• Narasi
  • Jurnal Bunyi #14: Catatan Sontak Hari Ke-2

Jurnal Bunyi #14: Catatan Sontak Hari Ke-2

Tapi dalam pertunjukan improvisasi Sontak 3 ini, mereka sebenarnya secara tidak langsung telah memperkenalkan diri; melalui bunyi yang mereka hasilkan.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Pertunjukan improvisasi bebas Sontak 3 hari ke-2. Pertunjukan improvisasi bebas ini merupakan kegiatan eksplorasi musik dari berbagai sisi untuk melahirkan gagasan musikal. ( Foto: Abizar Algifari S/penulis)

8 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Hari kedua Sontak, masih harus menangkap simbol bebunyian yang tersebar dalam pentas. Improvisasi bebas menjadi jalan sekaligus lautan tak terbatas. Arahnya memang jelas berlaku bebas untuk mendengar, melihat, dan merespons. Jika sudah terjun dalam lautan kebebasan tersebut, bagaimana indra ini dapat dengan optimal bekerja? Apakah ada celah lemah indra ini untuk menangkap semua informasi artistik yang bertebaran? Haruskah penyaji menangkap seluruh informasi tersebut dan meresponsnya?

Jika boleh saya ibaratkan, improvisasi bebas ini seperti kegiatan berdialog, bahkan monolog. Semua terlibat dalam komunikasi estetik. Mulai dari antarpenyaji, penonton dengan penyaji, ruang dengan penyaji, dan penonton dengan ruang. Saya akan coba petakan bentuk-bentuk dialog tersebut. Pertama, dialog berbentuk lempar-terima-respons; ini dialog yang lazim terjadi. Ketika ada orang bertanya; kita pahami maksud pertanyaannya, lalu menjawabnya.

Bentuk yang kedua, lempar-terima-pikir-respons. Tahapan dialog kedua ini hampir sama dengan yang pertama, namun di sini ditambah tahapan pikir. Dalam tahapan pikir perespon dapat meresponsnya dengan jawaban sesuai, tidak sesuai, ngasal, seenaknya, atau sama sekali tidak direspons. Mungkin, tahap pikir di sini akan banyak kemungkinan-kemungkinannya. Bahkan selera dapat menguasainya. Yang sesuai respons; yang tidak sesuai abaikan, jauhi.

Pola dialog ketiga, yakni lempar-biarkan-lempar-biarkan. Dialog ini lebih banyak menabur bebunyian sesuka hati; kadang tak menggukan pikir dan selera. Keempat, susunan dialognya, yaitu lempar sendiri-terima sendiri-respons sendiri. Ya, layaknya monolog, ini pun termasuk dialog; lebih tepatnya dialog dengan diri sendiri. Hemat saya, warna-warni dialog ini patut diakui keberadaannya.

Penyaji sesi 1 terdiri dari Okid Gugat, Teguh Kusumah, Yadi Bons, dan Dekidarma. Sedangkan penyaji untuk sesi dua adalah Kuntari (Tesla Manaf), Deathless, Mita Kulsum, dan Majidalska. Penonton hari itu cukup memadati ruang orkes. Lebih banyak dibandingkan kemarin. Memang, apresiator lebih banyak mahasiswa dibandingkan umum. Tapi ini sebuah cara yang bagus untuk menciptakan pandangan baru terkait musik di dalam tembok kampus. Zaman saya kuliah di UPI Bandung, jarang sekali ada acara-acara seperti ini; yang membongkar gagasan musikal. Padatnya penonton membuat saya pada sesi 1 duduk tepat di belakang kameramen yang sedang mendokumentasikan jalannya pertunjukan. Walau begitu saya masih dapat melihat para penyaji dan mendengar dengan jelas bunyi-bunyi yang diramu mereka.

Nguing-nguing. Bunyi dari salah satu jenis pipa elastis diputar sambil ditiup bagian ujungnya. Pemain perkusi itu cukup eksploratif dalam mencari bebunyian dari alat yang dibawanya. Lantunan gitar mendayu diselingi petikan arpegio dari beberapa tangga nada minor menambah khidmat kesunyian yang bebas ini. Saya terpaku dengan kumpulan mesin bunyi di atas meja; yang disebut modular. Aksinya seperti tak tampak, namun bunyinya selalu menyelinap dalam keheningan dan keramaian. Kabel-kabel yang ruwet terjalin dan dikombinasikan oleh pemainnya. Dengung yang dihasilkan cukup bervariatif. Proses bebunyian yang dimunculkan membutuhkan kecakapan dan proses memasak yang sesuai. Jika tidak sesuai bunyi tidak akan sesuai atau bahkan tidak terdengar.

