• Liputan Khusus
  • Minoritas Gender dan Seksual Dihantui Rancangan Peraturan Diskriminatif

Minoritas Gender dan Seksual Dihantui Rancangan Peraturan Diskriminatif

Minoritas gender dan seksual hidup dalam kultur yang cenderung menstigma. Nasib mereka semakin rentan dengan hadirnya peraturan-peraturan diskriminatif.

Ilustrasi. Diskriminasi terhadap minoritas gender kerap terjadi di Indonesia. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id).

Penulis Awla Rajul29 Juli 2024


BandungBergerak.idBel sekolah berbunyi. Tapi Liza (bukan nama sebenarnya) harus menunda pulang. Ia dipanggil menghadap guru bimbingan konseling (BK) lantaran dilaporkan oleh empat teman dekatnya karena menyukai murid perempuan lainnya. Di rumah, Liza habis-habisan dimarahi kedua orang tuanya.

Momen itu terjadi saat Liza duduk di bangku kelas 3 SMP. Kepada empat teman dekatnya, Liza sudah berterus terang sejak kelas 1 SMP bahwa ia tidak tertarik kepada laki-laki, melainkan perempuan. Ia menaruh batas agar tidak tertarik dengan teman sendiri. Liza juga sudah mewanti-wanti temannya supaya tidak melaporkannya. Ia bisa menebak, bencana macam apa yang akan ia hadapi jika kebenaran itu terkuak.

“Jauh sebelum aku dilaporkan, aku bener-bener mendoktrin mereka kayak ‘jangan ya, belum tentu apa yang kalian lakukan untuk melaporkan dan sebagainya itu bakal berdampak baik buat aku’,” demikian Liza (21 tahun) membuka obrolan panjang saat ditemui di salah satu kafe di Jalan Jakarta, Jumat, 21 Juni 2024.

Keempat temannya itu menangis melihat Liza berhadapan dengan guru BK, lalu dimarahi di rumah. Mereka meminta maaf. Beras sudah menjadi lontong, perlahan Liza menjauhi keempat temannya itu. Pascadilaporkan, Liza benar-benar dikekang orang tuanya. Ia dilarang keluar. Orang tuanya kerap menaruh curiga. Hubungannya dengan orang tua rusak.

Kini, Liza mahasiswa semester akhir di salah satu kampus negeri di Bandung. Secara natural, ia mengaku tertarik kepada perempuan sejak kecil. Ia mulai meyakini orientasi seksualnya sebagai lesbian sejak duduk di bangku sekolah dasar.

“Kalau ngelihat perempuan itu lebih menarik daripada laki-laki,” ucapnya.

Sekitar sebulan sebelum menemui BandungBergerak, entah oleh siapa, Liza dilaporkan kepada dekannya. Liza kebingungan. Sebab ia tidak pernah terbuka soal orientasi seksualnya, ia juga berpenampilan ‘seperti perempuan’ kebanyakan. Hanya beberapa yang sangat ia percayai yang tahu.

“Ada desakan, kalau misalkan aku tidak berhenti seperti itu maka aku akan di-DO (drop out). Ketika semester delapan, lagi nyusun skripsi aku akan di-DO. Itu yang bikin stress sih,” matanya membelalak sambil geleng-geleng. Rasa kesal terdengar jelas dari nada bicaranya saat menyebutkan skripsi dan DO.

Liza mengiyakan saja mendengar nasihat dari sang dekan: bahwa lebih baik fokus ke diri sendiri, karier, dan berhenti menyukai perempuan. Waktu itu, Liza juga sempat menyampaikan, atas apa yang ia alami belakangan: diketahui seorang lesbian dan dilaporkan telah membuatnya mati rasa. Ia tidak punya perasaan apa-apa sejauh ini kepada perempuan, tapi tidak membuatnya tertarik kepada laki-laki.

