• Narasi
  • JURNAL BUNYI #20: Infinite Gameland Sesi 2, Melepas, Bebas, agar tak Tandas

JURNAL BUNYI #20: Infinite Gameland Sesi 2, Melepas, Bebas, agar tak Tandas

Gamelan Indonesia dapat diformulasikan, bahkan membaur dengan bebunyian yang datang dari negara dan budaya lain.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Pertunjukan Infinite Gameland Sesi 2 di Ampiteater Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. (Foto: Abizar Algifari Saiful/Penulis)

3 November 2022


BandungBergerak.id - “Di dalam gamelan kutemukan keindahan ‘yang lain’ yang tidak ditemukan dalam estetika musik barat: suatu keindahan musik dari ‘dunia asing’ yang tidak dapat ditemukan dengan kata-kata,” kata Claude Debussy.

Tulisan saya kemarin membahas mengenai sajian sesi 1 di konser Infinite Gameland. Gamelan yang lahir di tanah Indonesia dapat diformulasikan, bahkan membaur dengan bebunyian yang datang dari negara dan budaya lain. Daya pikir dan kreativitas manusia mengajak gamelan untuk jalan bersanding, memacu semangat berkembang dan terus mencari, hingga bertemu dengan diri gamelan yang sebenarnya. Kelenturannya dalam beradaptasi, meyakinkan saya, gamelan dapat hidup dalam keabadian. Tubuh kayu-logamnya menopang segala kegelisahan untuk bertahan menemani penggarapnya berjumpa dengan rahasia estetik di balik wujudnya. Entah sampai kapan pencarian ini akan berlangsung. Mungkin, tak akan ada ujung.

Sesi 2 ini diberi judul Contemporary Gamelan (gamelan kontemporer). Bagian ini disajikan delapan karya musik, di antaranya Waled (aransemen Iwan Gunawan), Reumis Beureum Dina Eurih (aransemen Dody Satya Eka Gustdiman), Sonata da Camera (Klaus Kuiper), Cycle and Variation (Iwan Gunawan berkolaborasi dengan Tatang Batuak, Asep Bean, dan Egi Rifaldi), Gameland I (Slamet Abdel Sjukur), Fonem and Minutes (Iwan Gunawan), dan Kulu-Kulu 2022.

Keberadaan kata “kontemporer” meyakinkan saya bahwa bentuk sajian gamelan akan berbeda dibandingkan pada sesi 1. Secara bahasa arti kata kontemporer adalah masa kini. Namun, konteks kontemporer dalam perjalanan perkembangan musik bersifat dinamis, lentur, temporer, dan tidak dapat ditebak. Beberapa judul karya yang telah disebutkan di atas, memang, ada yang masih berpijak pada tradisi. Namun, daya kretivitas sudah menjangkitinya.

Sorot lampu berwarna hijau menyibak padatnya panggung. Karena pada acara ini, ansambel Kyai Fatahillah mengerahkan seluruh waditra gamelan laras pelog dan salendro untuk dieksplor kemungkinan bunyinya. Kondisi gelap meningkatkan suasana yang entah apa. Penonton mulai memadati kursi yang telah disusun dua sisi, kanan dan kiri. Saya duduk di barisan keempat kursi sebelah kanan berdampingan dengan videografer yang bertugas di tengah. Sambil menunggu, saya coba menatap gamelan yang ada di depan. Kenangan mengenai kuliah, latihan, dan hal-hal yang berhubungan dengan kampus kala itu bermunculan. Tembakan visual yang sedikit absurd, menyeret saya untuk terus bertanya: apa yang akan terjadi? Fenomena musikal apa yang akan disuguhkan nanti? Lama kelamaan riuh penonton semakin terdengar. Menoleh ke belakang, teryata kursi yang disediakan sudah penuh terisi. Pembawa acara sudah mengirim kode kepada penata suara agar diaktifkan mikrofonnya; pertanda acara akan dimulai.

