• Kolom
  • JURNAL BUNYI #24: Ngurulung Angklung di Kota Bandung

JURNAL BUNYI #24: Ngurulung Angklung di Kota Bandung

Angklung merupakan alat musik yang lentur dan melebur dengan genre musik apa pun. Dulu banyak difungsikan untuk kegiatan ritual, kini disuguhkan sebagai pertunjukan.

Abizar Algifari Saiful

Pendidik musik, komposer, dan peneliti

Grup angklung ANCIS (Angklung Buncis) ISBI Bandung. (Foto: Abizar Algifari Saiful)

12 Juni 2024


BandungBergerak.id – Sore di Kota Bandung kali ini berbeda. Tak hanya Tuhan yang selalu tersenyum memandang kota yang indah ini. Dewa-dewi pun hadir untuk mendengarkan karunia bunyi yang bersumber dari bangunan para bangsawan (menak). Dahulu tempatnya tertutup. Namun, sekarang lebih humanis. Setiap tamu yang datang, dipersilahkan bermain di taman tenteramnya. Pohon-pohon besar terpacak, sudah lama tinggal di sana. Mendengarkan memori-memori pemiliknya terdahulu. Saya bersyukur, kali ini seluruh rakyat dapat membawa ungkapan ekspresinya di selasar taman para bangsawan. Di luar kepentingan mana pun, kiranya kabar baik ini patut diamini agar langgeng hingga nanti.

Bunyinya khas. Tabung-tabung bambu yang beradu melantunkan bebunyian alamiah. Angin menghembuskan ketenangan, seraya mendoakan bunyi mengalir masuk ke dalam kalbu setiap insan. Tak dipungkiri, setiap kali mendengarnya, kesan tenang, damai, nyaman, dan teduh selalu membersamai tubuh.

Angklung diciptakan dari hasil bumi tanah Priangan yang subur dan Makmur. Kreativitas masyarakat agraris membuahkan warisan yang luar biasa. Bebunyiannya hinggap di telinga cucu-cucunya. Menggugah dan memantik hal serupa dilakukan di zaman kiwari. Kreativitas adalah bahan bakarnya. Tumbuhkan dan pacak itu di sekeliling tubuhmu.

Bandung Ngurulung Angklung merupakan kegiatan yang digelar pemerintah Kota Bandung pada tanggal 8 Juni 2024, bertempat di Balai Kota Bandung. Sebanyak 56 grup angklung menampilkan suguhan pertunjukannya secara bergantian selama 12 jam. Terdapat tiga panggung dalam acara ini; satu panggung besar (utama) yang diapit oleh dua panggung kecil. Penampil bergantian mempertunjukkan karyanya pada masing-masing panggung. Acara ini memecahkan Original Rekor Indonesia (ORI) bermain angklung terlama. Mulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, sampai lansia ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini.

Angklung menghancurkan batas-batas perbedaan. Seluruh masyarakat tumpah, dapat berperan serta dalam acara Ngurulung Angklung 12 jam Kota Bandung. Keberagaman dalam harmoni jelas tergambarkan seperti alat musik angklung itu sendiri. Perbedaan menjadi satu kekuatan. Tidak melihat warna kulit, latar suku, agama, ataupun usia. Semua sama. Memegang angklung yang terbuat dari bambu, untuk menyuarakan harmonisasi keberagaman. Selama 12 jam bunyi angklung tidak henti untuk terus digetarkan. Tidak ada jeda. Walaupun ada perpindahan atau persiapan dari grup yang akan tampil, sejumlah angklung harus terus berbunyi, mengisi renggangan sunyi. 

Semangat ibu-ibu lansia memainkan angklung secara kompak. (Foto: Abizar Algifari Saiful)
Semangat ibu-ibu lansia memainkan angklung secara kompak. (Foto: Abizar Algifari Saiful)

Baca Juga: JURNAL BUNYI #21: Gamelan dan Sekolah
JURNAL BUNYI #22: Angklung Sered, Duel Dalam Kedamaian
JURNAL BUNYI #23: Pekik-pekuk Syahdu Tarantula

Ngurulung Angklung

Lagu-lagu yang dibawakan dalam kegiatan Ngurulung Angklung Kota Bandung didominasi oleh lagu daerah, lagu kebangsaan, dan lagu populer. Angklung dijadikan sebagai media melodius, penyampai runtunan komposisi susunan nada. Kolaborasi menjadi hal yang penting pada kegiatan ini. Angklung merupakan alat musik yang lentur. Dapat melebur dengan genre musik apa pun. Meskipun bunyinya terbilang mengalun, nyaman, dan tenang, bila dihadapkan dengan genre musik yang garang dan keras maka ia dengan mudah menyesuaikan diri. Komposisi melodi yang dibunyikan cepat pun, bukan masalah bagi angklung. Perkembangan organologi pada angklung (angklung toel), memungkinkannya memainkan repertoar yang memiliki kompleksitas melodi yang tinggi dan cepat. Tubuhnya yang berasal dari bambu tidak membuatnya rendah diri menghadapi alat musik yang dirancang menggunakan teknologi terkini. Bunyi yang telah dikomputerisasi pun dapat dengan mudah bersahabat dengan bebunyian purbawi angklung.

Tak kalah dengan yang muda, ibu-ibu lansia ingin memberitahukan bahwa semangatnya belum padam. Angklung yang dibawanya pertanda kekuatan dan keinginannya masih kuat menyuarakan keberagaman dalam satu tujuan. Walaupun geraknya sudah tak lincah lagi, tangannya masih kuat untuk menggetarkan angklung. Saya terpukau dengan satu ibu (di tengah), yang sepanjang pertunjukan duduk dan bertahan sekuat tenaga untuk membunyikan angklung. Terlihat beberapa saat, ibu tersebut beristirahat dan tak lama kemudian ia melanjutkan permainannya. Sebuah upaya yang belum tentu kita temukan di dalam diri. Semangatnya untuk turut serta dalam pertunjukan musik tak usah diragukan lagi. Sempat bertanya di dalam hati: sebenarnya apa tujuan ibu tersebut ikut dalam pertunjukan ini? Dan jawabannya tidak perlu disuarakan dengan kata. Melihat ikhtiar ibu-ibu lansia ini tampil di depan panggung pun, itu sudah menjawab pertanyaannya. Sebagai anak muda, ini merupakan tamparan yang keras.

Menelusuri perjalanannya, dahulu angklung banyak difungsikan untuk kegiatan ritual. Salah satu tujuannya, merayakan rasa syukur atas hasil panen yang telah didapat. Sejalan dengan perkembangan zaman, angklung mengalami alih fungsi, disuguhkan pada khalayak sebagai pertunjukan. Kiranya, ini merupakan salah satu sikap adaptif dari angklung. Para seniman dan pengrajin angklung melihat ada kesempatan besar yang sedang menunggu di depan sana. Pertunjukan angklung yang bersifat komunal memiliki daya tarik tersendiri dan menyiratkan nilai di baliknya. Karakternya yang menjunjung tinggi kebersamaan, membuat angklung mudah diterima oleh masyarakat luas, bahkan oleh masyarakat di luar kebudayaan Sunda. Semangat gotong royong tergambarkan dalam pertunjukan angklung. Niat dan tujuan yang satu merupakan kunci dari keharmonisan komposisi bunyi yang dimainkan pada pertunjukan angklung. Salah wujud alih fungsi angklung dari ritual ke pertunjukan disajikan oleh mahasiswa ISBI Bandung.

*Kawan-kawan dapat membaca artikel-artikel lain Jurnal Bunyi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//