Liza tidak bisa berbohong kalau ia kecewa. Sebab, bagaimana bisa orang yang bahkan tidak ia kenal melaporkannya dan dia seolah ingin menyetir jalan hidup dengan dalih itu merupakan langkah terbaik. Mirisnya, sang dekan lebih mempercayai si pelapor yang notabenenya adalah “pelaku”, daripada Liza yang menjadi “korban”. Laporan yang berujung ancaman DO ini membuatnya tertekan dan menjelma ancaman kedua dalam hidupnya. Cerita ini seperti mengulang kejadian saat dia masih SMP.

“Mereka menganggap apa yang mereka pikirkan bahwa aku harus dilaporkan adalah alasan yang benar untuk aku jadi lebih baik. Padahal itu yang benar-benar merusak hidupku. Aku jadi lebih suka menyakiti diri sendiri,” kata Liza.

“Justru orang-orang yang menganggap diri mereka benar yang membuat aku jadi menyakiti diri aku sendiri. Kayak aku jadi menyesal, kenapa hidup aku seperti ini? Salahkah aku hidup? Kenapa aku dilahirkan?” kata dia.

Meski begitu, Liza bersyukur tidak pernah mendapatkan diskriminasi saat mengakses layanan umum maupun rumah ibadah. Ia menjalani pendidikan dan belajar mengaji dengan lancar, kecuali dua kejadian tadi. Orientasi seksualnya ia kunci rapat-rapat. Ia juga membatasi diri dengan siapa saja ia boleh berpacaran, tidak serta-merta dengan siapa pun.

Menjadi minoritas seksual dan gender di Bandung bukan jalan mudah. Lingkungan sekitar memang menjadi kendala utama saat identitas diketahui. Tapi di luar itu, ada wacana peraturan daerah yang dikhawatirkan akan menjadi senjata diskriminasi, mempertebal stigma, hingga berujung persekusi.

Ilustrasi. Kelompok LGBT merupakan fakta dalam kehidupan sosial. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak)
Ilustrasi. Kelompok LGBT merupakan fakta dalam kehidupan sosial. (Ilustrator: Alfonsus Ontrano/BandungBergerak)

Dicela di Rumah Ibadah

Pengalaman pahit menjadi seorang minoritas seksual dan gender juga pernah dialami oleh dua warga Bandung lainnya, yaitu Ricky (27 tahun) seorang minoritas seksual dan D3V (30 tahun) seorang minoritas gender.

Sejak taman kanak-kanak, Ricky sudah tertarik dengan laki-laki. Ia merasa aneh dengan dirinya dan belum mengerti. Saat SD, ia mengaku sangat gemulai. Beruntung, teman-teman sekolahnya mendukung dan mau merangkulnya. Ia diajak bermain bola dan jenis permainan laki-laki lainnya. Barulah saat SMP, ia bersahabat dengan empat orang, yang semuanya mengidentifikasi diri menyukai laki-laki.

“Berempat ini sama (minoritas seksual) dan aku juga merasa aman di situ. Tapi belum bisa kayak mengiyakan kami berempat itu minoritas seksual. Karena zaman dulu itu kan masih tabu banget hal yang kayak gitu. Apalagi LGBT gitu, ngerasa, apaan sih,” cerita Ricky saat ditemui di kawasan Ciwastra, Sabtu, 22 Juni 2024.

Ricky sangat bersyukur sebab sejak kecil, keluarganya cukup suportif dan mau menerima keadaannya. Ia juga tidak pernah mengalami kesulitan mengakses layanan umum hingga sekarang, sebab ia bisa mengendalikan cara berekspresi di depan publik. Tetapi, beberapa pengalaman tentu menyayat hati dan membekas hingga kini.

Pernah waktu SMP, Ricky kena doxing salah satu temannya yang mengungkapkan orientasi seksual Ricky ke seluruh kontak Facebook. Akibatnya ia distigma, mengalami diskriminasi, hingga dilempari setiap kali melewati beberapa temannya di sekolah. Informasi ini lantas menyebar, sampai ia kerap digosipkan di warung dekat rumahnya.

