Merangkul Keberagaman Identitas Gender, Mengadang Raperda Diskriminatif di Bandung
Raperda berpotensi diskriminatif di ambang pengesahan. Bermasalah dalam legitimasi hukum, dikhawatirkan akan menguatkan agenda represif terhadap kelompok minoritas.
Penulis Fitri Amanda 5 Desember 2025
BandungBergerak – Berawal dari tukar cerita dalam sebuah kegiatan komunitas lintas agama, seorang transman menemui pendeta Obertina Johanis untuk melakukan konseling di kantor Woman Crisis Center (WCC) Pasundan Durebang, Jalan Dewi Sartika, Kota Bandung. Krisis memahami identitas memenuhi kepala si orang muda. Ia merasa semakin tidak nyaman terlahir dalam tubuh seorang perempuan.
Di ruang konseling yang tidak seberapa luas, kurang lebih 3 x 6 meter persegi, yang ada di kompleks Sinode Gereja Kristen Pasundan (GKP) itu, si transman muda tersebut menceritakan bagaimana ia terganggu dengan kewajiban dirinya mengenakan rok di setiap jenjang sekolah, dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Ketidaknyamanan memuncak ketika ia mulai mengalami menstruasi.
Sang transman muda, yang lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga Kristen religius, merasa sangat asing dengan dirinya sendiri. Bertahun-tahun pergulatan identitas ini ia simpan sendirian. Baru di jenjang pendidikan tinggi, ia menemukan ruang yang lebih terbuka untuk membicarakan perbedaan.
“Dia kayaknya mikir ‘nggak bisa nih sendirian lagi’ gitu ya… Nah, dia (lalu) minta tolong didampingi,” ucap Obertina yang masih mengingat dengan jelas pertemuan-pertemuan dengan kliennya sekitar tujuh tahun lalu itu, ditemui Rabu, 19 November 2025.
Proses pendampingan berlangsung lebih dari satu tahun. Perlahan, sang transman muda dan keluarganya bisa menerima identitas minoritas ini. Perjalanan spiritualnya juga dipulihkan. Tak hanya memberi pendampingan konseling, Obertina melakukan dialog langsung dengan pendeta di gereja tempat kliennya beribadah. Dan komitmen itu berhasil diperoleh. Sang pendeta menjamin bahwa sang transman muda akan tetap diterima beribadah di gerejanya.
Menjadi seorang konselor sejak 2013, Obertina mengaku sering menyaksikan bagaimana kelompok ragam gender dan seksualitas kerap menjadi sasaran kekerasan, sebagaimana dialami si transman muda yang ia dampingi. Bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga tekanan verbal dan psikis berupa paksaan untuk kembali ke identitas yang bukan milik mereka. Tidak jarang mereka juga menerima perundungan dari keluarga dan komunitas agama yang seharusnya menjadi pelindung.
Obertina aktif terlibat dalam edukasi mengenai ragam Orientasi Seksual, Identitas Gender, Ekspresi Gender, dan Karakteristik Seksual (SOGIESC) di kalangan pendeta dan jemaat untuk meningkatkan pemahaman mereka. Baginya, perbedaan orientasi seksual dan identitas gender layaknya perbedaan fisik seperti warna kulit atau jenis rambut. Ia tidak boleh menjadi alasan tindakan diskriminatif. Kawan-kawan ragam gender dan seksualitas memiliki hak asasi yang sama untuk dihormati dan dilindungi oleh negara.
Menurut Obertina, diskriminasi sering kali lahir dari ketidaktahuan dan bias yang sudah mengakar di dalam masyarakat, termasuk di kalangan pemuka agama. Ia berharap para pemuka agama dan pemangku kebijakan dapat membuka diri untuk belajar sebelum mengeluarkan penilaian negatif atau kebijakan terkait isu gender dan seksualitas. Agama seharusnya menjadi ruang aman bagi semuanya tanpa kecuali.
“Jadi jangan menolak karena nggak tahu apa-apa gitu. Atau (jangan) penolakan itu lahir dari stigma-stigma tadi, bias-bias yang nggak dikonfirmasi,” tuturnya.
Secara khusus, Obertina menyoroti peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok minoritas gender dan seksual. Menurutnya, aturan-aturan semacam itu tidak seharusnya ada karena mengatur ranah privat dan justru dapat berpotensi memicu kekerasan serta pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Komunitas ragam gender dan seksualitas diposisikan sebagai kelompok yang rentan mengalami diskriminasi.
