• Narasi
  • Jurnal Bunyi #11: Dialog Bunyi Improvisasi

Jurnal Bunyi #11: Dialog Bunyi Improvisasi

Mas Aldo meramu kelompok alat musiknya; yang saya ingat, ia menggunakan pengaduk krim untuk digesek menggunakan bow. Musik yang dihasilkan sungguh menyayat hati.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Visualisasi pertunjukan improvisasi bebas di Kota Surakarta, 4 Oktober 2019. Pertunjukan musik dilakukan para pemusik dari beragam latar belakang. (Ilustrasi oleh Abizar Algifari Saiful)

13 Juli 2022


BandungBergerak.idPandangan dan pemahaman mengenai improvisasi terus berkembang. Yang dikira sampai situ, ternyata belum selesai juga perjalanannya. Bebas yang menjadi pengertian liarnya terus mencari kedamaian dan batasnya. Upaya untuk mencari kebebasan hampir terus dilakukan. Sampai mana sih batas bebas dalam improvisasi, khususnya dalam musik? Apakah improvisasi adalah suatu kebebasan? Atau jangan-jangan improvisasi adalah keterbatasan tubuh dalam mengolah bebunyian? Apa yang sebenarnya puncak dari improvisasi? Sampai mana improvisasi mencari jati dirinya? Renungan tersebut selalu menghantui pikiran saya. Ada anggapan pula, apakah improvisasi sebenarnya tersusun sistematik sesuai kehendak tubuh individunya?

Pada satu ruangan yang tak cukup luas, saya diikutsertakan dalam kegiatan improvisasi bebas. Apa saja yang harus dilakukan pada saat itu? Tentu saja membunyikan dan menyusun bebunyian tanpa perencanaan dan janjian terlebih dahulu. Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa apa yang didengar dan dilihat adalah sajian musik yang ngasal. Tidak salah juga beranggapan seperti itu. Tapi, pada saat itu saya merasakan hal yang berbeda. Ini merupakan kali pertama saya ikut dalam pertunjukan improvisasi bebas. Namun, saat itu saya sudah terlebih dahulu mengetahui apa itu pertunjukan improvisasi bebas dan bagaimana wujud sajian musiknya.

Udara Kota Surakarta malam itu sejuk, tidak hujan, namun cukup gerah. Lampu ruangan mulai dimatikan, bergantian dengan dua sorot lampu berwarna merah, biru, dan hijau. Ditambah satu buah proyektor yang siap menyuguhkan sajian visual bergerak dari satu komposer rupa. Penonton terlihat padat. Dengan ruangan yang awalnya diperuntukkan untuk ruang tamu, sekitar 25 penonton dapat masuk dan duduk bersila. Improvisasi bebas ini berjudul Intuisi. Pertunjukan improvisasi bebas ini digelar pada tanggal 4 Oktober 2019. Dari judul tersebut muncul pertanyaan: apakah improvisasi itu berasal dari ruang intuisi dari masing-masing individu? Apakah berimprovisasi terjalin berkelindan dengan intuisi? Apakah ada hal lain yang mempengaruhi di luar itu?

Pertunjukan improvisasi bebas ini dibagi menjadi dua kelompok. Setiap penampilan terdiri dari tiga orang. Mulai dan akhirnya suatu pertunjukan tidak dapat diprediksi. Namun, seluruh komunikasi yang terjalin, khususnya untuk memulai dan mengakhiri ada pada para penampil saat itu. Tidak jelas dong? Sudah tentu. Namun, alangkah lebih eloknya, ketika menyaksikan pertunjukan apa pun, singkirkan dulu apa yang kita anggap enak atau tidak, bagus atau jelek, selaras atau tidak; itu semua akan menghambat proses apresiasi. Bisa jadi, ketika muncul anggapan individualis tersebut, indra kita jadi enggan menerima informasi simbol selanjutnya. Malah yang ada ketidakbetahan dan akhirnya pulang dengan perdebatan selera di dalam diri.

Baca Juga: JURNAL BUNYI #8: Musik Tradisi, Siapa yang Punya?
JURNAL BUNYI #9: Racun Telinga Ini dari Mana?
Jurnal Bunyi #10: Pesona Kendang dalam Pertunjukan Tepak Ngawandaan Réngkak

Pengaduk Krim

Saya dikelompokkan dengan tiga orang yang memiliki latar musikal dan rupa yang berbeda. Satu orang berasal dari Sumatera Barat yang juga teman satu kelas saya di ISI Surakarta. Saya sering memanggilnya Mas Aldo. Walaupun ia bukan asli Jawa, tetapi saya menyamaratakan istilah panggilan Mas dengan teman-teman lain. Mas Aldo membawa beberapa instrumen perkusifnya. Yang menarik adalah ia memainkan instrumen musik buatannya sendiri. Bentukan awalnya berupa alat musik tasa, namun dimodifikasi sekian rupa sehingga menjadi instrumen musik yang ia inginkan. Selain alat musik buatannya, Mas Aldo meramu kelompok alat musiknya dengan beberapa alat tambahan; yang saya ingat, ia menggunakan pengaduk krim untuk digesek menggunakan bow. Jangan dikira, bunyi yang dihasilkan sungguh dapat menyayat hati.

