• Narasi
  • JURNAL BUNYI #17: Apa Pentingnya Mengenal Alat Musik Tradisi Sunda (Daerah)?

JURNAL BUNYI #17: Apa Pentingnya Mengenal Alat Musik Tradisi Sunda (Daerah)?

Ada pandangan bahwa gitar, piano, violin, dan alat musik tradisi barat lainnya adalah musik modern. Modern dari mananya? Setiap alat musik memiliki sejarah panjang.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Alat musik tradisional Sunda. Sampai saat ini terdapat dikotomi yang membuat alat musik tradisional daerah tersisihkan oleh musik modern barat. (Foto: Abizar Algifari Saiful/penulis)

1 September 2022


BandungBergerak.id - Miris sebenarnya. Melihat kenyataan bahwa kebanyakan murid di sekolah amat minim terkait pengetahuan kesenian daerahnya. Padahal itu sebagai identitas; nama bagi kita yang lahir dan tinggal di tanah yang diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.

Tulisan ini tidak ada maksud untuk mendiskreditkan salah satu pihak. Saya ingin membawa pembaca sekalian untuk menemukan solusinya bersama. Apa sebenarnya kendala yang selama ini ada, sehingga pengetahuan kita mampet dan sulit diinformasikan kepada peserta didik di sekolah? Khususnya pengetahuan tradisi kita yang semakin hari semakin terlupakan. Tak bisakah permasalahan ini disudahi sampai di sini?

Kebingungan yang saya rasakan ini kerap muncul pada saat sedang memberikan materi musik daerah di kelas. Melihat dari jenjang pendidikannya, sesuai dengan kurikulum yang dirancang pemerintah, musik daerah menjadi topik utama untuk dipelajari itu pada jenjang kelas 2 SMP dan 1 SMA. Lalu, apa sebenarnya tujuan pembelajaran musik daerah tersebut?

Guru tentu memiliki tujuan yang bervariasi. Namun, tujuan utamanya adalah memperkenalkan musik daerah (tradisi) kepada peserta didik. Bagaimana caranya? Mulai dari memberikan cermah langsung, praktik, sampai dengan menggelar diskusi terkait musik daerah. Cara tersebut lazim digunakan guru seni di sekolah.

Apakah tujuan mulia dari pembelajaran ini tersampaikan secara sempurna? Tentu tidak. Ada kemdala yang harus diarungi para pendidik maupun peserta didik. Utamanya dua ihwal ini, yakni fasilitas dan sumber daya manusia (pendidik atau guru). Jika kedua aspek ini ada, maka siklus pembelajaran yang ideal akan terwujud. Memang tidak menutup kemungkinan, jika tidak ada salah satunya, masih bisa mewujudkan pembelajaran yang layak.

Kondisi pembelajaran mengenai materi musik tradisi di sekolah patut mendapatkan perhatian lebih. Pasalnya materi ini masih dianggap kuno; bahkan tidak penting, tidak layak dipelajari. Apa alasannya? Saya pun tak tahu sampai saat ini. Diawali oleh konsepsi dikotomi musik tradisi dan modern yang salah. Hingga saat ini, masih berseliweran dan masih melekat pandangan bahwa gitar, piano, violin, dan alat musik tradisi barat lainnya adalah musik modern. Bagi saya, ini merupakan pertanyaan besar; modern dari mananya? Dilihat dari tahun kemunculan alat musik tersebut, tentu tidak.

Instrumen musik tersebut sama seperti gamelan dan kacapi yang memiliki sejarah perkembangannya sendiri. Lalu, di mana sisi modernnya? Karyanya kah? Atau unsur musiknya, karena menggunakan sistem nada doremi, maka disebut musik modern? Sistem nada yang kita kenal dengan doremi, dipopulerkan oleh dua ilmuwan muslim, yakni Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi (801 M-873 M) dan Abu Nasr al-Farabi (872 M-950 M). Berpijak pada tahun kepopulerannya; apakah tangga nada doremi dapat dijadikan sebagai indikator bahwa musik itu modern?

Ada anggapan lain yang mengakar di masyarakat, bahwa musik modern adalah grup band. Dan masih banyak lagi konsepsi yang dipercaya, bahkan diyakini oleh masyarakat bahwa itu adalah musik modern. Lantas, musik modern yang sebenarnya itu seperti apa? Setiap manusia dapat berpendapat apa saja. Saya tidak ingin membatasi pandangan setiap orang tentang apa pun. Penjelasan mengenai istilah modern bebas ditafsirkan apa pun.