Terkait peraturan daerah diskriminatif, Jawa Barat memiliki riwayat panjang. Pada 2019, Setara Institute menyebut provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia ini memiliki 91 peraturan yang berpotensi diskriminatif terhadap kelompok minoritas, termasuk perempuan, agama minoritas, dan minoritas seksual. Pada 2024, Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta (Jakarta Feminist) meluncurkan Peta Peraturan Daerah Diskriminatif dan mencantumkan 177 perda di sana. Jawa Barat termasuk dalam kelompok provinsi dengan jumlah perda terbanyak bersama Sumatra Barat, Sumatra Utara, Bengkulu, dan Kalimantan Selatan.
Di kawasan Bandung Raya, wacana menggulirkan perda diskriminatif menguat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 29 Desember 2023, Pemerintah Kabupaten Bandung menetapkan Perda Nomor 14 Tahun 2023 tentang Pencegahan Perilaku Penyimpangan Seksual. Di tengah proses pembuatan peraturan ini, Bupati Bandung Dadang Supriatna menyatakan secara terbuka pelarangan keberadaan kelommpok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). “Maaf ya, di Kabupaten Bandung ini dilarang keras untuk LGBT. Clear, ya,” ujarnya, Minggu, 30 Juli 2023.
Di Kota Bandung, wacana serupa juga menggelinding. Terkini, pemerintah dan DPRD Kota Bandung sedang membahas Rancangan Perda tentang Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Beresiko dan Penyimpangan Seksual. Sudah ada Panitia Khusus (Pansus) yang bekerja di lembaga legislatif. Rancangannya sudah beredar dan memunculkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, di kalangan kelompok minoritas.
“Jadi ketakutannya akan muncul. Pada akhirnya, kita enggak bisa berekspresi secara bebas,” tutur Hani Yuliandrasari, kepala Satuan Pencegahan dan Penanganan Isu Kritis Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dalam diskusi di Bandung, Sabtu, 27 September 2025.

Merangkul, Bukan Mendiskriminasi
Seperti Obertina, Rela Susanti, perempuan penghayat kepercayaan yang juga ketua Puanhayati Jawa Barat, memiliki sikap jelas terhadap keberagaman gender dan identitas seksual. Baginya, orientasi seksual dan ekspresi gender minoritas bukanlah suatu kelainan. Justru penjaminan hak-hak mereka patut untuk diperjuangkan.
Rela secara khusus menyoroti akses beribadah. Di sepanjang pengalamannya bergulat dalam isu ini, dia mengaku tidak jarang menemui kawan-kawan LGBTIQ+ yang merasa tersingkir dari rumah ibadah dan bahkan dari agama yang mereka anut sejak lahir. Padahal, menurutnya, hubungan seseorang dengan Tuhan bersifat sangat pribadi dan tidak dapat diintervensi. Rela menekankan pentingnya peran para tokoh utama untuk tidak menghakimi dan meninggalkan umat dari kelompok minoritas.
“Jangankan Tuhan, kita ambil contoh matahari ya. Matahari kan menyinari bumi ini apakah memilah-milah? Hanya menyinari orang baik?” ucapnya.
Praktisi pendidikan sekaligus pengelola salah satu pesantren di Bandung, Wahidah Rosyadah berpendapat, setiap orang punya cara tersendiri untuk bertemu dengan Tuhannya. Ada yang mencari Tuhan dengan menjajaki satu persatu agama, sebelum akhirnya menetap di satu agama di mana ia merasa paling intim dengan Tuhan. Persoalannya, kawan-kawan ragam gender dan seksualitas kerap mendapatkan diskriminasi di rumah ibadah. Akhirnya, upaya mereka untuk bertemu dan menjalin hubungan dengan Tuhan terhalangi.
Menurut Wahidah, penerimaan dari institusi agama akan membuat kawan-kawan ragam gender dan seksualitas menemukan “kebenaran”. Jika pemuka agama menghakimi, tidak mau menerima dan merangkul, maka sudah hilang satu peran yang mestinya memberikan pemahaman tentang kebenaran. Dia mengingatkan, sebagaimana nama Islam yang memiliki arti damai, seruan-seruan juga harus dilakukan dengan cara-cara yang damai.
“Kembali ke namanya saja sudah damai, kenapa kita mengajarkannya tidak dengan damai?” tuturnya ketika ditemui Rabu, 15 Oktober 2025.
