• Kolom
  • JURNAL BUNYI #22: Angklung Sered, Duel Dalam Kedamaian

JURNAL BUNYI #22: Angklung Sered, Duel Dalam Kedamaian

Kesenian Angklung Sered diperuntukkan untuk menguji ketangguhan fisik sambil berduel dengan tetap memegang dan menggetarkan angklungnya apapun yang terjadi.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Sajian Angklung Sered, pertunjukan angklung buhun khas Desa Desa Balandongan di Kabupaten Tasikmalaya. (Foto: Abizar Algifari Saiful)

22 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Berbincang mengenai kesenian Sunda, pasti tidak akan terlepas dari instrumen yang terbuat dari bambu, yakni angklung. Alat musik satu ini sudah disebut dalam catatan perjalanan Jaap Kunst di Tatar Sunda. Angklung dapat dijumpai di berbagai daerah di Jawa Barat, di antaranya Bandung, Sukabumi, Cimahi, Kuningan, dan Tasikmalaya.

Sumber bunyi angklung berasal dari tabung-tabung yang harus digetarkan. Bunyinya khas. Vibrasi bunyinya menciptakan kesejukan di telinga dan jiwa.

Perlu diperhatikan, dilihat dari sistem nada dan usia keberadaannya, angklung sendiri terdiri dari dua jenis, yakni angklung buhun dan angklung padaeng; kita kenal dengan istilah angklung diatonis (doremi). Jelas, angklung buhun memiliki usia yang lebih tua dibandingkan dengan angklung padaeng.

Sistem nada angklung buhun memiliki ciri nuansa tersendiri. Setiap daerah tidak sama dalam menentukan sistem nadanya. Walaupun mirip dengan salah satu laras (salendro), tetapi bila didengarkan, rasanya tidak seperti itu; sebagian orang berpendapat mendekati.

Jumat, 18 Maret 2023, saya berkesempatan menyaksikan salah satu sajian musik angklung buhun di daerah Kabupaten Tasikmalaya, tepatnya di Desa Balandongan. Angklung Sered, begitu warga sekitar menyebutnya.

Untuk dapat sampai ke tempat kelahiran angklung tersebut, kami membutuhkan waktu sekitar 5 jam perjalanan yang ditempuh dari Kota Bandung. Menyusuri jalan lintas kabupaten/kota, berkelok, menuruni, dan menaiki bukit yang masih dihiasi persawahan juga sungai yang asri. Pada satu titik, kami harus berbelok masuk ke jalan yang lebih kecil. Hanya dapat dilewati oleh satu mobil saja. Dari jalan besar, kira-kira butuh waktu 20 menit untuk sampai tujuan utama.

Baca Juga: JURNAL BUNYI #19: Infinite Gameland Sesi 1, Membebaskan Belenggu Kuno pada Gamelan
JURNAL BUNYI #20: Infinite Gameland Sesi 2, Melepas, Bebas, agar tak Tandas
JURNAL BUNYI #21: Gamelan dan Sekolah

Angklung Sered

Suasana desa saat itu cukup panas dan kering. Sesekali, saya dihibur oleh tiupan angin sepoi-sepoi yang halus mengusap kulit. Sayup-sayup suara orang mengaji dari pengeras suara masjid mulai jelas terdengar.

Sesampainya di permukiman warga, kami bergerak perlahan melewati mesjid besar. Masyarakat menoleh untuk menjawab rasa penasarannya: siapa yang datang? Kami pun mengangguk untuk memberikan salam hormat.

Istilah kota pesantren memang terbukti adanya. Mayoritas masyarakat Desa Balandongan memeluk agama Islam. Sembari berjalan, kami menikmati lantunan sempalan ayat suci Al-Qur’an; berhenti ketika waktu salat zuhur tiba. Selepas ibadah Jumat, persiapan pertunjukan dilanjutkan kembali. Seluruh pihak yang terkait dengan pertunjukan tersebut segera menuju lokasi pertunjukan dan bersiap pada perannya masing-masing.

Sajian dimulai dari alunan alat musik membranophone dan aerophone. Ajek dan tegasnya suara dogdog dibungkus oleh gerakan bunyi nakal kendang membuat suasana semakin semangat dan meriah. Belum lagi, pekiknya suara tarompet penca yang mengusik sekaligus memanjakan telinga; melilit dan mengikat seluruh bebunyian yang ada untuk bersatu. Tidak hanya terasa di gendang telinga, bunyi seperti menyelinap masuk ke arteri pembuluh darah dan membuat tubuh diajak untuk bangun dan siaga.

Teras rumah menjadi panggung bagi para pemusik. Di depannya ada lapangan – seluas lapangan voli – yang difungsikan sebagai panggung utama para penari dan pemain angklung beraksi. Untuk dapat ke daerah lapangan, penonton harus menuruni tangga terlebih dahulu. Sebab, posisi lapangan berada lebih rendah dibandingkan dengan rumah warga.

Perlahan, tempat duduk yang disediakan panitia mulai disesaki oleh masyarakat sekitar. Tingginya antusiasme masyarakat Desa Balandongan, hingga mereka rela berdiri di pinggiran tembok pembatas jalan yang berada di atas lapang. Mulai dari anak-anak, bapak-bapak, ibu-ibu, sampai lansia hadir ingin menyaksikan pergelaran angklung sered, kesenian leluhurnya.