“Jadi kalau nenek aku ngedengerin, 'ceunah bener si Ricky jeung lalaki deui? Itu benar si Ricky suka dengan lelaki? Nenek aku terus bilang, 'ah bae jeung lalaki da gak akan hamil'. Terus nenek aku tu deket sama pasangan aku,” ceritanya antusias yang sangat bersyukur memiliki keluarga yang mendukungnya.

Hingga SMP, Ricky rutin belajar mengaji di masjid dekat rumahnya. Ekspresi gendernya yang gemulai, membuatnya sering kali ditegur oleh marbot masjid agar tidak berperilaku seperti perempuan. Karena kerap ditegur ia lantas malu dan malas datang ke masjid. Akumulasi dari banyaknya diskriminasi yang ia alami, ia harus ngekos sejak kelas 3 SMP hingga lulus SMA agar terhindar dari lingkungan rumahnya.

Beda lagi yang dialami D3V. Pada rentang tahun 90-an, saat kartun Sailor Moon tengah hits di televisi, orang tuanya selalu memanggil, mengingatkan kalau kartun favoritnya telah dimulai. Orang tuanya sebenarnya sejak lama sudah tahu kalau anaknya berbeda. Tetapi masih ‘mencoba’ menjejali D3V mainan mobil-mobilan, yang ternyata tidak cocok dengannya.

“Tapi waktu itu mah ada berbie-berbian, aku lebih suka yang kayak gitu. Terus main bekel, congkak, main karet dulu tu. Jadi kalau menemukan jati diri ya sebenarnya dari kecil,” kata D3V saat ditemui bersama Ricky.

Saat SMP kelas satu, D3V suka kepada laki-laki. Ia merasa aneh. Sebab, ia hanya mengagumi perempuan, tetapi pada laki-laki timbul rasa suka. Tiga tahun berselang, saat kelas 1 SMA, ia memulai fase perubahan dari seorang laki-laki menjadi transpuan. Pada momen ini, ia diajak oleh temannya untuk “mangkal” di salah satu hotspot di Kota Bandung.

“Coba di situ, waktu itu di makeup-in,” katanya. “Iya kayaknya cantik ya jadi perempuan,” timbul keyakinan dalam dirinya.

Setelahnya ia sempat kabur ke Jakarta selama setahun lebih. Saat ke Bandung, ia sudah berpenampilan rambut panjang dengan model Harajuku. Sejauh ini, D3V sudah melakukan suntik hormon dan silikon. Ia belum melakukan tahap operasi sebab terkendala biaya yang cukup mahal.

Proses penerimaan keluarga pun berliku. Keluarga besar yang memiliki darah keturunan Arab, kerap menjadi penghalang orang tuanya menerima perubahan. Ia sempat dibatasi merias diri setiap kali momen kumpul keluarga, khususnya saat lebaran. Supaya keluarga besar tidak kentara melihat perubahan. Akhirnya ia tidak ikut kumpul keluarga tiap kali momen lebaran tiba.

Meski akhirnya diterima keluarga atas perubahannya menjadi seorang minoritas gender, hingga menjadi “bestie” ibunya, D3V mendapatkan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Ada yang menggunjingnya, hingga kerap memfitnahnya dijemput oleh pria hidung belang.

D3V memang sudah berpenampilan sepenuhnya seperti perempuan. Tetapi saat beribadah, ia sadar kalau salat atau ritual ibadah lainnya bukan untuk dipermainkan. Sehingga ia mengenakan pakaian layaknya laki-laki dan salat di shaf laki-laki. Pernah suatu waktu ia datang ke masjid untuk melaksanakan salat Jumat dan orang-orang melihatnya dengan ujung mata.