Wahidah menegaskan, tindakan diskriminasi mutlak tidak boleh dilakukan. Prinsip menghargai perbedaan harus dilakukan ketika menghadapi seluruh sisi keberagaman, baik perbedaan suku, mazhab, agama, maupun gender dan seksualitas. Kemunculan Perda anti-LGBT di Jawa Barat, menurutnya, masih belum menyentuh persoalan utama yang harus diatasi. Penamaan “anti-LGBT” dirasa keliru karena menghakimi. Alih-alih menyelesaikan persoalan, dari penamaannya saja regulasi ini akan berpotensi menimbulkan masalah baru.
“Kita memberikan ruang kepada teman-teman kita ini untuk bisa lebih memahami. Bukan diobati kali ya, kan bukan penyakit,” ujarnya.
Pandangan yang tak jauh beda mengenai kelompok minoritas gender dan seksual disampaikan oleh Wakil Katib Syuriyah Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat, Ramdan Fawzi. Ia menyebutkan, peraturan apapun yang dibuat harus bersifat universal, mengayomi seluruh kelompok, tidak mendiskriminasi, dan tujuannya berpautan dengan kemaslahatan masyarakat.
Menurut Ramdan, semua bentuk diskriminasi harus ditolak. Begitupun yang dialami kawan-kawan minoritas gender dan seksual. Ia menilai, ketika queer datang ke rumah ibadah, justru harus dipakai untuk memberi pembinaan. Sebab ketika queer beribadah, artinya ia masih memiliki kesadaran tentang Tuhan.
“Justru ketika kita sudah mengidentifikasi dan mengetahui bahwa itu (queer), ya jangan dikucilkan, jangan disuruh (pergi),” kata alumnus UIN Sunan Gunung Djati Bandung ini.
Menurut Ramdan, mestinya agama, rumah ibadah, dan pemuka agama berperan merangkul kawan-kawan minoritas gender dan seksual. Bagaimanapun, agama Islam diyakini mampu memberi kemaslahatan untuk siapa saja dalam segala situasi dan kondisi.
“Tugas kita menyampaikan dan mengajak, bukan untuk menyadarkan. Menyadarkan (tugas) Tuhan, enggak usah kita. Dakwah itu mengajak, tabligh itu menyampaikan dengan strategi yang semaksimal mungkin kita paham dan kita tahu. Adapun hasilnya ya sudah silakan kepada Allah,” katanya.
Ramdan juga menambahkan, perilaku diskriminasi hingga persekusi kepada kelompok minoritas gender dan seksual merupakan tindakan keliru dan di luar ajaran agama. Allah dalam Al-Quran sudah memberikan kemuliaan kepada seluruh manusia, bahkan termasuk Firaun, manusia yang disebut paling laknat.
“Pandanglah dengan pandangan kasih sayang. Mereka juga sama-sama makhluk Tuhan, manusia seperti kita,” ucapnya.

Baca Juga: Menanti Agama Memeluk Kawan-kawan Ragam Gender dan Seksualitas
Minoritas Gender dan Seksual Dihantui Rancangan Peraturan Diskriminatif
Klaim Melindungi Masyarakat
Menyusul beberapa daerah lain di Jawa Barat, saat ini DPRD dan Pemerintah Kota Bandung sedang merampungkan proses pengesahan Raperda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual. Wacana itu muncul berulang kali, proses legislasinya dimulai lewat penetapan Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) 2025 melalui rapat paripurna DPRD Kota Bandung pada 26 November 2024. Ada 13 raperda yang akan dibahas pada tahun 2025, salah satunya mengenai pencegahan dan pengendalian perilaku seksual berisiko dan penyimpangan seksual.
Dalam rapat paripurna 9 September 2025 yang membahas Propemperda Tahap II, DPRD Kota Bandung empat usulan raperda dari Pemerintah Kota Bandung, termasuk Raperda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual. Wali Kota Bandung Muhammad Farhan ketika itu menjelaskan bahwa raperda tersebut dibuat untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif perilaku seksual berisiko, baik fisik, mental, maupun sosial.
Pada tanggal 7 Oktober 2025, Fraksi PKS menyampaikan dukungan secara prinsip terhadap penyempurnaan judul raperda agar lebih menyeluruh, tidak hanya menyoroti isu penyimpangan seksual, tetapi juga memperhatikan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat dan ketahanan keluarga.