Hanya saja, untuk kepentingan pemetaan keilmuan, khususnya musik, perlu pengelompokkan tersebut supaya tersusun struktur berpikir yang sistematis. Namun, dalam tulisan ini, saya tidak akan berfokus pada topik tersebut. Pembahasan di atas, ingin saya ketengahkan terlebih dahulu untuk menguatkan, meyakinkan, dan memberi semangat untuk tidak memandang sebelah mata musik tradisi. Sebesar apa pun kita menolak pembahasan sederhana ini; di lapangan, ini adalah sebuah fakta yang terjadi. Yang hemat saya, perlu untuk dituntaskan; ya, minimal dikumandangkan lebih sering.

Baca Juga: Jurnal Bunyi #14: Catatan Sontak Hari Ke-2
Jurnal Bunyi #15: Catatan Sontak 3 Hari Ke-3
JURNAL BUNYI #16: Warna-Warni Pertunjukan Wayang Golek

Melangitkan Alat Musik Daerah

Mengapa saya mengetengahkan topik mengenal alat musik daerah? Ini bermula dari rasa cemburu yang muncul ketika berjumpa dengan buku-buku impor teori dasar bermain piano. Mulai dari tampilan, isi, bahan kertas, tata letak, komposisi warna, begitu menggoda, dan menggairahkan para murid untuk antusias belajar. Mengapa tidak, jika pembelajaran alat musik tradisi lokal dikemas sedemikian rupa, sebagai bentuk ikhtiar membumikan musik tradisi kepada masyarakat. Bukan untuk ikut-ikutan. Lebih tepatnya "melangitkan", sepertinya. Karena musik daerah sudah membumi lebih "bumi" dari apa yang kita bayangkan; sampai-sampai jarang terlihat keberadaannya. Upaya ini pun sebagai langkah kecil mengorganisir dan mendokumentasikan musik daerah.

Langkah konkret yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan peserta didik terkait kesenian tradisi pernah digaungkan oleh Lembaga Pendidikan Seni Nusantara (LPSN). LPSN adalah sebuah yayasan nirlaba yang didirikan tahun 2002 oleh para seniman, peneliti, dan pendidik seni. Program utamanya, menyusun kurikulum dan bahan ajar kesenian untuk sekolah umum yang berdasar dan mengarah pada pemahaman pluralitas kesenian, yang terdapat dalam kehidupan masyarakat di berbagai wilayah budaya Indonesia. Melalui pendekatan culture-specific itu pulalah pemahaman terhadap kemajemukan budaya itu bisa dicapai. Apresiasi terhadap kekayaan budaya lokal ini diharap dapat memberi bekal kreativitas yang mengakar pada para siswa yang berbakat, dengan itu kesinambungan daya atau vitalisasi “lokal” akan tertunjang.

Lembaga Pendidikan Seni Nusantara menghasilkan produk berupa buku beserta audio pembelajaran seni untuk jenjang SMP dan SMA. Di antara buku terbitannya, yaitu (1) buku berjudul Gong yang disusun oleh Esther L. Siagian diperuntukkan bagi siswa kelas VII (tujuh) atau satu sekolah menengah pertama; (2) buku berjudul Tari Komunal yang disusun oleh I Wayan Dibia, FX. Widaryanto, dan Endo Suanda diperuntukkan bagi siswa kelas XI (sebelas) atau dua sekolah menengah atas; (3) buku berjudul Topeng yang disusun oleh Endo Suanda diperuntukkan bagi siswa kelas X (sepuluh) atau satu sekolah menengah atas.

Ketiga buku tersebut hadir melalui hasil meramu keberagaman produk budaya yang ada di nusantara. Hemat saya, langkah tersebut adalah upaya cerdas untuk meningkatkan kualitas pendidikan seni di Indonesia. Kemasyhuran dan keprofesionalan para penyusun buku tersebut tak perlu diragukan lagi kedalaman ilmunya. Sekilas membaca buku-buku tersebut, menumbuhkan keyakinan saya, jika buku-buku ini terus ada dan dipergunakan di sekolah, sedikit demi sedikit pembelajaran seni di sekolah dapat ditingkatkan kualitasnya. Pandangan dan konsepsi khalayak terkait hawa negatif seni-seniman dapat dirubah pelan-pelan.

Segala upaya yang dilakukan untuk menjaga dan membuat “abadi” kesenian tradisi kita tak akan bertahan jika tidak ada dukungan serta kontinuitas (keberlanjutannya). Sengaja saya ungapkan opini ini untuk memantik kembali semangat untuk menggelorakan kesenian tradisi dan membawanya pada tempat yang “layak”. Kelayakan dalam hal ini adalah perlakuan kita terhadap kesenian tradisi tersebut; identitas bagi kita semua sebagai bangsa yang amat menghargai nilai kebudayaan lokal.

Judul tulisan ini, mungkin, langkah kecil yang dapat dilakukan untuk membuka kembali pintu tersebut. Sememangnya kesenian (musik) tradisi tidak butuh pengakuan, perlindungan, dan pembelaan. Tetapi, apakah rela jika kejadian terhadap angklung, reog, dan batik yang diakui negara lain terjadi kembali?

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//