bucky Wibawa, Ismet Ruchimat, Laina Rafianti, dan Djaelani serta Marinta Sirait sebagai moderator. Acara ini diselenggarakan secara daring yang disiarkan di kanal Youtube Budaya Jawa Barat pada tanggal 13 Maret 2022 pukul 20.00 WIB.

Setiap narasumber memaparkan materi sesuai dengan fokus bidangnya. Etnomusikolog, Endo Suanda, mengartikulasikan perlindungan mengenai hak cipta dari sudut pandang penelitian. Sedangkan, Bucky Wibawa menyuguhkan data mengenai industri kreatif, khususnya di bidang komersialisasi musik. Ismet Ruchimat menelisik perkara perkembangan kreativitas di dalam sebuah kekaryaan musik. Lalu, narasumber perempuan satu-satunya, Laina Rafianti mengungkap kondisi hukum hak cipta musik tradisi di Jawa Barat. Sebagai pemungkas, Djaelani menjelaskan musik tradisi sebagai nilai tawar. Pada tulisan ini, saya tidak akan mengulas satu per satu materi dari setiap narasumber. Namun, saya akan petik beberapa pernyataan para narasumber sebagai data faktual yang akan dihubungkan dengan persoalan yang saya temukan di lapangan.

Baca Juga: Jurnal Bunyi (5): Atik Soepandi, Menuliskan Bunyi Sunda dalam Kata
Jurnal Bunyi (6): Menatap Tubuh Isola Menari
Jurnal Bunyi (7): Diajar Mamaos Cianjuran

Hak Cipta untuk Musik Tradisi

Salah satu produk budaya ini, memang sangat melekat dengan kehidupan kita. Pengakuan hak cipta merupakan hal penting sebagai upaya perlindungkan produk budaya secara hukum. Dengan hak cipta pula pencatatan mengenai musik tradisi dapat dilakukan. Minimal musik tradisi tersebut diakui keberadaannya dan ada pemiliknya. Usaha ini semata-mata bukan untuk keuntungan satu pihak, tetapi produk dari hasil daya kreativitas seseorang atau kelompok patut dihormati, dihargai, dan dilindungi.

Persoalan hak cipta kini butuh perhatian khusus. Kasus plagiatisme yang terjadi pada musik-musik populer menyoroti perhatian pemerintah untuk menuntaskan permasalahan kepemilikan (originalitas). Memang, bila melihat data yang disajikan oleh Bucky Wibawa mengenai pendapatan industri musik tahun 2017 naik 8 persen menjadi Rp 234,5 triliun. Melihat peningkatan tersebut, ekonomi kreatif mulai dilirik dan mulai diatur sistematika hukumnya. Untuk apa? Ihwal ini ditujukan untuk perlindungan karya cipta dan pencipta lagu (kreator) dari kasus peniruan yang sangat merugikan.

Bagaimana seorang pencipta atau administrator yang menuliskan hak cipta dapat meyakini, bahwa karya musik tersebut adalah karya yang pertama dan orisinal? Adakah yang dapat menjaminnya? Jika ‘ya’, upaya apa yang harus kita lakukan untuk membuktikannya. Dalam hal ini, Endo Suanda menawarkan proses kerja ilmiah dengan pendekatan keilmuannya. Ia juga mengetengahkan kasus lagu Es Lilin (Nyi Moersih) dengan Ys Kopi (Nyi Soehari). Berdasarkan data yang di sajikannya, lagu Ys Kopi lebih dahulu ada dibandingkan dengan Es Lilin. Melodi lagu Ys Kopi sama percis dengan lagu Es Lilin. Namun, hak cipta lagu Es Lilin sudah resmi ditujukan kepada Nyi Moersih. Jadi, berbagai kebutuhan atau perizinan yang berkaitan dengan lagu Es Lilin harus disertakan dari keturunannya Nyi Moersih.