Fraksi PKS menilai perda perlu segera disahkan sehingga memberikan manfaat nyata bagi warga dan mampu memperkuat terciptanya Kota Bandung yang tertib, tenteram, dan sejahtera, sejalan dengan visi Bandung Utama. Unggul, Terbuka, Amanah, Maju, dan Agamis.
“Jadi bukan istilah ‘penyimpangan seksualnya’ yang dilanggar, tapi jika perilaku itu melanggar hak orang lain, moral publik, atau mengancam keamanan, maka ia bertentangan dengan nilai-nilai yang diamanatkan UUD 1945,” demikian pandangan Fraksi PKS, dikutip dari rilis resmi Humas DPRD Kota Bandung.
Dalam rapat yang sama, Fraksi PDI Perjuangan menyatakan belum adanya batas yang tegas antara “pencegahan perilaku seksual berisiko” (aspek kesehatan dan sosial) dan “penyimpangan seksual” (aspek moral dan hukum).
Dalam tanggapannya pada 9 Oktober 2025, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menyebut bahwa raperda ini penting untuk mendukung tindakan dan upaya pemerintah dalam pencegahan dan pengendalian perilaku seksual berisiko. Ia juga menyatakan bahwa rancangan sudah melalui proses “harmonisasi dan sinkronisasi dengan peraturan perundang-undangan”. Selain itu, Farhan juga memaparkan rencana Pemkot Bandung merancang dan menyusun kurikulum berbasis budaya lokal serta penguatan norma agama dan norma sosial sejak dari pendidikan dasar.
Dalam rapat paripurna yang sama, dibentuk Panitia Khusus (Pansus) yang diketuai Radea Respati Paramudhita dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar). BandungBergerak telah meminta kesediaan Radea memberikan pernyataan mengenai proses penyusunan raperda, tetapi empat pesan permohonan wawancara pada pekan kedua Oktober 2025 tak kunjung direspons.
Satria Agusta, Penyusun Risalah Sekretariat DPRD Kota Bandung dan Staf Pansus Ranperda menyebutkan, pimpinan Pansus belum berkenan memberikan pernyataan sebab saat ini pansus masih di tahap ekspose awal, belum melakukan pembahasan substansial yang lebih jauh.
“Dari pimpinan belum bersedia memberikan statement karena masih dalam tahap awal pembahasan,” ungkap Satria melalui pesan WhatsApp Senin, 10 November 2025.
Yoel Yosaphat, Ketua Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kota Bandung sekaligus anggota Pansus, menyebutkan, pansus sedang menyusun ulang dari awal, pasal per pasalnya. Saat ini proses penyusunan ulang sudah sampai di pasal 8 dan 9. Dalam pembahasannya, terdapat perbedaan pandangan di dalam pansus mengenai definisi dan jenis-jenis perilaku seksual berisiko dan menyimpang yang masuk ke dalam peraturan.
“Beberapa pasal udah clear (jelas) dan lain-lain seperti definisi, lingkup kerja, dan lain-lainnya sudah. Tinggal masuk pendefinisian dari beberapa hal yang nanti itu kan baru pasal 8 dan 9,” ungkap Yoel kepada BandungBergerak Selasa, 11 November 2025.
Pasal 8 dan 9 dalam draft raperda menyebutkan bentuk-bentuk perilaku seksual berisiko dan penyimpangan seksual. Draft pasal 8 perilaku seksual berisiko mulai dari berhubungan seks dengan bukan pasangan tetap tanpa pelindung, berganti-ganti pasangan seksual, hingga aktivitas seksual pada penggunaan narkoba suntikan dengan peralatan bersama. Sementara draft pasal 9 menyebut bentuk-bentuk perilaku penyimpangan seksual, mulai dari pengintip, pamer alat vital, hingga seks dengan hewan.
Yoel menerangkan, di dalam pembahasan, masing-masing anggota menggunakan pendekatan yang berbeda. Ada yang menggunakan kacamata ilmu kedokteran atau kesehatan, ada juga yang mengusung perspektif Pancasila maupun merujuk pada hukum internasional. Ia membeberkan, pembahasan di dalam pansus berlangsung cukup sengit.
“Nah ini yang kita belum sampai sana. Jadi karena kita juga belum FGD (diskusi kelompok terpumpun) untuk mengundang mereka. Karena ada yang pro hak asasi: ‘udah enggak usah masukin ini lesbian homo’. Ada juga yang kontra: ‘nanti ini bisa mengubah ke depan masyarakat (jadi) permisif, lama-lama jadi tidak bisa dibendung, lebih banyak dan mempengaruhi generasi muda’,” ucapnya.