Posisi duduk saya benarkan untuk lebih jelas menatap siapa yang sedang berbicara di depan. Dua sambutan bergulir memberi jarak para pemain untuk bersiap. Karya pertama yang disajikan ansambel Kyai Fatahillah adalah Waled. Kiranya, karya ini merupakan karya musik (gending) tradisi, yang biasa dimainkan pada pergelaran wayang ataupun kliningan. Namun, apakah benar, Fatahillah akan menyuguhkan gending waled yang memang versi tradisi? Pasalnya, guru saya, Iwan Gunawan sedikit “nakal” dalam menggarap gamelan.

Dugaan saya benar. Ternyata, gending waled yang disajikan begitu berbeda dan menarik perhatian telinga. Seluruh waditra di atas pentas dimainkan. Laras pelog dan salendro dikawinkan dan berbaur tanpa jarak. Pola ritme yang digarap pun tidak seperti biasa, lebih linah, dinamis, dan atraktif. Durasi untuk karya pertama ini memang sebentar. Namun, dengan cara tafsir nayaga (penabuh gamelan) yang baik, membuat gending ini begitu memukau. Apalagi sebagai introduksi, bagi saya, hal ini tepat untuk mengikat rasa penasaran penonton untuk diam terpaku pada posisinya.

Penabuh gamelan bergantian. Karya kedua akan segera dimainkan. Mungkin, karya kedua ini amat dekat dengan saya. Reumis Beureum Dina Eurih atau penabuh Fatahillah biasa menyingkatnya dengan Reubeudieu, merupakan salah satu karya yang disusun oleh Mang Koko dan syairnya ditulis oleh Wahyu Wibisana. Menurut data manuskrip musik yang saya lihat, karya ini ditulis Mang Koko pada tanggal 30 Oktober 1966. Di kala kuliah, saya sempat ikut memainkan karya ini. Memang berbeda dengan versi iringan kacapinya. Reubeudieu yang akan dibawakan merupakan hasil aransemen dari komposer Dody Satya Ekagustdiman.

Sunyi datang sesaat sebelum Reubeudieu disuguhkan. Bunyi gong mengawali lagu ini dengan begitu khidmat. Tatapan dan pendengaran seakan diculik dan dikunci dengan permainan dinamika bunyi yang dinamis. Meski saya sudah mendengarkan lagu ini ratusan kali, sepertinya rasa bosan enggan untuk hinggap. Selalu muncul sensasi yang berbeda ketika mendengarkan karya ini. Untuk mendengarkan lebih dalam, saya coba menutup mata dan menikmati bebunyian kecil yang menyebar di sekitar ruang. Telinga ini serasa dimanjakan. Lantunan syair juru kawih mengisap diri untuk rela dibawa ke mana pun. Kekuatan sastra dan musik yang berkelindan memantapkan karya satu ini menusuk hati para apresiatornya. Setelah karya ini berakhir, saya dipanggil Pak Iwan untuk maju ke depan, berbagi sedikit informasi terkait Mang Koko dan karyanya.

Menginjak pada karya selanjutnya, yakni Sonata da Camera (Klaus Kuiper). Saya baru menyaksikan karya ini secara langsung. Eksplorasi pola ritme dan warna bunyi menjadi keunggulan dari karya ini. Menghubungkan, menyatukan, dan mengawinkan bunyi satu dengan bunyi yang lain bukan perkara mudah, dan Klaus Kuiper mampu melakukannya. Garap tempo dan ritme yang lincah membuat karya ini mengundang kaki kiri saya untuk mengangguk, mengikuti hitungan ketukannya. Menjelang akhir karya, paduan bunyi logam sungguh menarik. Menjalar dan menyulam setiap pola ritme yang dimainkan oleh masing-masing penabuh. Bunyi bergerak sesuai maunya, membentuk anyaman yang terpola dan saling mengisi.

Suara Teh Yanti memecah sepi gedung Amphiteater. Suaranya lirih, meliuk, dan khidmat. Sorot lampu fokus membungkusnya. Perlahan dilantunkan bagian awal lagu Sriwedari, berbalut bunyi ambience yang meditatif. Gerak pelan-halus dua penari di sebelah kiri dan kanan, mengajak penonton untuk sejenak merenung dan ikut merasakan proses gerak tersebut. Tiba-tiba dari arah penonton, muncul seseorang yang berteriak (seperti suara rahwana) sambil menembangkan sebuah nyanyian. Cycle and Variation dimulai. Karya musik seperti ini, mungkin masih asing di telinga para apresiator. Mengajak penonton untuk mencerap sekaligus menafsir. Pendengaran setiap orangnya diajak untuk tidak sekadar “mendengar” tapi “mendengarkan”.  