Terdapat lapak dadakan berbentuk saung kecil yang berderet menawarkan beberapa kerajinan daerah tersebut. Tampaknya pertunjukan angklung ini tidak sekadar menawarkan tontonan semata, tetapi konsep dasar yang diusung oleh konseptor adalah desa wisata. Sememangnya, pertunjukan angklung sered ini merupakan rangkaian ujian disertasi saudara Agus Ahmad Wakih yang berjudul Angklung Sered Balandongan Sebagai Media Pendidikan Karakter Untuk Rintisan Desa Wisata Budaya di Tasikmalaya.

Berduel dengan Angklung

Pada mulanya, kesenian angklung sered memang diperuntukkan untuk menguji ketangguhan fisik (adu kojor). Sambil berduel, setiap orang harus tetap memegang sambil menggetarkan angklungnya; apa pun yang terjadi. Menurut kesaksian sesepuh di sana, bahkan ada yang sampai mati akibat melakukan kesenian ini. Saya duga, dahulu, angklung bukan sekadar alat musik saja, namun semacam “pusaka” yang memberikan kekuatan. Bila dipikir secara logis: untuk apa bertarung sambil membunyikan angklung? Berarti di sini, ada kepercayaan masyarakat setempat yang yakin bahwa angklung memiliki “sesuatu”. Budaya agraris yang mendarah daging pada masyarakat Priangan pun, menjadi salah satu alasan menjadikan angklung (bambu) menjadi sebuah keunggulan produk budaya; bahkan sampai dijadikan sebagai material sakral.

Sajian pertunjukan angklung sered kali ini berbeda dari bentuk lamanya. Angklung sered tidak ditampilkan secara tunggal, namun beberapa media ekspresi lain – seperti tari, drama, rupa (kostum, kerajinan) – dilibatkan secara setara. Terasa segar menyaksikan pertunjukan ini. Berbagai media ekspresi diramu sedemikian rupa membentuk sajian yang pas.

Anak-anak banyak dilibatkan sebagai penyaji di sana. Saya rasa anak-anak telah melampaui proses latihan yang cukup intens. Mereka sudah tidak terlihat bergerak dalam menghafal. Gerakannya terasa ikhlas, berkelindan dengan berbagai teks di dalam pertunjukan.  Komposisi gerak tidak terlalu kompleks. Anak-anak dengan mudahnya memproses gerak tersebut pada tubuhnya. Walau sederhana, mereka maksimal dan totalitas dalam melakukan setiap geraknya.

Busana yang dikenakan para penari didominasi oleh modifikasi kain batik. Terdapat tiga kelompok penari wanita yang mempertunjukkan sajian geraknya. Setiap kelompok merepresentasikan produk lokal yang diwujudkan pada kostum dan alat bantu tari, di antaranya hihid (kipas terbuat dari anyaman kulit bambu), payung lukis, dan kolotok.

Kelompok penari wanita yang membawa sekaligus membunyikan kolotok (sejenis lonceng sapi berbahan dasar kayu) mengenakan kerudung sebagai bagian dari busananya. Sedangkan dua kelompok penari wanita lainnya tidak. Di sini, tersemat pesan pluralitas. Kabupaten Tasikmalaya yang terkenal dengan sebutan kota santri, sememangnya menjunjung tinggi keberagaman dan toleransi. Garap gerak yang dipertontonkan bervariatif, mulai dari warna gerak pengaruh tari rakyat hingga pengaruh paradigma Islam.

Arah pertunjukan terasa sistemis. Kesan dramatis pun tertangkap tubuh. Duduk dekat dengan penyaji – bisa dibilang masuk area panggung – memiliki pengalaman tersendiri. Apalagi ketika bagian kelompok angklung sered saling adu kojor, debu terhembus seperti gumpalan asap; meminta saya untuk menulisnya. Tak jarang, telapak tangan segera menutup mulut dan hidung; berlindung dari debu yang menjadi bagian dari pertunjukan.

Menyaksikan duel angklung pertama saya saksikan. Ternyata membuat jantung berdebar juga. Sempat di satu momen, angklung salah satu penyaji patah, bahkan hancur. Kiranya ini merupakan ungkapan serius para pemain dalam menafsir pesan pertunjukan. Fragmen adu kojor dibuat berseling dengan pola gerakan yang lain, seperti memutar (berkeliling sambil berlari dan membunyikan angklung) dan gerakan maju-mundur mengikuti irama musik yang dibuat longgar. Ketika bagian adu kojor dilakukan, penonton tak hentinya bertempik.

Kiranya pertunjukan angklung sered ini mengubah kesan lawas menjadi bentuk yang performatif-edukatif. Meskipun diaransir menjadi sesuatu yang berbeda, nilai intrinsik angklung sered tetap dijunjung tinggi; bahkan diperkaya. Isu pendidikan karakter yang diketengahkan  peneliti dapat disampaikan secara ringan dan menghibur. Tentunya proses garap pertunjukan seperti ini membutuhkan pengorbanan yang besar. Secara tidak langsung, masyarakat sekitar dibukakan pandangan lain tentang karakter diri, desa, dan produk budayanya.   

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//