Baca Juga: Jurnal Bunyi #11: Dialog Bunyi Improvisasi
Jurnal Bunyi #12: Mungkinkah Musik Kontemporer (Abad ke-20) Masuk Sekolah?
Jurnal Bunyi #13: Catatan Sontak 3 Hari Ke-1

Workshop Improvisasi Bebas Sontak

Pada sesi 2, Kuntari atau Tesla Manaf mengagetkan saya dengan tipu daya bunyi yang ia lakukan. Instrumen trompet yang dibawanya diproses dengan sebuah alat menghasilkan seperti bunyi tembakan. Intensitas bunyi yang ia hasilkan tidak terlalu sering; menyela beberapa bagian susunan bunyi dari tiga penyaji lainnya. Modular masih memberikan bunyi-bunyi latar yang menarik. Sesekali direspons bunyi hasil olah suara Mita Kulsum yang menggelitik telinga. Lengkingan dan ornamentasinya mantap dijahit oleh pita suaranya. Kehadiran kacapi dengan beberapa efek pun menambah kekayaan bunyi improvisasi bebas sesi 2.

Tubuh dalam aksi sebenarnya mempertanyakan: akan dibawa ke mana aku? Memori yang berkelindan dengan imajinasi bertansformasi menjadi bunyi yang sulit dimengerti awam. Wah, kalau sudah gini rumit urusan. Bukan itu sebenarnya tujuan awal dari improvisasi bebas. Bukan untuk membuat keanehan semata. Kadang ini yang menjadi mukanya. Tak bisa dipungkiri pula, apresiator pasti merasa bingung dan keheranan mendengar sajian ini. Dialog kopi bersama para mahasiswa musik UPI pun begitu adanya. Tapi mereka begitu antusias meyaksikan dan mengikuti workshop improvisasi bebas Sontak.

Saya sebenarnya penasaran dengan sosok para pemain Sontak ini. Mungkin, beberapa saya sudah mengenal sebelumnya. Tapi dalam pertunjukan improvisasi Sontak 3 ini, mereka sebenarnya secara tidak langsung telah memperkenalkan diri; melalui bunyi yang mereka hasilkan. Respons terhadap bunyi orang lain pun sangat mencerminkan pengalaman musikalnya. Perkenalan cara ini amat menarik sekaligus menciptakan kebingunan baru. Apakah bunyi yang dihasilkannya memang kehendaknya sendiri? Ataukah ada yang mereka tahan untuk beberapa alasan? Istilah harmonis, selaras, mengikuti, dan menyeimbangkan, mungkin penting dan mungkin juga tidak. Improvisasi bebas, memungkinkan segalanya terjadi.

Fenomena improvisasi bebas makin menumbuhkan pertanyaan yang membuat diri semakin bingung. Ditambah dengan gagasasan non musikal yang sudah menggempur pikiran, menambah kebingungan siklis. Alih-alih menemukan hal baru, improvisasi bebas mengajak diri memandang hal tersebut menjadi biasa.

Hemat saya, ini dapat menjadi jalan tol sekaligus menjadi jalan buntu. Kebebasan yang ditawarkan membuat logika membaca batas ini menjadi batas akhir rasa indah. Padahal mungkin keindahan masih terhampar luas dan sedalam samudra. Apakah musik sudah tak musik lagi? Apakah musik hanya sampai di sini? Apakah musik terbelenggu pada batas-batas bunyi bebas? Apakah musik akan menjadi ini dan itu? Jawabannya belum atau bahkan tidak akan pernah bisa terjawab. Bila memandang musik dari sisi ilmu mungkin masih dapat terlihat jelas batas-batasnya. Nah, jika dipandang sebagai media ekspresi seni, musik akan berkelindan dengan apapun yang ada di depan, di belakang, di kiri dan kanannya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//