Orang kedua berasal dari negara berdirinya bangunan agung Taj Mahal, yaitu Vishesh Kalimero. Kebetulan pada saat itu ia bersama satu temannya sedang melakukan residensi di tiga kota, yakni Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung. Vishesh memainkan salah satu alat musik chordophone khas India. Bunyi yang dihasikan mirip suara rebab, namun ada perbedaan pada warna bunyi yang dihasilkan. Satu lagi merupakan seniman visual Clarentino Triadi. Simbol visual yang diolahnya menambah keindahan dan kepuasan asupan mata. Suguhan visualnya dibuat dari aktivitas pengkodean secara langsung. Ia pun ikut berimprovisasi dan berkomunikasi dengan simbol bunyi yang berkeliaran di sana.

Pada saat gilirannya tiba, saya bersama tiga orang teman lain mempersiapkan setiap instrumen yang akan dibunyikan. Kala itu, saya membawa satu buah kecapi Sunda berdawai 20. Kecapi jenis ini biasa digunakan pada sajian kesenian kawih wanda anyar. Memang, memainkan kecapi dengan proses improvisasi baru saya akan alami pada saat itu. Sebelumnya, kecapi kawih saya sajikan sebagaimana layaknya instrumen dibawakan pada jenis kesenian tertentu. Sukar memang menyimpan sesaat konsep dan imajinasi bunyi yang telah melekat pada instrumen musik tersebut. Apalagi kulturnya sendiri yang melahirkannya. Umumnya teknik membunyikan kecapi adalah dipetik. Saat itu, saya coba untuk memukul, menarik, dan mencakar beberapa dawai. Bunyi yang dihasilkan pun amat bervariasi. Terkadang, secara tidak sengaja, beberapa bunyi yang unik muncul dari eksplorasi yang saya lakukan.

Ada beberapa hal yang saya temukan dalam pertunjukan improvisasi bebas ini. Pada paragraf ini saya memposisikan sebagai pemain yang menyajikan pertunjukan. Ketika improvisasi dimulai, tubuh saya dipasang untuk lebih sensitif mendengarkan dan merespons setiap simbol budaya yang berlarian. Bunyi pertama memang membuka tabir pikiran untuk meresponsnya. Pertanyaan yang muncul selama pertunjukan berlangsung adalah: bunyi atau aksi apalagi yang harus saya disampaikan? Kami tidak merencanakan atau mengetahui harus membunyikan apa untuk menyuguhkan sajian musik ini.

Bermodalkan tangkapan indra, kami (pemusik) menyusun simbol dan bebunyian tersebut. Apakah kegiatan tersebut dapat diistilahkan dengan ‘ngasal’? Tanggapan ini kerap saya dapatkan dari penonton. Untuk menanggapinya, kembali lagi pada proses berpikir. Saya tidak dapat menyalahkan apa yang diasumsikan oleh para apresiator. Namun, bila menilik landasan dasar pertunjukan improvisasi bebas ini, sebenarnya para pemain mengonsep segala simbol bunyi dan visual secara spontan. Tentunya dipandu oleh selera, pengetahuan, dan logika masing-masing individu. Itu dapat diartikan bahwa seluruh respons estetik yang terjadi tidak serta merta ngasal terjadi. Terbukti dengan ada sebuah pertimbangan estetik yang dilakukan oleh para pemain di atas pentas. Pertanyaan lebih jauh: apakah segala yang dianggap ‘ngasal’ memang benar-benar ‘ngasal’?

Pertunjukan improvisasi bebas seperti ini memang tidak terlalu populer dan bahkan jarang sekali digelar. Mungkin orang yang dapat menikmati suguhan ini amat jarang. Tapi, memang betul, bila tidak ada referensi pengetahuan dan karya yang ideal, dapat dipastikan akan merasa asing dengan pertunjukan ini. Tapi, apakah pertunjukan ini dapat diterima oleh khalayak layaknya musik populer? Jauh dari diterima atau tidaknya, hemat saya, pertunjukan ini perlu diperkenalkan dan dirasakan oleh banyak orang. Untuk apa? Sudah jelas, untuk memperkaya kamus bunyi para apresiator.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//