“Dapat banget diskriminasinya kayak gini, 'oh udah tobat lu?' Maksudnya, aku tu yang tadinya mau salat, jadi ciutkan imannya. Jadi ya sudahlah, ngapain juga. Memang gak cocok kali ya, orang yang berdosa kayak aku masuk ke rumah yang suci,” ungkapnya.

Mirisnya, yang mengatakan hal tersebut adalah guru ngajinya waktu kecil. Kejadian itu tahun 2015. Setelah itu, sampai hari ini, ia masih trauma dan takut datang ke masjid. Ia merasa dirinya seorang pendosa, tidak pantas datang ke tempat suci. Ia membedakan kondisi waktu ia pernah kabur ke Jakarta. Saat mendapati D3V salat di masjid, guru ngaji di sana malah mengajaknya untuk rutin mengaji, bukan sebaliknya, melakukan tindakan diskriminasi.

Ilustrasi. Salah satu kelompok yang hidup di masyarakat adalah kalangan feminis. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)
Ilustrasi. Salah satu kelompok yang hidup di masyarakat adalah kalangan feminis. (Ilustrator: Bawana Helga Firmansyah/BandungBergerak.id)

Terancam Peraturan Diskriminatif

Kekhawatiran mendapat diskriminasi hingga persekusi menyelimuti minoritas seksual dan gender di Bandung. Di Jawa Barat, beberapa kabupaten dan kota telah menerbitkan peraturan daerah (perda) yang dinilai akan menjadi ancaman lahirnya praktik diskriminatif. Perda ini dikhawatirkan akan mempertebal stigma dan berujung persekusi. Akibatnya, minoritas seksual dan gender akan semakin sulit beribadah di rumah ibadah, apalagi diterima oleh kelompok keagamaan.

Bupati Garut Rudy Gunawan menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) Garut Nomor 47 Tahun 2023 tentang Anti-LGBT. Perbup yang mulai berlaku Juli 2023 itu merupakan pelaksanaan dari Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perbuatan Maksiat. Sementara Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto telah lebih dulu menerbitkan aturan terkait LGBT melalui Perda Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S).

Pada awal Tahun 2023, Kota Bandung dan Kabupaten Bandung pun menyiapkan rancangan Perda anti-LGBT. Januari 2023, DPRD Kota Bandung mewacanakan untuk menyusun ranperda tentang pencegahan dan larangan LGBT. Wacana ini lantas didukung oleh pemerintah. Adapun Bupati Bandung Dadang Supriyatna mendorong raperda anti-LGBT untuk masuk ke Program Legislasi Daerah (Prolegda) agar segera dibahas DPRD.

Anggota Badan Pembentuk Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kota Bandung Salmiah Rambe menyebutkan, Dinas Kesehatan sudah menyiapkan naskah akademik dan draf rancangan peraturan daerah. Rancangan perda ini masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) Tahun 2025.

“Baru masuk untuk Propemperda Tahun 2025. Belum ada pansusnya (panitia khusus). Kalau sudah terbentuk Pansus, mungkin akan ada FGD dengan LGBT,” jawab Salmiah singkat melalui pesan WhatsApp, Kamis, 11 Juni 2024. Ia menjanjikan akan melibatkan kelompok minoritas seksual dan gender dalam penyusunan perda tersebut.

BandungBergerak menemui empat orang minoritas seksual dan gender. Semuanya mengaku khawatir akan wacana perda anti-LGBT itu. Meski masing-masing memiliki pandangan yang berbeda, mereka menilai aturan tersebut akan melahirkan dampak buruk dan mempertebal stigma.

Aria (21 tahun), seorang biseksual yang agnostik memprediksi kemungkinan lahirnya perda itu sangat besar. Dua daerah yang sudah mengeluarkan aturan diskriminatif itu “dikuasai” partai yang juga memenangkan suara terbanyak di Kota Bandung. Kekhawatirannya akan semakin menjadi-jadi jika jabatan Wali Kota Bandung pun dimenangkan oleh partai tersebut.