Yoel menjelaskan, Fraksi PSI Kota Bandung menaruh fokus kepada korban kekerasan seksual. Menurutnya, kasus-kasus kekerasan seksual punya keterhubungan spesifik dengan raperda ini, yaitu perilaku kekerasan seksual termasuk ke dalam perilaku seksual yang berisiko dan menyimpang. Makanya perlu dibuat regulasi khusus untuk mengatur pencegahan, mengendalikan risiko, termasuk aspek pemulihan korban kekerasan.
“Bagaimana kita bisa mencegah yang pertama kalau misalnya basis data yang terjadi di Kota Bandung, kekerasan seksual, HIV dan segala macam itu tuh kita berusaha agar bisa dicegah. Setelah itu juga pemulihan dari korban dan juga yang lain-lainnya adalah bagaimana kita tetap memegang norma hak asasi,” jelasnya.
Diakui Yoel, sejauh ini Pansus belum melibatkan kelompok masyarakat sipil. Masing-masing fraksi masih memiliki pandangan berbeda terkait bagaimana pelibatan masyarakat maupun kapan tepatnya melibatkan kelompok masyarakat sipil.

Menguatkan Agenda Represif, Bermasalah dalam Legitimasi Hukum
Raperda yang sedang dibahas dipandang komunitas sebagai ancaman baru yang memperburuk situasi yang sudah lama sulit. Selama ini, diskriminasi sosial dan tekanan dari berbagai lapisan masyarakat sudah cukup membuat komunitas hidup dalam zona merah. Dengan adanya rencana perda ini seolah menambahkan payung hukum untuk berbagai tindakan represif kepada kelompok LGBTIQ+.
Bintang (bukan nama sebenarnya) berpendapat, dengan ada atau tidaknya perda mereka tetap akan menerima tindakan represif. Namun pengesahan perda berpotensi melegitimasi tindakan-tindakan diskriminatif. Akan ada banyak pihak yang merasa memiliki landasan hukum untuk menggulirkan agenda represif terhadap komunitas LGBTIQ+.
“Ya sekarang aja (situasinya) udah buruk, terus ketambahan perda ya sebenarnya jadi makin buruk sih,” ucapnya.
Situasi yang semakin tidak aman ini memaksa komunitas-komunitas LGBTIQ+ untuk mengubah strategi bertahan mereka. Salah satunya, fokus pada penguatan keamanan holistik dan digital. Sistem keamanan yang sudah ada harus diperkuat karena skala risiko meningkat. Selain itu, Bintang juga menaruh perhatian besar pada ruang aman yang harus dijaga agar mereka tetap dapat melakukan aktivitas tanpa rasa cemas dan takut dipersekusi.
Kemunculan Raperda Pencegahan dan Pengendalian Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual memaksa Bintang dan kawan-kawan komunitasnya untuk memperkuat jejaring advokasi. Meskipun komunitas yang ia tergabung di dalamnya bukanlah organisasi yang bergerak di advokasi, mereka merasa perlu untuk terus hadir dalam konsolidasi hak asasi manusia (HAM) agar suara komunitas tidak tenggelam. Isu-isu yang menjadi perhatian Bintang dan komunitas semakin interseksional, tidak lagi berkutat pada topik-topik homoseksualitas atau HIV/AIDS, tetapi juga mulai menyentuh isu perempuan dan kelompok LGBTIQ+ yang lebih jarang terlihat.
Bulan, salah satu anggota kelompok LGBTIQ+ lainnya, mengatakan bahwa tokoh agama dan politik juga memegang pengaruh dalam membentuk penerimaan masyarakat terhadap perbedaan gender dan seksualitas. Sayangnya, masih banyak tokoh agama yang membawa narasi-narasi diskriminatif dan konservatif yang semakin mengeraskan sikap masyarakat.
“Orang tuh nggak langsung tahu dari perda gitu,” ungkapnya. “Sebenarnya orang-orang itu lebih banyak terpengaruh sama tokoh-tokoh masyarakat gitu kan.”
Koalisi Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) menilai proses pembahasa Raperda Pencegahan dan Pengandilan Perilaku Seksual Berisiko dan Penyimpangan Seksual di Kota Bandung tidak transparan dan minim partisipasi publik. Tidak ada publikasi naskah akademik dan pelibatan kelompok masyarakat sipil. Penyediaan data dasar penyusunannya patut dipertanyakan. Situasi ini dianggap melanggar asas partisipasi publik.
