• Berita
  • Ketika KUHAP Baru Justru Memperlebar Ruang Kriminalisasi

Ketika KUHAP Baru Justru Memperlebar Ruang Kriminalisasi

Dari penangkapan hingga restorative justice, LBH Bandung menilai banyak celah yang dapat digunakan untuk kriminalisasi. Hak warga tidak boleh dikorbankan.

Mahasiswi memasang spanduk penolakan KUHAP di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Barat, Bandung, 28 November 2025. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak)

Penulis Iklima Syaira 4 Desember 2025


BandungBergerakPengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memicu protes masyarakat sipil. Regulasi ini menyangkut hak hidup seluruh warga negara, sehingga publik menuntut agar aturan yang dibuat negara tetap berpihak pada sipil.

Rancangan KUHAP sudah lama menjadi sorotan, dan keputusan DPR RI mengesahkannya pada 18 November 2025 kembali memantik kemarahan publik. Aksi protes pun meletup di berbagai daerah.

Direktur LBH Bandung, Heri Pramono, menegaskan bahwa warga berhak memahami dan mengkritisi KUHAP. Dalam diskusi publik bertajuk “Memperjuangkan Hak Warga Negara Setelah KUHP dan KUHAP Disahkan”, Heri mengingatkan bahwa KUHAP semula dirancang untuk mencegah kesewenang-wenangan, namun semangat itu kian pudar.

Ia membandingkan KUHAP dengan Wetboek van Strafvordering warisan kolonial yang justru lebih ketat dalam membatasi kewenangan penegak hukum.

“[Wetboek van Strafvordering] itu prosedural, itu formal banget. Yang di mana tujuannya adalah untuk agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Tapi ketika ada KUHAP ini yang baru, kami menilai ini mendorong aparat penegak hukum untuk bertindak sewenang-wenang justru,” tutur Heri, di Perpustakaan di Bunga di Tembok Kamis, 27 November 2025. 

Heri menilai sejumlah ketentuan dalam KUHAP baru berpotensi merebut hak warga negara karena membuka ruang pemidanaan yang tidak berpihak kepada sipil.

“Kalau misalkan KUHAP ini hanya ditujukan sebagai alat kriminalisasi saya gak terbayang gitu nanti kemudian penjara penuhnya akan seperti apa,” kata Heri.

Ia memaparkan sederet persoalan: pasal penangkapan dan penahanan yang terlalu longgar; perluasan kewenangan penjebakan; peluang penangkapan melebihi batas waktu; hingga aturan penggeledahan, penyadapan, dan pemblokiran yang membuka pintu subjektivitas aparat.

Masalah lain muncul pada mekanisme damai (Pasal 74A), restorative justice (Pasal 79), serta penempatan seluruh PPNS di bawah koordinasi polisi yang menjadikan Polri lembaga superpower.

“Harusnya polisi yang diawasi,” tegas Heri.

Ia juga menyoroti pembatasan bantuan hukum, lemahnya perlindungan bagi kelompok rentan, minimnya jaminan pemulihan bagi korban salah tangkap, serta potensi laporan masyarakat diabaikan.

Heri kemudian menyinggung hak untuk diam sebagaimana dikenal dalam Miranda Rights di Amerika Serikat. Menurutnya, prinsip itu relevan diterapkan di Indonesia.

“Teman-teman punya hak untuk, silent.”

Ia mengkritik praktik penangkapan yang sering dilakukan tanpa penjelasan memadai, termasuk abainya aparat memberi tahu hak dasar tersangka.

“Polisi di luar negeri itu biasanya suka menanyakan kamu ada pengacaranya? misalnya ada, ditungguin sampai 3 hari 3 malam.”

Di akhir paparannya, Heri menegaskan bahwa perlindungan hak warga tidak hanya bergantung pada teks undang-undang, tetapi juga pada etika aparat penegak hukum.

“Hak itu tidak selalu dalam Undang-undang, hak itu prinsip, ada hak yang melekat dalam diri kita."

Baca Juga:KUHAP Disahkan, Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil Telah Memperingatkan Masih Banyak Pasal Bermasalah
Terus Melek untuk Mengawal KUHAP, Agar Wajah Hukum Lebih Humanis Berkat Partisipasi Publik

Sebelumnya, Selasa, 18 November 2025, puluhan mahasiswa Universitas Islam Bandung (Unisba) menggelar unjuk rasa menolak pengesahan KUHAP di pelataran Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu, 19 November 2025.

Esoknya, Kamis, 20 November 2025 mahasiswa Bandung dari berbagai kampus, UPI, Unpas, Ikopin, YPKP, Ekuitas menuntut agar pengesahan KUHAP dibatalkan. Mereka menilai pengesahan KUHAP ini disahkan secara terburu-buru di tengah gelombang protes penolakan oleh masyarakat sipil. 

Ridho Dawam, Presiden Mahasiswa dari Universitas Pasundan (Unpas) mengatakan dalam aksi ini mereka mendesak DPR RI untuk segera membatalkan atau bahkan merevisi sejumlah pasal yang dianggap berbahaya. Dia juga mendesak agar DPR RI melakukan transparasi dalam hal pengesahan RUU dan tak terburu-buru dalam mengesahkannya. 

“Kebebasan dan juga tentang hak-hak sipil yang hari ini terus diringkut oleh kekuasaan lewat pisau-pisaunya bernama hukum,” ujarnya, di sela aksi.

Tanggal 28 November 2025, mahasiswi dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia juga turun ke jalan untuk menuntut pemerintah membatalkan pengesahan KUHAP. Mereka beremonstrasi di depan gedung DPRD Provinsi Jawa Barat.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//