Ricky membandingkan bagaimana perda yang dinilai diskriminatif itu telah berlaku di beberapa daerah. Dari kabar yang ia terima dari teman-temannya, perda itu tidak terlalu berdampak terhadap homoseksual karena bisa berkamuflase. Sementara bagi teman-teman transgender akan sangat mengkhawatirkan yang notabenenya cenderung mudah dilihat secara fisik dan penampilan.

“Tapi di komunitas gay, ada yang sampai digrebek di kosnya. Ada yang sampai berduaan itu disangkanya gay atau kayak gimana. Itu yang menjadi ancaman kalau di Bandung ada perda itu, apakah Satpol PP yang melihat aku dengan teman aku berdua jadi disangka pacaran? Atau yang ngekos berdua sama temen supaya lebih murah, dianggapnya LGBT?” tanya Ricky.

Ricky juga mempertanyakan, setelah penggerebekan, lalu ditangkap, langkah apa yang akan diambil oleh pemerintah. Apakah akan merehab untuk memulihkan orientasi seksualnya? Sebab Ricky meyakini orientasi seksual tidak bisa diubah.

Adapun D3V menyesalkan belum adanya keterlibatan minoritas gender dan seksual dalam wacana rancangan perda anti-LGBT di Kota Bandung. Ia mengkhawatirkan angka diskriminasi akan naik dan berdampak pada ekonomi transgender. Transgender cenderung kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan, apalagi pendidikan sehingga terpaksa menjadi pekerja seks komersial.

“(Adanya) perda ini apakah tidak merugikan teman-teman pekerja seni ini? Kalau untuk teman-teman pekerja seks, apakah tidak ada penggerebekan yang terus-terusan? Sekarang gini aja, terkadang pemerintah itu sok tahu ya, sok kenal banget sama kita, sok bikin ini sok bikin itu. Makanya mau gak mau setidaknya mereka harus melibatkan,” kata D3V mewanti-wanti. 

Liza pun berpandangan, hadirnya aturan itu hanya akan menimbulkan persoalan baru. Lingkungan sekitar akan banyak melakukan penolakan-penolakan sehingga timbul diskriminasi dan mempertebal stigma. Liza juga menyebut kalau individu maupun komunitas minoritas seksual dan gender tentu menolak dan tidak akan mengikuti aturan itu.

“Itu yang menurut aku yang tidak memanusiakan manusia. Secara umum kan kami tidak mengganggu, tidak membuat keributan apa pun. Kami selayaknya orang biasa,” ungkap Liza.

Baca Juga: Mempertanyakan Raperda Anti-LGBTQ, Menuntut Ruang Aman bagi Kelompok Minoritas Gender di Kota Bandung
Memperjuangkan Hak Asasi Kaum LGBT untuk Mencapai Kesetaraan HAM di Indonesia
Potensi Diskriminasi dan Pelanggaran HAM Menguar dari Wacana Perda Anti-LGBT Kota Bandung

Peraturan Diskriminatif Memperluas Persekusi

Riset Catatan Kelam: 12 Tahun Persekusi LGBTI di Indonesia yang diterbitkan Arus Pelangi menyebutkan peraturan diskriminatif berdampak pada maraknya kekerasan dan penghakiman masyarakat hingga menjadi persekusi. Penelitian tersebut mendata kasus-kasus yang dilaporkan dan ditangani Arus Pelangi dan federasinya selama 12 tahun sejak 2006-2018 di sembilan provinsi di Indonesia, salah satunya Jawa Barat.

Secara nasional terdapat empat aturan diskriminatif yang pasal-pasalnya tidak inklusif terhadap LGBTI, di antaranya adalah Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang Undang Perkawinan, Undang Undang Pornografi, dan PP Adopsi Anak. Namun dalam peraturan daerah, per Februari 2018, ditemukan 45 regulasi dari pemerintah daerah terendah sampai tertinggi.

