• Narasi
  • Jurnal Bunyi #12: Mungkinkah Musik Kontemporer (Abad ke-20) Masuk Sekolah?

Jurnal Bunyi #12: Mungkinkah Musik Kontemporer (Abad ke-20) Masuk Sekolah?

Pelajaran musik bukan untuk mencetak murid jadi musikus. Negara maju seperti Jerman yakin musik mampu menstimulasi otak lebih segar dan aktif untuk berpikir.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Situasi pengajaran musik kontemporer di sekolah. Musik kontemporer masuk ke dalam kurikulum di Indonesia. (Foto: Abizar Algifari S/Penulis)

20 Juli 2022


BandungBergerak.id - Ini musik apa pak? Kok gini bunyinya? Apa ini video deep web yang bocor? Itulah respons murid sekolah menengah atas ketika disuguhkan karya musik komposer asal Polandia, Krzysztof Penderecki berjudul Threnody to The Victims of Hiroshima (1961). Melihat respons wajah para siswa kala itu begitu unik. Ada yang mengerenyitkan kening, ada yang menutup sebelah telinganya, ada yang kebingungan, dan ada pula yang tertawa meringis.

Menarik dan penuh tantangan ketika harus memperkenalkan musik kontemporer (baru) kepada remaja kelas 12. Setelah mendengarkan sepotong komposisi musik ini, saya membuka tanya jawab dan diskusi kecil. Selain mengungkapkan kesan afektif setiap siswa, digelar diskusi yang mengarah pada satu pertanyaan, yaitu: apa sih isu yang diangkat pada karya tersebut? Apa sebenarnya yang ingin dilukiskan oleh si komposer? Sedikit demi sedikit informasi penting mengenai karya saya sampaikan.

Lalu, apakah penting materi musik kontemporer ini disampaikan di sekolah? Bila melihat kurikulum yang disusun pemerintah sih materi ini tertulis jelas. Namun, apa esensi yang ingin disampaikan kepada anak didik dengan musik kontemporer ini? Guru musik di sekolah pun memiliki tafsir yang berbeda terkait genre musik ini. Luasnya cakupan materi musik kontemporer terkadang membuat guru menjadi bingung harus memulai dari mana. Dilihat dari produk musik lokal, musik kontemporer memiliki posisi yang gamang. Bisa dianggap ada atau tidak ada, bahkan ada yang sampai membenci musik jenis ini. Alasannya? Berbagai macam alasan. Tapi, saya simpulkan salah satu alasannya, yakni ketidaksesuaian selera dengan karya musiknya.

Bila ditilik dari bahasanya, kontemporer berarti masa kini. Saya asumsikan, musik jenis ini memang hadir di waktu yang sedang berlangsung. Jika pengertian sempitnya seperti itu, apakah musik yang saat itu disebut musik kontemporer, saat ini masih dapat disebut juga dengan musik kontemporer? Maka dari itu, di awal saya menyebut istilah musik kontemporer dengan musik abad 20. Hemat saya, ciri yang kuat dari musik jenis ini adalah gagasan pemikiran musikal yang sudah diformulasikan dengan keindahan lain. Imajinasi komposer dituangkan dalam media musik. Kadang, media yang digunakan pun tak dapat ditebak. Pernyataan saya satu ini bukan mutlak pengertian yang sah. Saya menyadari musik yang akan terus berubah akan merubah pula paradigma kita tentang musik.

Percobaan menyuguhkan karya musik kontemporer pada siswa di atas, bertujuan menstimulus siswa terhadap karya musik yang belum mereka dengarkan selama ini. Risikonya sudah tentu, peserta didik akan banyak yang kebingungan dengan karya tersebut. Apa itu tujuannya? Tentu bukan. Kehadiran musik kontemporer di muka bumi ini pasti memiliki manfaatnya. Materi terkait unsur-unsur musik seperti halnya warna bunyi, itu dapat disampaikan melalui musik kontemporer. Contohnya pada karya Penderecki tersebut, bunyi alat musik string (dawai) yang disusun tak seperti biasanya. Ada beberapa teknik baru yang digunakan seperti sul ponti dan sul tasto. Kedua teknik ini dapat dibedakan dari warna bunyi yang dihasilkan. Kompleksitas yang dimiliki musik kontemporer dapat disederhanakan untuk disampaikan esensi kecilnya kepada peserta didik. Kenapa harus menggunakan musik kontemporer, toh musik populer juga bisa? Pasti akan muncul pertanyaan seperti ini.

