Jurnal Bunyi #15: Catatan Sontak 3 Hari Ke-3
Yang saya yakini, improvisasi bebas dalam Sontak 3 merupakan ekspresi yang murni, jujur, tulus, ikhlas, tanpa pamrih dari para penyajinya.
Abizar Algifari Saiful
Pendidik musik, komposer, dan peneliti
14 Agustus 2022
BandungBergerak.id - Semakin hari, bunyi semakin dekat, juga menjauh. Teman tidur yang indah.
Warnanya semakin nyata samarnya. Tubuhnya semakin tegap. Barangkali, hanya telingaku yang salah. Berubah ke sana ke mari sesuka hati.
Pencarian kemungkinan bunyi dilanjut kembali. Barangkali, hari ini merupakan pemungkas dua hari sebelumnya. Bukan menjadi akhir, tapi ini menjadi awal yang baru dan akan terus mulai dari awal. Mengapa demikian? Sudah tentu, supaya pencarian bebunyian terus dilakukan; tidak menemukan puncak dari segala puncak. Khawatir, kepuasan menguasai dan tidak mau mencari lagi. Seperti yang diartikulasikan pada tulisan sebelumnya, improvisasi bebas jangan menjadi jalan terakhir, apalagi jalan buntu. Kondisi tak nyaman harus tetap ditumbuhkan dalam diri.
Seperti biasa, setiap harinya pertunjukan Sontak 3 terdiri dari tiga sesi. Untuk Sontak hari terakhir ini, pada sesi 1 akan menampilkan lima orang penyaji, yaitu Don Hueleflores (Mexico), Mosle7 (Mesir), Tandani Mutaqim, Agung Suryana, dan Booboo Sianturi.
Sedangkan di sesi 2 ditampilkan lima penyaji pula, yakni Iwan Gunawan, Jigyasu Rahul (India), Wanggi Hoed, Robi Rusdiana, dan Ramaputratantra. Ada suguhan yang berbeda pada sesi 3. Di hari terakhir pertunjukan improvisasi bebas Sontak 3, akan ditampilkan karya hasil tiga hari workshop bersama para pembicara. Peserta workshop terdiri dari mahasiswa jurusan pendidikan musik dan musik.
Ruang orkes mulai redup cahayanya, bersisa bayangan merah dari salah satu penyaji yang terproyeksikan ke dinding. Sesi 1 menawarkan ragam warna bunyi yang lain. Melihat latar asal para penyaji, pada sesi ini ada dua orang yang berasal dari Mesir dan Mexico. Luth dibunyikan Mosle. Kesan Timur Tengah terasa, menciptakan imajinasi berpindah tempat. Seharusnya tempat yang dibayangkan adalah gurun pasir; tapi bukan itu. Bayangan tersebut ditumpas oleh vokal Daniel yang menyuguhkan Burito (makanan khas mexico); menarik tubuh untuk menuju Amerika Latin. Sayangnya tidak sampai.
Di tengah mereka, penyaji vokal metal dan alat perkusi menyelinap; melilit bunyi dua kultur tersebut dengan geraman yang berat dan gelap. Adanya properti pertunjukan, seperti tengkorak manusia, lilin, dan beberapa barang antik lainnya, menambah kegelapan merangkul seluruh bebunyian yang berlarian di semua penjuru ruang. Lukisan sebuah tempat yang mulai dibangun, runtuh sudah. Bersisa puing-puing kegamangan; yang menarik para apresiator ke sana dan ke mari. Walau dari Mexico, Daniel menjajal untuk mengeksplorasi alat musik Sunda, yaitu suling. Hasil eksplorasi bunyinya pun terdengar seperti rasa burito dicampur pencok leunca. Khidmatnya bunyi singing bowl, mengakhiri sesi 1 ini. Kami pun rehat sepuluh menit untuk menetralisir telinga.
“Heeeew… bsbeuykpjsjubdjjueu (kata tak jelas terdengar)”, bunyi eksplorasi vokal Kang Robi mengawali sesi 2 ini. Kali ini, arti dan maknanya tak penting untuk diperhatikan. Bunyi katanya eksotis, seperti mengajak bicara, menggoda, dan marah-marah. Guru saya, Pak Iwan Gunawan, menjajal imajinasi bunyinya dengan media kendang Sunda yang terdiri dari satu kendang indung dan 5 kulanter (kendang kecil). Bunyi telapak tangan yang disapukan berulang kali ke selaput kulanter menghasilkan bunyi bisikan yang senyap dan intim. Latar bunyi ruang digawangi oleh pemain musik elektronik, Ramaputratantra. Tak jarang pancingan bunyi elektronisnya disambut oleh seluruh penyaji.
