• Narasi
  • JURNAL BUNYI #16: Warna-Warni Pertunjukan Wayang Golek

JURNAL BUNYI #16: Warna-Warni Pertunjukan Wayang Golek

Pertunjukan wayang golek tak sebatas pertunjukan seni; ada harga diri, pengakuan, dan loyalitas, yang ingin dibangun oleh si pemilik hajat.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Pertunjukan wayang golek di Desa Sukamaju, Kelurahan Cigugur Girang, dengan dalang Yogaswara Sunandar Sunarya. (Foto: Abizar Algifari S/penulis)

19 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Para pedagang jual sudah mempersiapkan lapaknya sehari sebelum pergelaran wayang golek diselenggarakan. Dengan menyimpan gerobak dan menutup lapak dengan terpal biru, menandakan bahwa itu wilayah yang akan digunakan mereka untuk berjualan nanti. Kabar adanya pertunjukan wayang golek, memang cepat sekali sampai di telinga para penjual. Entah bagaimana caranya. Saya masih mempertanyakan hal tersebut. Berasal dari mana informasi tersebut didapat. Padahal, biasanya, pesta perkawinan seperti ini hanya sebatas keluarga dan orang yang diundang saja yang mengetahui.

Sayup bunyi keramaian terdengar dari rumah, namun wujudnya tidak. Pertunjukan wayang golek malam itu memang dekat rumah. Tapi keberadaannya dibisukan oleh suasana kebun di malam hari yang khusyuk. Suara jangkrik dan kodok masih dapat didengar dengan jelas. Kebiasaan sunyi sudah jadi biasa, lantaran rumah saya yang masih berteraskan kebun warga. Kampung Sukamaju, Kelurahan Cigugur Girang, kala itu diramaikan oleh hajat besar; saya rasa juragan sayuran yang menjadi tuan hajatnya. Desa tempat rumah saya berpijak ini memang sering mengundang dalang wayang golek untuk tampil dalam runtutan acara pesta pernikahan atau sunatan. Bila satu orang saja telah mengundang dan menampilkan pertunjukan wayang golek, bulan depan atau hajat selanjutnya pasti akan mengundang kembali dan menyelenggarakan acara yang sama. Bagaimana tidak, antusias masyarakat Desa Cigugur Girang terhadap kesenian lokal, khususnya wayang golek, masih tinggi.

Pertunjukan wayang golek tak sebatas pertunjukan seni; ada harga diri, pengakuan, dan loyalitas, yang ingin dibangun oleh si pemilik hajat. Pertunjukan wayang golek menjadi parameter seseorang itu memiliki materi (kekayaan) di atas rata-rata masyarakat sekitar. Memang begitu adanya. Perlu diketahui, untuk mengundang dan mempertunjukan wayang golek dalam acara pesta, tuan hajat harus merogoh kocek dalam-dalam. Saya dapat kabar bahwa harganya berkisar dari 35 juta ke atas. Sesuai dengan perhitungan yang telah disetujui kedua pihak.

Pukul delapan lebih tiga menit, saya beranjak dari rumah dan berjalan kaki menuju tempat pertunjukan wayang golek digelar. Sekitar 100 meter sebelum sampai di tempat pertunjukan, sudah terhampar pedagang di sebelah kanan dan kiri jalan. Tukang kacang rebus, tukang sosis bakar, tukang bakso, tukang nasi goreng, tukang ketan bakar, tukang sate, zona permainan anak-anak, perkakas rumah tangga, jimat, sampai permainan memancing botol dengan iming-iming gawai pintar, tersedia dan mengundang banyak masyarakat untuk ke luar rumah. Tampak wajah-wajah bahagia dari masyarakat sekitar. Sebab sudah lama sekali kita harus menahan diri untuk tidak berkerumun dan membuat keramaian dikarenakan pagebluk. Di saat seperti ini, warga serasa bernostalgia dengan keramaian, kehangatan, keseruan, dan kerumunan.

Bagi sebagian kalangan, pertunjukan wayang golek merupakan seni mahal yang hanya dapat diundang oleh kalangan atas saja. Sebagian dari itu memandang bahwa kesenian tradisi, seperti wayang golek, ketinggalan zaman, ortodok, dan kuno. Dua konsepsi ini selalu saya temui di dalam masyarakat. Tidak ada salahnya dengan kedua pandangan ini. Semua berhak memiliki pandangan sendiri.

