MAHASISWA BERSUARA: Antara Aku yang Nyata dan Aku di Dunia Maya
Ada kompetisi samar di media sosial yang tidak pernah diumumkan, tapi kita semua ikut di dalamnya.

Verena Olivia Hadiarto
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung
4 Desember 2025
BandungBergerak.id – Belakangan ini ada suatu hal yang agak lucu tapi agak menyesakkan yaitu hidup kita seperti terbagi dua. Ada hidup yang benar-benar kita jalani setiap hari yang kadang berantakan dan melelahkan, lalu ada hidup versi Instagram yang harus selalu tampak rapi. Bahkan ketika tidak baik-baik saja, entah mengapa kita tetap merasa tersenyum begitu kamera dibuka. Rasanya seperti ada dorongan yang terus bilang, “Tunjukkan sisi terbaikmu, meskipun itu bukan yang sebenarnya kamu rasakan.”
Hampir setiap pagi, tanpa sadar, tangan kita langsung mencari ikon media sosial di layar ponsel. Padahal mata belum sepenuhnya melek. Tapi begitu unggahan orang lain muncul, langsung ada rasa “wah” melihat hidup orang lain yang tampaknya sudah berjalan lebih dulu: ada yang sudah olahraga, ada yang sarapannya cantik, ada yang sudah produktif. Sementara kita masih ada di dalam rasa malas untuk bangun. Lalu muncul rasa insecure begitu cepat.
Dari situ biasanya muncul pertanyaan yang mengganggu: sebenarnya kita ingin terlihat keren di depan siapa? Terkadang jumlah like atau view yang muncul di layar sekecil itu bisa menentukan suasana hati satu hari penuh. Penelitian terbaru dari University of Amsterdam tahun 2024 berjudul Youths’ sensitivity to social media feedback: a computational account menunjukkan bahwa jumlah like dan reaksi di media sosial bisa mengubah suasana hati anak muda. Hal kecil di layar bisa berpengaruh ke kepercayaan diri mereka seharian. Pada akhirnya kita jadi ragu, unggahan itu buat simpan kenangan atau agar hidup kita kelihatan menarik dari luar?
Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Nyeker, Simbol Kesatuan Manusia dan Alam di Tengah Modernitas
MAHASISWA BERSUARA: Opresi Negara Berkedok Demokrasi Rakyat
MAHASISWA BERSUARA: Ketika Negara Hanya Menonton Saat Hak Pekerja Rumah Tangga Terkoyak
Fenomena Media Sosial dan Kebiasaan Sehari-hari
Membuka media sosial terasa seperti rutinitas yang tidak ditulis, tapi selalu dilakukan. Sama seperti minum air begitu bangun tidur. Ada rasa takut ketinggalan kalau tidak membuka aplikasi itu, meski sebenarnya yang muncul hampir selalu sama. Cuplikan itu seperti cukup untuk membuat kita merasa “harus ada sesuatu yang aku tampilkan juga,” yang mana Generasi Z menyebutnya: jangan lupa memberi makan Instagram.
Kalau dipikir lagi, fungsi media sosial memang sudah berubah jauh dari awalnya. Tadinya dibuat untuk berhubungan dan berteman dengan orang, sekarang lebih seperti panggung besar tempat kita menampilkan versi terbaik diri masing-masing. Tidak selalu bermaksud pamer, tapi semacam kebutuhan untuk menunjukkan bahwa hidup kita baik-baik saja, sambil berharap ada yang melihat dan mengakui. Padahal kenyataan tidak seindah itu.
Karena itu, hal kecil yang seharusnya remeh malah jadi pertimbangan besar: menghapus story karena penontonnya sedikit, menunda unggahan sesuai jam tertentu, atau memotret berulang karena satu detail kecil yang mengganggu. Kita tanpa sadar membuat citra pada diri kita sendiri agar orang bisa menilai sesuai apa yang diinginkan. Dari survei tahun 2022 di Inggris, berjudul “Connection, Creativity and Drama: Teen Life on Social Media” yang dilakukan oleh Youth Mental Charity, dimana dikatakan bahwa 29 persen remaja merasakan tekanan untuk mem-posting karena takut tidak sesuai yang diharapkan.
Menurut penelitian oleh Universitas Pancasila yang dipublikasikan di Jurnal Mindset tahun 2024 , rasa iri yang timbul dari media sosial terutama di Instagram turut menggerus kesejahteraan psikologis, seolah kita selalu berlomba untuk menunjukkan versi terbaik diri kita. Terkadang kita merasa harus terlihat bahagia terus, seolah-olah sedih itu tanda kalau hidup kita “enggak sukses.” Ada ketakutan bahwa kalau kita jujur soal kesulitan. Jadi meskipun hati sedih, kita tetap pasang senyum di story. Rasanya seperti ada peraturan tak tertulis bahwa kebahagiaan harus selalu dipamerkan.