KAIN juga menyoroti dua permasalahan dalam raperda. Pertama, pengelompokan orientasi seksual sebagai “penyimpangan seksual” yang sejajar dengan pedofilia dan inses. Hal tersebut bertolak belakang dengan pedoman kesehatan internasional dan PPDGJ III Kemenkes RI yang menyatakan bahwa orientasi seksual bukanlah sebuah gangguan. Kedua, mekanisme rehabilitas dan pengawasan yang diusulkan juga berpotensi menjerumuskan pada praktik terapi konversi dan membuka ruang persekusi terhadap komunitas LGBTIQ+.
Dalam rilisnya pada 5 November 2025, KAIN menuntut agar seluruh penyebutan orientasi seksual sebagai penyimpangan dihapus, dan pembahasan raperda fokus pada pencegahan kekerasan dan eksploitasi yang nyata. Mereka juga menuntut agar proses penyusunan dilakukan ulang dengan lebih transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat sipil, terutama kelompok rentan.
Pengajar Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung Valerianus B. Jehanu menyatakan, peraturan-peraturan daerah yang secara eksplisit ditujukan untuk membatasi atau menertibkan kelompok ragam gender dan seksualitas, bermasalah dari sisi legitimasi hukum. Secara konstitusional maupun menurut hukum Internasional, aturan yang bersifat diskriminatif terhadap kelompok rentan, termasuk LGBTIQ+, tidak memiliki dasar yang sah.
Di tingkat internasional, Indonesia terikat pada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Prinsip non-diskriminasi ini merupakan prinsip yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Karena itu, perda Anti-LGBT pada dasarnya bertentangan dengan konstitusi serta komitmen indonesia pada hukum internasional.
“Kita (negara) sudah jadikan itu Undang-Undang kan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Itu pengertian tentang kebijakan non-diskriminasi terhadap ya atas dasar apapun, atau kalau di ICCPR disebutnya any other status, itu harus dimaknai termasuk untuk penegasan untuk tidak didiskriminasi berdasarkan orientasi seksual,” tutur Valeri.
Dijelaskan Valeri, fenomena pembuatan perda diskriminatif ini mengakar pada perjalanan panjang sejarah Indonesia. Setelah reformasi, otonomi daerah membuka ruang bagi berbagai kelompok untuk mengekspresikan ideologinya masing-masing. Termasuk kelompok-kelompok konservatif yang sebelumnya menerima tekanan oleh rezim Orde Baru. Ketika mereka mendapatkan ruang, kontestasi pun terjadi.
Akibatnya, banyak perda yang membatasi kelompok-kelompok tertentu, termasuk LGBTIQ+, yang sering kali dibenarkan dengan alasan “muatan lokal”. Masalahnya, Valeri menegaskan, muatan lokal tidak boleh diartikan sebagai hak sebuah daerah untuk membatasi HAM. Dalam bab HAM dalam konstitusi, negara terinspirasi dari dokumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Oleh sebab itu perlindungan terhadap setiap individu dari diskriminasi adalah prinsip yang fundamental yang tidak dapat diganggu gugat.
Valeri mengajak untuk tidak melihat HAM dan nilai-nilai agama sebagai dua hal yang bertolak belakang. Hak beragama dan hak untuk bebas dari diskriminasi adalah hak fundamental yang posisinya sejajar. “Yang terpenting adalah prinsip proporsionalitas dan saling menghormati,” katanya.
Valeri juga menekankan bahwa banyak kebijakan lokal dan tindakan aparat justru keliru dalam memahami orientasi seksual. Orientasi seksual bukanlah kejahatan. Selama tidak ada unsur kekerasan, paksaan, atau eksploitasi, maka hal tersebut bukan ranah hukum pidana. Upaya kriminalisasi terhadap ekspresi identitas tidak sesuai dengan prinsip dasar hukum pidana modern, terutama asas legalitas. Razia dan penangkapan yang mendasarkan diri pada pasal kesusilaan atau peraturan ketertiban umum tanpa dasar pidana yang jelas, tidak dapat dibenarkan dalam kerangka HAM.
***
*Tulisan ini merupakan bagian dari kolaborasi liputan bertema Agama Ramah Keberagaman Gender dan Seksual antara BandungBergerak dengan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp kami