Baca Juga: JURNAL BUNYI #17: Apa Pentingnya Mengenal Alat Musik Tradisi Sunda (Daerah)?
JURNAL BUNYI #18: Pakalangan Kaul (Lawas yang Dirindukan)
JURNAL BUNYI #19: Infinite Gameland Sesi 1, Membebaskan Belenggu Kuno pada Gamelan

Gameland I

Suguhan selanjutnya adalah karya berjudul Gameland I. Karya ini disusun oleh Slamet Abdul Sjukur. Terakhir menyaksikan karya ini, ketika saya mengikuti kompetisi komposisi musik di Yogyakarya, tepatnya di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), pada tahun 2016. Tampaknya karya Gameland I amat erat dengan identitas komposernya. Kita ketahui bahwa Slamet Abdul Sjukur (SAS) salah satu komposer yang memiliki latar musik barat yang kuat. Pandangan dan gagasannya mengenai musik, kala itu, selalu kontroversi. Namun, hari ini argumentasi beliau terkait musik baru dapat saya sadari.

Komposer asal Jawa Timur satu itu merupakan salah satu yang sangat berpengaruh dan mempengaruhi perkembangan musik kontemporer di Indonesia. Karya-karyanya pun mampu mendobrak, membongkar, mendistrak, sekaligus memberikan ilham konsepsi-konsepsi musik seni. Hal ini tercermin pada karyanya yang dimainkan oleh gamelan Kyai Fatahillah. Gameland I menyuguhkan bebunyian yang intim. Gairah untuk menonjolkan suatu keistimewaan waditra dirasa ditahan dan dimainkan perasaannya. Saya perlu menaikkan sensitivitas dan fokus mendengar ketika menyaksikan karyanya. Pasalnya, banyak bunyi tipis, lirih, dan pelan yang membutuhkan fokus mendengarkan di luar kebiasaan.

Berbeda dengan karya Gameland I, Minutes menarik raga sedikit demi sedikit untuk berlari. Perjalanan pola ritme menjadi identitas karya ini. Mulai dari satu berkembang menjadi dua, berkembang menjadi dua koma lima, membelah diri menjadi empat, seperti itulah yang saya dapat gambarkan dalam kata-kata. Konsep minimalis namun tak semimalis yang dibayangkan. Bunyi-bunyi berterbangan saling menyusul. Waditra yang digunakan begitu statis tapi dinamis. Melodi yang terdengar pun menyuguhkan suasana berbeda. Bukan pelog, bukan salendro. Nada dibiarkan bebas mencari identitas yang diinginkannya. Menemui pelbagai ragam warna bunyi yang ingin berbagi harmoni dengan yang lain.

Kulu-kulu 2022 merupakan karya pemungkas konser Infinite Gameland. Hemat saya, Kulu-kulu ini, menjadi identitas yang tak dapat dipisahkan dengan Kyai Fatahillah. Mendengarnya masih tetap tidak bosan. Kejutan tabrak menabrak antarlaras begitu sedap didengar. Terbayang, struktur ritme yang disuguhkan seperti kuncup bunga yang baru mekar. Perlahan-lahan terbuka dan pada akhirnya mahkota bunga sempurna terangkai.

Tuntas sudah seluruh rangkaian karya musik dipertunjukkan. Tepuk tangan penonton menghangatkan ruangan selepas hujan reda. Paraguna Kyai Fatahillah, bersama sang komposer, Iwan Gunawan, memberikan hormat kepada para apresiator. Banyak penonton yang bersalaman dan memberikan selamat kepada para penabuh dan komposer. Malam itu menjadi mimpi indah telinga. Selamat dan sukses untuk ansambel gamelan Kyai Fatahillah. Semoga semangat “terus mencari” dapat ditularkan dan diendapkan kepada para insan kreatif.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//