Dari kasus tersebut, Pak Endo menekankan perlunya proses riset sebelum menentukan hak cipta. Memang akan kompleks, sulit, dan akan lama. Namun, cara berpikir dan memutuskan dengan data harus terus ditumbuhkan. Jangan hanya mengutamakan emosi dari setiap keputusan yang akan diambil. Proses hak cipta sendiri dahulu tidak ada. Baru muncul pada tahun 1982. Katanya, proses kreatif yang kita lakukan lebih antusias untuk berinovasi dengan sajian artistiknya, jarang dari kita fokus untuk meneliti. Pengelola arsip pun menjadi amat penting untuk telusuran ini. Memang, perhatin kita mengenai arsip masih kurang. Padahal, kehadiran arsip sangat penting di kala waktu butuh datang. Menurutnya, langkah pertama adalah menumbuhkan rasa konservasi. Ia mengungkapkan bahwa konservasi merupakan salah satu bagian dari kreativitas; kecerdasan yang harus ditumbuhkan.

Dahulu, hak cipta sendiri sudah terbentuk secara organis ketika seorang kreator (pencipta lagu) menciptakan satu buah karya musik. Masyarakat pun mengakuinya secara alamiah. Perkembangan teknologi informasi yang pesat saat ini membuat berbagai kemungkinan permasalahan ini muncul. Akses yang mudah, membuat para kreator baru mereproduksi karya lama tanpa izin ataupun mencantumkan sumber inspirasi dari karya yang telah dibuatnya.

Apakah hak cipta untuk musik tradisi penting? Pada akhirnya akan muncul pertanyaan tersebut. Penting atau tidaknya mungkin relatif. Di sini saya membagi musik tradisi menjadi dua, yakni musik tradisi komersial dan nonkomersial. Mengapa demikian? Nyatanya memang seperti itu. Selera tak bisa dihindarkan dari pendengarnya. Jika memilih jalur komersial, para kreator harus menyesuaikan dengan telinga pendengarnya; itu pertimbangan awal. Berbeda dengan musik tradisi yang memang tumbuh di masyarakat pendukungnya secara alamiah. Tak ada maksud untuk mengkonversi karya dengan materi lain. Tujuan diciptanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya; entah untuk upacara, ibadah, ataupun kebutuhan estetik.

Bagus, maksud pemerintah untuk membuatkan hukum yang pasti untuk keberadaan musik tradisi. Tetapi para perumus harus mengetahui konteks dari kedua jenis pemungsian musik tradisi tersebut. Apakah untuk komersial atau tidak. Jangan sampai, karena minimnya niat menelisik, semua jenis musik tradisi diperlakukan sama. Agaknya perlu diketahui bahwa musik tradisi nonkomersial biasanya miskin peminat (bukan pesimis). Misal, seni tembang Sunda cianjuran sudah jarang sekali kita temukan peminatnya; utamanya anak muda. Repertoar karyanya pun jarang kita dengar keberadaanya; hanya pada komunitas, perkumpulan, atau instansi seni budaya tertentu. Nah, salah satu kasus ini tampaknya harus mendapat perhatian lebih. Menyandingkan seni dan ekonomi memang penting; karena pelaku budaya ekspresif adalah manusia yang butuh sandang, pangan, dan papan. Namun, perlu upaya kolaborasi lain antar bidang dan elemen. Lebih elok jika musik tradisi ini dapat masuk ke dalam kurikulum sekolah dan dikenalkan (lebih dekat) oleh anak-anak. Di samping mendapat pengakuan secara langsung, identitas musik tradisi pun dapat dikenal. Minimal, anak-anak berkata: oh, ternyata kita punya kesenian seperti ini. Percobaan ini pasti akan banyak kendala. Dan di negara maju seperti Jepang, hal ini sudah dilakukan sejak dahulu.

Sebagai pemungkas, apa pun yang diniatkan dan diupayakan untuk musik tardisi, semoga membuat kondisinya menjadi lebih baik. Dengan adanya ikhtiar mengatur dan merumuskan aturan hukum hak cipta, semoga berpihak baik dan menguntungkan para seniman tradisi. Para seniman pun dapat lebih semangat untuk berkreativitas yang didasarkan oleh keteraturan etika yang baik dan sportif. Dan rasa bangga pun dapat muncul pada masyarakat pendukungnya. Semoga.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//