• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Ketika Negara Hanya Menonton Saat Hak Pekerja Rumah Tangga Terkoyak

MAHASISWA BERSUARA: Ketika Negara Hanya Menonton Saat Hak Pekerja Rumah Tangga Terkoyak

Pekerja Rumah Tangga (PRT) bekerja di ruang privat, tidak terpantau negara, dan tidak masuk dalam imajinasi publik tentang “pekerja” yang layak dilindungi.

Dea Melrisa Agnesia

Pengurus Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (LMID)

Massa aksi Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional berjalan menuju Gedung Sate, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (15/2/2023). (Foto: Putra Dimas/BandungBergerak.id)

2 Desember 2025


BandungBergerak.id – Pekerjaan domestik sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Membersihkan rumah, menjaga anak, hingga merawat orang tua. Namun ironisnya, pekerjaan penting ini justru menjadi salah satu yang paling berisiko dan paling sedikit mendapatkan perlindungan. Laporan International Labour Organization (ILO), Domestic Workers Across the World (2013) menunjukkan bahwa Pekerja Rumah Tangga (PRT) adalah salah satu kelompok pekerja paling rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan kerja paksa. Kerentanan ini muncul bukan karena kurangnya kemampuan, namun pekerjaan domestik dilihat sebagai sesuatu yang “wajar” dilakukan tanpa keahlian khusus, maka status PRT pun direduksi menjadi hadir tanpa pengakuan. Ketidakterlihatan inilah yang menjadi akar marginalisasi PRT bekerja di ruang privat, tidak terpantau negara, dan tidak masuk dalam imajinasi publik tentang “pekerja” yang layak dilindungi.

Kerentanan PRT bukan hanya soal kelas, tetapi juga hasil dari persinggungan identitas sosial yang saling menumpuk. Mayoritas PRT adalah perempuan dari kelompok ekonomi rendah, yang sesuai dengan konsep interseksionalitas Kimberlé Crenshaw mengenai kerentanan seseorang tidak berdiri sendiri, tetapi lahir dari lapisan-lapisan identitas yang saling memperkuat diskriminasi. Menjadi perempuan, miskin, dan pekerja domestik berarti berada pada titik paling rawan dari spektrum ketidakadilan. Kombinasi ini menjelaskan mengapa PRT lebih sering disalahkan daripada dilindungi, dan mengapa absennya negara semakin memperparah luka struktural yang mereka tanggung.

Relasi kuasa yang timpang semakin memperparah situasi. PRT berada pada posisi bergantung secara ekonomi kepada pemberi kerja, sementara pemberi kerja memegang kendali penuh atas ruang hidup, ritme kerja, dan bahkan interaksi sosial mereka. Dalam struktur sosial yang menempatkan pekerjaan domestik sebagai kelas terendah dan bernuansa gender kuat, PRT sering diperlakukan bukan sebagai pekerja, tetapi sebagai “pembantu” istilah yang mencerminkan subordinasi. Ketimpangan ini menciptakan kondisi yang memungkinkan kekerasan dan eksploitasi berlangsung tanpa saksi. Ketika pelanggaran terjadi, PRT sering kali tidak memiliki kuasa, akses, maupun kepercayaan diri untuk melapor.

Kekerasan terhadap PRT bukan sekedar isu bualan media. Dalam data dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat 2.641 kasus kekerasan selama periode 2018-2023. Mayoritas kasus ini berupa kekerasan psikologis, fisik, dan ekonomi dalam situasi kerja, termasuk upah tidak dibayar, pemotongan gaji, dan pemecatan saat sakit. Sementara itu, data dari Komnas Perempuan yang menyoroti bahwa hanya 15 persen pelaku kekerasan terhadap PRT yang dijatuhi hukuman sesuai dengan UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), sedangkan sisanya mendapat hukuman ringan atau bebas. Fenomena ini menunjukkan bahwa banyak dari kasus kekerasan yang menimpa PRT tidak mendapatkan penanganan hukum yang serius. Hal itu bukan hanya masalah “kesalahan individu” atau “pelaku jahat”, tetapi mencerminkan kegagalan negara dalam menegakkan perlindungan dasar bagi pekerja domestik.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Suara yang Dibungkam, Tragedi Pembangunan Kota demi Kepentingan Elite
MAHASISWA BERSUARA: Nyeker, Simbol Kesatuan Manusia dan Alam di Tengah Modernitas
MAHASISWA BERSUARA: Opresi Negara Berkedok Demokrasi Rakyat

Negara sebagai “Penonton” adalah Bentuk Abainya Negara

Absennya perlindungan hukum dan rendahnya tingkat penegakan menciptakan kekerasan struktural: PRT hidup dalam ketakutan dan kerentanan yang terus dipelihara oleh sistem yang tidak berpihak. Negara, berbagai lembaga hukum, dan pembuat kebijakan tampak acuh tak acuh terhadap keadaan ini. Padahal, sebagai warga negara dan pekerja, PRT berhak atas perlindungan hukum, upah, dan keamanan tetapi dalam kenyataan, mereka justru dijadikan kelompok kelas dua yang berisiko tinggi dan kurang mendapatkan keadilan. Lebih menyakitkan lagi, proses legislasi yang seharusnya menjadi pintu perlindungan pun tak kunjung dibuka. RUU PPRT telah mandek lebih dari satu dekade sebuah bukti nyata lemahnya political will yang seharusnya melindungi jutaan pekerja domestik. Pemerintah dan DPR saling melempar tanggung jawab, sementara PRT terus menghadapi kekerasan, upah yang tidak dibayar, dan jam kerja yang tidak manusiawi. Ketika rancangan undang-undang yang sangat mendasar bagi keselamatan dan martabat PRT dibiarkan terkatung-katung selama bertahun-tahun, itu bukan lagi sekadar kelalaian. Itu adalah bentuk pengabaian sistemik.

Bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT), negara hadir sebagai penonton pasif. Hingga hari ini, PRT bahkan tidak diakui sebagai pekerja dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Ketiadaan pengakuan ini bukan sekadar masalah administratif, ini berarti PRT bekerja tanpa standar upah, tanpa kontrak kerja, tanpa jam kerja yang jelas, dan tanpa jaminan sosial. Kekosongan hukum ini membuat PRT berada dalam ruang kerja yang tak tersentuh perlindungan negara. Negara bukan hanya “tidak hadir” tetapi justru menciptakan kondisi yang memungkinkan kekerasan terjadi dan berulang. Ketika sistem hukum membiarkan jutaan PRT bekerja tanpa aturan, maka kekerasan bukanlah kecelakaan; ia menjadi konsekuensi struktural yang dapat diprediksi. Lemahnya penegakan hukum memperparah keadaan banyak aparat memandang kekerasan terhadap PRT sebagai “urusan rumah tangga”, sehingga laporan sering diabaikan atau tidak ditindaklanjuti. Pada titik ini, negara tidak sekadar gagal melindungi, ia turut memperpanjang siklus ketidakadilan yang merenggut hak dan keselamatan PRT setiap hari.

Ketika negara terus membiarkan Pekerja Rumah Tangga (PRT) bekerja tanpa payung hukum yang jelas, eksploitasi justru berulang dari generasi ke generasi. Tanpa regulasi yang kuat seperti kontrak tertulis, standar upah, atau jaminan sosial PRT terperangkap dalam siklus kekerasan struktural yang sukar diputus. Mereka terus menanggung beban kerja berat, bekerja dalam kondisi yang tidak adil, dan sering kali menghadapi pelecehan fisik maupun ekonomi tanpa jalan keluar. Ketika negara tidak hadir sebagai pelindung, kerentanan ini bukan hanya persoalan satu individu, tetapi bagian dari sistem yang gagal mengintervensi secara efektif.

Dari sisi ekonomi dan sosial, pembiaran ini berdampak sangat nyata. Tanpa standar upah yang layak, banyak PRT kesulitan keluar dari kemiskinan meski telah bekerja bertahun-tahun. Mereka tidak memiliki peluang stabilitas finansial atau mobilitas sosial karena upah rendah dan tidak adanya akses ke jaminan sosial seperti asuransi kesehatan atau pensiun. Keadaan ini memperdalam kesenjangan sosial dan memperkuat struktur kemiskinan yang melingkupi banyak pekerja domestik. Lebih dari sekadar kerja kasar, bagi PRT, pekerjaan rumah tangga bisa menjadi entrapment ekonomi yang sulit dihindari. Budaya pembiaran juga memberi legitimasi pada kekerasan: ketika negara diam, masyarakat pun semakin menerima bahwa kekerasan atau eksploitasi terhadap PRT adalah “hal biasa” dalam konteks pekerjaan domestik. Kekerasan menjadi normalisasi sosial. Di level hak asasi manusia (HAM), negara sejatinya memiliki kewajiban untuk melindungi (the duty to protect) semua pekerja termasuk PRT sebagaimana diatur dalam prinsip HAM internasional dan ditegaskan dalam Konvensi ILO No. 189. Namun karena Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut secara penuh dan belum mengesahkan perlindungan hukum yang komprehensif, negara gagal memenuhi kewajiban tersebut dan terus meninggalkan PRT dalam kondisi risiko tinggi.

Mendesak Negara Membuka Mata Soal Hak PRT

Negara harus bertindak karena tanpa intervensi struktural, PRT akan terus menjadi kelompok pekerja yang dilupakan. Pengesahan RUU PPRT adalah langkah mendesak yang tidak bisa lagi ditunda undang-undang ini akan memberikan dasar hukum bagi kontrak kerja yang jelas, batasan jam kerja, standar upah, cuti, jaminan sosial, serta mekanisme pengawasan terhadap rumah tangga sebagai ruang kerja. Dengan mengacu pada kerangka ILO, pekerjaan domestik harus diperlakukan sebagai sektor ekonomi formal bukan kerja “alamiah” yang boleh berjalan tanpa aturan. Pengesahan RUU PPRT ini bukan hanya simbol keberpihakan negara, melainkan instrumen konkret untuk menutup celah hukum yang selama ini menjadi sumber eksploitasi.

Namun perubahan hukum saja tidak cukup jika negara tidak membuka akses pada mekanisme komplain yang aman. Banyak PRT selama ini memilih diam karena takut kehilangan pekerjaan atau menghadapi ancaman majikan. Negara harus memastikan sistem pelaporan yang bebas intimidasi dan responsif terhadap kebutuhan pekerja domestik yang bekerja di ruang privat. Bersamaan dengan itu, negara harus memimpin transformasi budaya melalui kampanye publik dan pendidikan sosial untuk menghapus stigma “PRT sebagai pembantu”, memulihkan martabat mereka sebagai pekerja, dan menanamkan kesadaran bahwa merawat rumah, anak, dan kehidupan keluarga adalah pekerjaan yang memiliki nilai dan harus dihargai. Agenda perubahan ini bukan sekadar kebijakan, melainkan langkah moral untuk mengakhiri ketidakadilan yang sudah berlangsung terlalu lama.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//