• Narasi
  • JURNAL BUNYI #18: Pakalangan Kaul (Lawas yang Dirindukan)

JURNAL BUNYI #18: Pakalangan Kaul (Lawas yang Dirindukan)

Sepuluh orang paruh baya memainkan kecapi secara bersamaan pada acara Lustrum Unpad. Sampai kapan kesenian tradisi kita dikonotasikan dengan kata kolot?

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Rampak sekar yang diiringi oleh rampak kecapi pada acara bertema Pakalangan Kaul, Lustrum Unpad ka-XIII, di Aula Unpad, Sanusi Hardjadinata, Jalan Dipati Ukur, Bandung, 30 Agustus 2022. (Foto: Abizar Algifari/penulis)

30 September 2022


BandungBergerak.idSuguhan kesenian tradisi (karawitan Sunda) memang enggan lepas dari ikatan ungkapan masa lalu. Sepintas penyajiannya memang tidak banyak diutak-atik. Justru kekuatan sebenarnya terletak di situ. Mempertahankan bentuk sajian, melempar tubuh ini hinggap pada kubus masa lalu yang autentik. Perasaan nostalgia memang tak dapat dibendung lagi. Bagi segenap orang, sajian tradisional menyuguhkan rasa khas yang sesekali rindu untuk dijenguk. Tawarannya menghipnotis raga untuk sulit hengkang dari tempat duduk.

Pukul 2 siang, 30 Agustus 2022, langit Kota Bandung terik menyengat. Berbekal informasi dadakan, saya sampai juga di Aula Unpad, Sanusi Hardjadinata, Jalan Dipati Ukur. Bergegas saya masuk dan mencari tempat duduk. Ternyata acara sudah dimulai.

Beruntungnya saya mendapat tempat duduk di barisan ketiga dengan posisi tepat menghadap tengah panggung. Lampu dengan cahaya terang benderang dari ketiga sudut mengaburkan pandangan saya; melihat wajah penonton pun samar adanya. Mata perlu disipitkan sesaat untuk beradaptasi dengan cahaya lampu tersebut.

Lagu jenis Karatagan berkumandang menyapa penonton di bagian awal pertunjukan. Sepuluh orang paruh baya duduk di depan sambil memainkan kecapi secara bersamaan. Baru kali ini saya menyaksikan pemandangan tersebut. Di tengah anak muda yang merasa bosan dengan kesenian tradisinya, dengan umur yang tak muda lagi mereka semangat memetik kacapi siter (20 senar) dengan perasaan bangga. Optimis campur pesimis perasaan saya kala itu. Sampai kapan kesenian tradisi kita akan tetap dikonotasikan dengan kata kolot? Apa dengan munculnya kata "tradisi" membikin orang enggan menyentuhnya; karena tidak sesuai zaman? Tidak salah mempunyai konsepsi seperti itu. "Setiap orang kan punya seleranya masing-masing" ujar suara hati. Iya, betul. Namun, lebih bijak jika pandangan kita sedikit dirubah. Aneh melihat para orang bule yang dapat begitu terperangah menyaksikan kesenian tradisi kita. Mereka pun amat takjub dengan keragaman budaya yang kita miliki. Tapi entah mengapa, perlakuan kita terhadap kesenian milik kita sendiri bertolak belakang. Pernyataan saya ini disarikan dari beberapa diskusi bersama para seniman yang memang curhat mengenai kondisi tersebut.

"Melihat antusiasme penonton sebanyak ini, saya yakin kesenian tradisi kita akan tetap ada dan terus mengalami regenerasi," tutur Prof. Ganjar Kurnia selaku inisiator sekaligus pembawa acara.

Optimisme tersebut terpacak pula dalam benak saya. Saya kaget dengan banyaknya penonton menyaksikan acara yang bertajuk Pakalangan Kaul: Lustrum Unpad ka XIII; terlepas siapa dan dari mana penonton tersebut berasal. Yang pasti pergelaran ini menyatukan silaturahim antara seniman, akademikus, dan masyarakat. Terlepas dari kegiatan dalam tembok kampus seni, di Bandung acara seperti ini sungguh langka. Saya bersyukur masih ada yang peduli dan simpati pada kesenian tradisi. Tak mudah menyelenggarakan acara seperti ini. Sudah tentu, dengan target penonton yang sedikit dan spesifik serta kurangnya pendanaan dan fasilitas. Masalah seperti ini memang sudah tak asing lagi dialami. Penggeraknya, sudah tentu komunitas nirlaba yang ikhlas dan rido mencurahkan materi serta tenaga.