Jauh-jauh dari India, Rahul menyuguhkan keeksotisan bunyi alat musik pakawaj. Pakawaj merupakan alat musik perkusif khaa India. Bentuknya seperti kendang Bali, namun warna bunyinya begitu berbeda. Uniknya, untuk memgatur kualitas bunyi pakawaj, Rahul membawa semangkuk air dan tepung. Dicampurkan tepung dan air, lalu ditempelkan pada salah satu bagian dari membran alat musik pakawaj. Saya lihat Rahul mengurangi dan menambahkan adonan tepung tersebut supaya bunyi pakawaj sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Masih teringat buah alpukat yang dibawa oleh Wanggi Hoed. Gerak dan mimiknya menambah rasa pada alpukatnya. Dibelah alpukat tersebut menjadi dua bagian. Sendok diambil, lalu mulai dikeruk alpukat tersebut. Dengan mulut terbuka lebar, ia melahap alpukat tersebut dengan ekspresif. Satu suap, dua suap, ia makan dengan lahap; habislah setengah alpukatnya. Setengah bagian lagi diberikan kepada penonton untuk dimakan bersama-sama.
Tanpa kata, Wanggi Hoed memberikan alpukat dan sendok kepada penonton yang ada di depan. Komunikasi lain yang dilakukan Wanggi Hoed adalah dengan mengajak para penonton untuk menari bersama. Bagi saya itu merupakan momen hangat di hari terakhir Sontak 3. Dengan musik yang dihasilkan oleh improvisasi bebas, kami dapat menari dengan asyik dan tanpa beban. Selain menari, kami pun diajak tidur bersama, membentuk lingkaran; tidur dipundak teman sebelah.
Biasanya, pada sesi 3 diadakan sesi bebas, hari ini tidak. Mahasiswa yang mengikuti workshop di hari kemarin akan menyuguhkan hasil pencarian gagasan musikal mereka. Tata cahaya yang biasa diposisikan dan difokuskan pada area penyaji saja, kali ini disorot secara radial; mengarah langsung pada penonton. Mahasiswa penyaji berada di sekeliling penonton. Ada yang duduk di kursi, duduk lesehan, ada yang sambil berjalan, ada pula yang memposisikan diri di sayap kiri penonton untuk mengeksplorasi papan tulis. Sebelum dimulai, Kang Robi membuka sesi 3 ini dengan beberapa kata. Sesi ini merupakan sesi terakhir sekaligus penutup rangkaian kegiatan improvisasi bebas Sontak 3.
Baca Juga: Jurnal Bunyi #12: Mungkinkah Musik Kontemporer (Abad ke-20) Masuk Sekolah?
JURNAL BUNYI #13: Catatan Sontak 3 Hari Ke-1
Jurnal Bunyi #14: Catatan Sontak Hari Ke-2
Apa Kelanjutan Improvisasi Bebas?
Pertunjukan hasil workshop tersebut, menurut saya, amat memuaskan. Mahasiswa musik sudah memiliki keberanian untuk memulai, merespons, dan mengakhiri. Bunyi yang dihasilkan pun yakin diutarakan. Denyit papan tulis, liuk gesekan violin, bulatnya suara saksofon, rintihan suara perempuan, dimanifestasikan menjadi bunyi liar yang bebas ditafsir. Tanpa beban, mereka dengan asyiknya meramu bebunyian tersebut.
Improvisasi bebas menawarkan cara garap yang klenik. Dianggap aneh oleh sebagian orang, namun ampuh mendobrak pintu-pintu kreativitas. Bunyi yang diperdengarkan pun sifatnya kontemplatif. Bukan sekadar musik hiburan yang memuaskan berahi sesaat. Hemat saya, kegiatan Sontak 3 berhasil untuk mendobrak dan masuk pada wilayah kampus. Mendapat dukungan yang positif dari pihak kampus merupakan suatu anugerah. Pasalnya, jarang sekali acara seperti ini, dengan genre musik yang unik, dapat diundang ke dalam wilayah kampus. Selama studi di Solo pun, saya lebih banyak dapat berapresiasi jenis musik seperti ini di luar kampus; di art space, di komunitas musik tersebut, dan di ruang publik lainnya. Sebelumnya, Sontak 1 dan 2 pun diadakan di beberapa titik tempat yang berbeda. Nikmat ini patut disyukuri.
Apa kelanjutan dari improvisasi bebas? Pasti pertanyaan itu yang muncul dibenak para apresiator. Apakah sudah sampai di sini? Ataukah ini hanya kegiatan pancing dan respons bunyi? Lebih parahnya lagi, apakah ini adalah kegiatan nirfaedah? Berbagai konsepsi pasti muncul dari setiap individunya.
Semua dapat memilih. Semua dapat berpandangan. Yang saya yakini, improvisasi bebas merupakan ekspresi yang murni, jujur, tulus, ikhlas, tanpa pamrih dari para penyajinya. Permasalahan entitas yang absur, mungkin hanya pemikiran sesaat, yang akan menghilang sejalannya dengan pembiasaan. Seperti halnya makan sambal pertama kali, akan terasa pedas sekali. Setelah biasa dengan tingkat kepedasan tersebut, tubuh akan menagih tingkat kepedasan yang lebih tinggi, dan begitu seterusnya. Akankah yang kita anggap absurd saat ini menjadi biasa (normal) pada suatu saat? Sampai jumpa di Sontak selanjutnya.