Di samping menjadi salah satu cara menyampaikan materi unsur dasar musik, musik kontemporer disuguhkan utamanya untuk diperkenalkan kepada peserta didik. Tak kenal maka tak sayang. Ada betulnya juga peribahasa ini. Apa kita tidak mendahulukan musik-musik tradisi kita? Untuk kali ini, saya tidak akan menjawab terlebih dahulu pertanyaan ini. Saya menyesuaikan dengan kurikulum yang diberikan oleh pemerintah. Untuk jenjang SMA kelas 12, materi musik yang disampaikan, yakni musik kontemporer. Pemaparan terkait pembelajaran musik tradisi (lokal) di sekolah akan disampaikan pada tulisan selanjutnya. Musik kontemporer dikenalkan untuk menstimulus pemikiran siswa terhadap apa arti sebuah keindahan. Tak hanya itu, pola pikir musik kontemporer yang selalu mencari dan visioner menarik untuk didekatkan kepada peserta didik. Tidak harus suka atau dapat menikmati, minimal mereka kenal, tahu, dan sudah mengalami.

Alasan selanjutnya, yaitu musik kontemporer memiliki wahana kreativitas yang tak terbatas. Kebebasan ekspresi yang dapat dituangkan tidak memiliki pakem atau aturan yang baku. Ihwal tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan kreativitas peserta didik dalam menyusun komposisi musik; walaupun masih dalam tahap dasar. Dengan memberikan kebebasan berkreativitas, para siswa tidak ragu atau takut untuk melangkah dan memulai menyusun musik versinya. Kesampingkan dahulu kata salah, tidak sesuai, tidak enak, ataupun tidak bagus. Dengan begitu niscaya peserta didik dapat membentangkan sayap untuk terbang menjelajahi sampai dengan pikiran terkecilnya. Namun, tetap guru diharapkan terlibat sebagai marka jalan. Memberikan arah tanpa mengikatnya harus pergi ke mana.

Baca Juga: JURNAL BUNYI #9: Racun Telinga Ini dari Mana?
Jurnal Bunyi #10: Pesona Kendang dalam Pertunjukan Tepak Ngawandaan Réngkak
Jurnal Bunyi #11: Dialog Bunyi Improvisasi

Visi Musik di Luar Negeri

Pada aplikasinya di dalam kelas sudah dipastikan akan ada kendala dan perasaan menolak atau tidak sesuai. Kesan afektif seperti ini biarkan saja terjadi. Jadikan hal ini sebagai salam kenal mereka terhadap musik kontemporer. Baru kenal memang terasa canggung; lama-lama pasti akrab. Percobaan ini bukan hal yang mustahil untuk diterpkan. Apalagi negara maju seperti Jerman, yang selalu berpikir masa depan, menerapkan dan menjaga ekosistem pembelajaran musik ini di segala lapisan. Mulai dari praktisi (seniman), guru, murid, kebijakan sekolah, dan pemerintah. Tidak lupa bantuan dana pun tak tanggung-tanggung untuk dikucurkan. Apa sih yang mereka akan cari atau dapatkan dari pembelajaran musik ini? Dengan pendekatan musik kontemporer lagi. Wah, kalau kita membayangkan mungkin akan rumit. Pada praktiknya mungkin nanti akan terbiasa.

Saya teringat pernyataan Slamet Abdul Sjukur, katanya: pembelajaran musik, di Hungaria dan Jerman bukan bukan mencetak peserta didik untuk menjadi musisi atau komposer. Namun, di sana musik dijadikan stimulus media untuk mencapai seluruh kecerdasan yang ada. Entah kembali lagi ke arah seni ataupun ilmu eksakta. Mereka yakin dengan musik mampu menstimulasi otak lebih segar dan aktif untuk berpikir. Dengan fakta tersebut, apa kita masih tak percaya terhadap gagasan visioner negara maju tersebut?

Kata kontemporer dalam musik abad 20, secara teks, mungkin masih dianggap tidak jelas dan sulit untuk dimengerti; jangan-jangan dihindari. Mungkin saya berandai terlalu jauh terkait implementasi musik kontemporer dalam dunia sekolah. Terlepas dari permasalah dan keistimewaan musik tradisi yang tak tergantikan, perkembangan proses berpikir pun harus terus dijelajahi dan dicoba. Bukan lebih baik atau buruknya suatu genre musik, namun agaknya musik kontemporer dapat dicoba didekatkan ke samping peserta didik untuk lebih memperluas lahan berpikir kreatifnya. Dengan tercantumnya musik kontemporer pada salah satu kompetensi dasar yang harus dipenuhi siswa kelas 12, apakah musik kontemporer sudah dapat dikatakan layak masuk sekolah?

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//