Pergelaran ini menggunakan konsep kaul, yang dalam bahasa Indonesia berarti tampilan yang disuguhkan cuma-cuma, tanpa ada aturan yang baku, dan siapa pun dapat maju serta mempertunjukkan kebolehan berkeseniannya. Acaranya lentur, mengalir, tentunya tetap dengan persiapan. Para penyaji menyuguhkan karya lagu yang berbasis karawitan Sunda, seperti kawih wanda anyar (Mang Koko-an), tembang Sunda Cianjuran, dan sedikit potongan kakawen yang dibawakan oleh salah satu mahasiswa Unpad. Bentuk sajiannya bisa berupa anggana sekar, duet, ataupun layeutan swara.

Juru sekar yang terlibat dalam acara ini cukup banyak. Kebanyakan merupakan seniman terlatih dalam bidang vokal dan waditra Sunda. Berikut merupakan daftar juru sekar (penyanyi) dan instrumentalis yang menyumbangkan kepiawaiannya dalam berkesenian: Atang Warsita, Ani Sukmawati, Caca Sopandi, Deden Guntari, Dheniarsyah, Diza Dzikriawan, Eka Gandara, Elis Rosliani, GJ Setra, Ida Rosida, Kanha Shandhika, Masyuning, Mamah Dasimah, Muhammad Ramadan Septiansyah, Neneng Dinar, Rita Tila, Rosyanti, Rika Rafika, Sony Riza Windyagiri, Siswa SMKN 10 Bandung, dan Ujang bejo. Para penyaji menyuguhkan satu buah lagu yang dipilihnya.

Sepanjang pergelaran, hati saya sungguh bahagia. Lama vakum tidak menyaksikan pergelaran kesenian tradisi secara langsung, menciptakan rasa rindu tersendiri. Masa pagebluk bisa dibaca sebagai tamparan sekaligus melatih daya tahan adaptasi terhadap kondisi tak terduga. Hikmahnya, setiap pergelaran, seperti yang dilakukan pada acara ini pun, dapat disaksikan secara tidak langsung melalui streaming via Youtube.

Baca Juga: JURNAL BUNYI #15: Catatan Sontak 3 Hari Ke-3
JURNAL BUNYI #16: Warna-Warni Pertunjukan Wayang Golek
JURNAL BUNYI #17: Apa Pentingnya Mengenal Alat Musik Tradisi Sunda (Daerah)?

Musik Sunda dan Sastra

Dalam konteks karawitan Sunda, kiranya sastra sukar lepas dari kehadiran musiknya. Menukil pernyataan Ayat Rohaedi dalam bukunya “65=67: Catatan Acak-Acakan dan Catatan Apa Adanya”, bahwa kesenian (musik) tradisi Sunda tidak dapat lepas dari peranan sastranya. Faktanya pun memang begitu. Sukahardjana, seorang musikolog, memperkuat itu dengan pernyataan bahwa salah satu ciri musik timur (Indonesia) adalah memposisikan syair (lirik) sebagai jiwa dalam karya musik tersebut. Namun, terbersit dalam benak pertanyaan: seberapa dalam hubungan syair dengan musik, sampai-sampai istilah jiwa dimandatkan kepada syair di dalam sebuah karya musik? Jika syair menjadi jiwanya, apakah posisi syair lebih penting ketimbang musik (bunyi)? Lalu, jika musiknya dihilangkan, apakah syair tersebut dapat dibaca tanpa ada bayang-bayang melodi yang dilekatkan padanya?

Yang melakukan kaul lebih dominan menyuguhkan karya karawitan Mang Koko-an; walaupun ada karya seniman lainnya. Berkat kemutakhirannya, hingga kini karya Mang Koko tetap dapat diterima dan dinikmati oleh banyak orang. Syairnya sulit dilupakan. Sememangnya, Mang Koko bergaul dengan seniman maupun sastrawan Sunda. Karena ihwal tersebut, dalam proses garap kara kawih, ia amat mementingkan kedua aspek tersebut (musik dan sastra). Penyusunan syair yang dibungkus oleh tema yang menarik, ditambah garap gending yang apik membuat lagu Mang Koko menempel kuat dalam memori.

Puncak ketenaran Mang Koko sudah terlewati. Namun, karya-karyanya kekal abadi menemani zaman yang terus berjalan. Jarang-jarang seorang seniman dapat menyusun karya seni yang langgeng; nama dan karyanya selalu disebut. Karya-karya Mang Koko akan selalu menjadi sejarah perjalanan perkembangan musik (karawitan) Sunda. Yang selalu dilewati dan dibahas ketika hendak membahas mengenai perjalanan musik Sunda dari masa ke masa.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//