Dari 45 peraturan tersebut, 23 di antaranya secara jelas menulis di dalam pasalnya kata maupun frasa lesbian, homoseks/homoseksual, waria, transgender dengan narasi pasal yang diskriminatif dan berpotensi mengarah pada kebencian masyarakat. Delapan di antaranya berisi muatan kesusilaan yang implementasinya menyasar LGBTI. Tujuh di antaranya bermuatan kesusilaan yang berpotensi menyasar LGBTI. Adapun sisa tujuh perda diskriminatif lainnya tidak dapat ditemukan dokumen tertulis, baik salinan fisik maupun digital.

Dalam rentang penelitian 12 tahun ini, Arus Pelangi menemukan 172 peristiwa dengan 271 perbuatan di sembilan provinsi, yaitu Jakarta, Lampung, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Yogyakarta, Aceh, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Perbuatan yang dimaksud adalah rangkaian tindakan lanjutan karena suatu peraturan yang diskriminatif.

Dari 271 perbuatan itu, diklasifikasikan menjadi 17 kategori tindakan yang mendiskriminasi dan mengkriminalisasi hingga mengarah pada persekusi. 17 tindakan persekusi tersebut adalah intimidasi, penyiksaan, penganiayaan, pengusiran, pencabulan, penyebaran data pribadi, penggerebekan, pengrusakan barang, pemecatan sepihak karena ekspresi gender maupun identitas orientasi seksual, perkosaan, pembubaran paksa, penangkapan tanpa barang bukti dan saksi, pembunuhan, penahanan, pemerasan, hambatan izin acara, dan upaya korektif.

“Diskriminasi terlihat ketika perda-perda tersebut bertemakan ketertiban umum dan penyakit masyarakat sebagai judul peraturannya. Hal ini tidak hanya menjadi stigma di masyarakat namun juga izin negara untuk melakukan persekusi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun sasaran ujaran kebencian pejabat publik. Peraturan yang dibuat oleh negara tidak boleh memberangus hak-hak fundamental warga negaranya. Hukum internasional memastikan bahwa diskriminasi tidak harus secara tegas terungkap, persekusi dapat terjadi dengan melihat pola kelalaian negara melindungi kelompok/kolektif identitas tertentu,” tulis penelitian Arus Pelangi tersebut.

Dalam rentang penelitian itu, Arus Pelangi juga mendapati 1.850 minoritas seksual dan gender yang menjadi korban. Transpuan adalah target yang paling banyak mendapatkan persekusi, disusul laki-laki GBQ (Gay, Biseksual, dan Queer) dan perempuan LBQ (Lesbian, Biseksual, Queer). Hal ini menegaskan bahwa negara membiarkan adanya pelanggaran kebebasan berekspresi dan berpendapat. Sayangnya, aparat penegak hukum, organisasi masyarakat dan kolektif pemuda berbasis agama, maupun aparatur negara menjadi pelaku dari persekusi.

“Negara telah mengacuhkan hak-hak fundamental warga negara kelompok LGBTI, baik dengan membiarkan menjamurnya perda-perda diskriminatif, maupun membiarkan jatuhnya korban-korban persekusi. Negara dinilai lalai dalam mencegah terjadinya pelanggaran HAM yang memastikan persekusi dapat dihentikan dan pelakunya ditindak secara tegas melalui proses hukum,” tulis riset tersebut.

Arus Pelangi dalam rekomendasinya mendorong pemerintah Indonesia untuk membuat kebijakan antidiskriminasi yang komprehensif, termasuk di dalamnya berbasis perspektif orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender dan sex characteristic (SOGIESC). Pemerintah juga didorong untuk membatalkan dan mencegah kebijakan yang diskriminatif terhadap LGBTI, baik skala nasional maupun daerah.

*Liputan ini menjadi bagian dari kolaborasi #AgamaUntukSemua bersama Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) yang terlaksana atas dukungan Koalisi #RawatHakDasarKita dan Embassy of Canada to Indonesia, in Jakarta.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//