Di media sosial, ada kompetisi samar yang tidak pernah diumumkan tapi kita semua ikut di dalamnya: siapa yang paling estetik, siapa yang bangun paling pagi buat olahraga, siapa yang paling sering liburan ke tempat yang indah. Tanpa sadar, kita saling balapan jadi versi terbaik yang entah ditentukan oleh siapa. Setiap unggahan seolah memberi sinyal bahwa standar hidup “ideal” yang terus bergerak makin tinggi. Dan anehnya, kita selalu mencoba mengejarnya.
Dan jujurnya, kadang kita capek pura-pura bahagia. Capek menjaga senyum yang bukan milik kita hari itu, capek membuat cerita agar terlihat rapi di mata orang lain. Tapi di saat yang sama, ada ketakutan untuk terlihat “biasa aja,” seperti kalau kita tampil apa adanya orang-orang mungkin akan berpaling. Ironisnya, dalam usaha terus terlihat bahagia, kita malah lupa rasanya jujur pada diri sendiri.
Identitas yang Terbelah
Lama-lama kita punya dua versi nyata yang bangun kesiangan, kadang malas, dan versi maya yang terlihat tertata, rapi, selalu punya hal menarik untuk dibagikan. Dua aku ini hidup berdampingan, yang seolah tinggal di dua dunia yang berbeda. Hal sama dengan teori Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life. Dimana, dalam buku klasik ini, Goffman menjelaskan bagaimana individu “bermain peran” layaknya aktor teater, di “front stage” kita menampilkan citra yang dikontrol, sedangkan di “back stage” kita bisa lepas dan menjadi diri asli.
Di tengah itu semua, ada dilema yang selalu muncul: kita ingin jujur, ingin terlihat apa adanya tanpa takut dihakimi. Tapi ada suara lain yang membisiki bahwa kejujuran mungkin tidak selalu diterima, bahwa ketidaksempurnaan mungkin tidak cocok dengan tampilan di media sosial. Jadi kita terus memilih mengunggah hidup yang paling aman atau paling bisa diterima orang lain. Perlahan, kita belajar menyembunyikan bagian diri yang sebenarnya paling manusiawi.
Aku sendiri pernah beberapa kali menghapus foto yang sebenarnya menyimpan momen bahagia, hanya karena merasa tampilannya “enggak cukup bagus.” Rasanya ironis momen berharga kalah oleh rasa takut dianggap kurang estetik. Dan di situ aku sadar, kadang kita bukan hanya mengedit foto, tapi juga mengedit cara kita mengingat hidup sendiri. Kita memilih kenangan berdasarkan visual, bukan perasaan yang sebenarnya kita alami.
Perlahan, tekanan itu mulai bergeser menjadi perasaan yang lebih berat. Rasa minder, overthinking, dan kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain. Penelitian dari Journal of Social Computer and Religiosity tahun 2025, menunjukkan bahwa perbandingan sosial di Instagram bisa mendorong overthinking, rasa insecure, dan citra diri yang dibangun sangat ideal demi diterima. Kita menilai hidup kita berdasarkan hidup orang lain yang bahkan cuma kita lihat lewat unggahan di sosial media. Prestasi yang baik atau kehidupan yang lebih seru sering membuat iri. Padahal, terkadang mereka pun sedang berjuang tentang hal yang sama.
Meski begitu, media sosial tidak sepenuhnya buruk. Justru di sana juga banyak ruang yang bikin kita merasa dilihat dan dipahami. Kita bisa belajar hal baru, menemukan komunitas yang sefrekuensi, atau bertemu orang yang bikin kita merasa, “Oh, ternyata aku enggak sendirian.” Kadang, satu konten jujur dari orang lain membuat kita merasa lebih ringan. Ada juga momen ketika kita termotivasi atau terinspirasi.
Pada akhirnya, masalahnya bukan ada pada aplikasinya, tapi hubungan kita dengan diri sendiri ketika berada di sana. Media sosial cuma tempat biasa, terkadang isinya jelas, kadang bias, tapi tetap tempat orang menunjukkan apa yang mereka mau. Yang menentukan bagaimana kita melihat diri kita adalah cara kita memperlakukan diri sendiri: apakah dengan penuh tuntutan, atau dengan lembut dan penuh pengertian.
Sebagai kesimpulan, semua tentang tekanan, perbandingan, dan dua versi diri di dunia maya pada akhirnya menunjukkan satu hal, di mana kita sering kali lebih keras pada diri sendiri daripada yang kita sadari. Terkadang media sosial membuat kita minder dan merasa kurang. Namun hal itu muncul karena kita melihat kehidupan orang lain yang lebih baik, padahal itu belum tentu, karena apa yang di posting di media sosial hanya yang terlihat bahagia saja. Maka dari itu jadilah diri sendiri, jangan terlalu ingin menjadi terlihat sempurna di dunia maya, dan yang terpenting adalah berdamailah dengan diri sendiri.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