Namun, bila dilihat dan dibaca lebih teliti, apakah pertunjukan wayang golek ini ketinggalan zaman dan kuno? Tentunya banyak jawaban. Bila diteropong dari posisinya sebagai kesenian tradisi, ya, memang, paradigma tradisi sama dengan kuno atau lama, itu sudah melekat dan kiranya sukar untuk diruntuhkan konsepsi seperti ini. Tetapi, baiknya kita dapat memperbaiki pandangan tersebut menggunakan pengetahuan dan daya pikir yang terbuka. Dilihat dari konsep pertunjukannya; tidak banyak berubah dari bentuk pertunjukan wayang golek pada mulanya. Namun, secara estetik (musikal, peran, cerita, media), tentu mengalami perubahan yang jauh lebih berkembang.

Jumlah bilah dan penclon pada beberapa waditra gamelan pada pertunjukan wayang golek malam itu lebih banyak dibandingkan dengan biasanya. Inovasi penggunaan gamelan selap; laras dan surupan terus dikembangkan. Ragam warna gending pun dapat dirasakan lebih banyak. Ini berpengaruh terhadap penyusunan gending untuk kebutuhan iringan pertunjukan wayang golek. Mendengar gending tatalu saja, saya senyam-senyum sendiri, ketika laras atau surupan gending berganti secara tiba-tiba; tidak dapat diprediksi. Dewasa ini perpindahan laras dan surupan pada gending wayang golek semakin nakal. Bagi saya, ini merupakan suatu kebaruan yang menarik; tidak ketinggalan zaman.

Baca Juga: JURNAL BUNYI #13: Catatan Sontak 3 Hari Ke-1
Jurnal Bunyi #14: Catatan Sontak Hari Ke-2
Jurnal Bunyi #15: Catatan Sontak 3 Hari Ke-3

Keberagaman dalam Pertunjukan

Keterbukaan para penggarap gending terhadap ilmu musik yang terus bertumbuh, menciptakan gagasan musikal yang menarik dan sudah pasti unik. Mungkin, bagi yang belum peka dengan ihwal auditif seperti ini akan merasa sama saja ketika mendengarkan gending-gending dalam pertunjukan wayang golek. Tapi saya yakin, imajinasi para apresiator akan dibawa terbang oleh warna-warni gending yang memukau.

Belum lagi penggunaan instrumen musik di luar gamelan pelog/salendro. Seperti yang saya saksikan malam itu, ada beberapa alat musik ansambel gamelan bali, ada pula alat musik aerophone yang biasa mengiringi seni bela diri pencak silat, yaitu terompet pencak. Bunyinya keras dan melengking. Bagi yang belum terbiasa pasti akan merasa kebisingan dengan warna bunyinya. Ini membuktikan proses kreatif terus dilakukan oleh para penggarap gending (komposer) ataupun dalang sebagai pimpinannya. Rupanya kebutuhan dengan hal-hal yang baru, menciptakan aksi untuk mencari keindahan-keindahan lain di balik penyusunan bunyi.

Pertunjukan wayang golek tak sekadar menyaksikan sajian estetik saja. Di balik itu, seluruh indra merasakan aksi dan respons atmosfer di sekitarnya. Tukang jualan sibuk menyeduh kopi, penata bunyi sibuk bolak-balik memastikan pengeras suara tidak ada gangguan bunyi, keluarga pengantin sibuk menyapa dan menyambut para tamu, anak-anak sibuk dengan gawainya; mengusap layar ke atas ke bawah memastikan konten tiktok tersebut layak (sesuai selera) atau tidak untuk disaksikan, pejabat desa sibuk menyeruput kopi sembari menghidupkan satu batang rokok; memastikan bahwa kondisi sekitar pertunjukan kondusif.

Keragaman pemandangan dalam pertunjukan tersebut menjadi warna yang perlu ada. Saya baca, pertunjukan seni tradisi – dalam hal ini wayang golek – amat erat dengan penontonnya. Ada pertunjukan di dalam pertunjukan. Tubuh tidak dapat menghindar dari segala stimulus yang ada. Seluruh kegiatan bersatu dan menyuguhkan sajian yang utuh.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//