• Opini
  • Podcast tentang LGBT oleh Deddy Corbuzier Dilihat secara Hukum

Podcast tentang LGBT oleh Deddy Corbuzier Dilihat secara Hukum

Podcast Deddy Corbuzier bersama Ragil Mahardika dan Frederick Vollert menuai kontroversi luas di masyarakat. Bagaimana melihat perkara ini dari sisi hukum?

Christine Kurniadewi Pratiwi Hutapea

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Ilustrasi keberagaman gender. Dalam pandangan mayoritas, kelompok gender selalu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Faktanya, ada kelompok nonbiner yang bukan mengidentifikasi diri sebagai laki-laki maupun perempuan. (Foto Ilustrasi: Amany Rafa Tabina/Mahasiswi Unpar)

6 Juli 2022


BandungBergerak.idPandangan masyarakat Indonesia mengenai isu LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender) masih menjadi hal yang sangat tabu dan menerima berbagai penolakan. Faktor utamanya adalah seluruh ajaran keagamaan di Indonesia menolak adanya hubungan sejenis.

Lain halnya dengan beberapa negara di Eropa seperti Jerman yang telah melegalisasi Undang-Undang mengenai pernikahan sejenis. Perbedaan inilah yang menyebabkan podcast Deddy Corbuzier bersama pasangan Ragil Mahardika dan Frederick Vollert menuai kontroversi.

Ragil Mahardika dan Frederick Vollert adalah pasangan yang telah sah menikah di Jerman, keduanya merupakan pasangan yang viral di akun media sosial tiktok karena kerap dihujat oleh netizen Indonesia. Hal inilah yang menarik perhatian Deddy Corbuzier untuk mengundang kedua pasangan ini dalam sesi Podcast Youtube-nya.

Tak tanggung-tanggung, setelah beberapa saat video podcast tersebut diunggah, Deddy Corbuzier kehilangan 100 ribu subscriber, bahkan netizen meminta agar Deddy Corbuzier dipidana karena melanggar HAM dan mengunggah materi konten mengenai LGBT di media sosial. Meski menuai banyak penolakan, pembahasan mengenai LGBT dalam podcast Deddy Corbuzier dapat diangkat sebagai materi konten jika dilihat dari Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Lantas, apa yang menjadi dasar perlindungan hukum terhadap materi konten tersebut? Apakah Deddy Corbuzier dapat dikenakan sanksi pidana?

Podcast LGBT Deddy Corbuzier Ditolak Masyarakat

Beberapa saat setelah diunggahnya podcast Deddy Corbuzier bersama Ragil Mahardika dan Frederick Vollert, menuai banyak sekali komentar baik yang mendukung maupun menolak. Penolakan ini karena memuat materi konten berisi mengenai LGBT dan menggiring opini masyarakat Indonesia untuk mendukung dan menormalisasikan LGBT.

Salah satu kritik muncul dari Cholil, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah. Ia mengatakan bahwa, “Saya masih menganggap LGBT itu ketidaknormalan yang harus diobati bukan dibiarkan dengan dalih toleransi.”

Beberapa netizen juga meminta agar video tersebut dihapus bahkan meminta agar Deddy Corbuzier ditindak secara hukum. Hal ini didasarkan karena sebagian besar masyarakat Indonesia merasa pembahasan LGBT tidak pantas dijadikan materi konten, mengingat ajaran keagamaan dan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat sangat menentang hubungan sejenis dan semacamnya.

Dalam perspektif normatif agama Islam, perilaku gay atau yang dikenal dengan liwath adalah perilaku buruk dan keji sehingga dinilai sebagai dosa besar yang dampaknya melebihi dari zina jika terus menerus dibiarkan terjadi akan berujung pada punahnya manusia.

Pada Surat al-A’raf ayat 80 - 84, termaktub azab terhadap pelaku homoseksual. Sejajar dengan hal tersebut, dalam perspektif agama Kristen pun melarang mengenai hubungan sejenis ini. Tercatat dalam Alkitab pada Kitab Imamat bahwa:

“Apabila seorang laki-laki bersetubuh dengan laki-laki lain, mereka melakukan perbuatan yang keji dan hina, dan kedua-duanya harus dihukum mati. Mereka mati karena salah mereka sendiri”- Imamat 20:13.

Hal-hal di ataslah yang menjadi dasar alasan keresahan dan penolakan masyarakat terhadap podcast milik Deddy Corbuzier.

Baca Juga: Mengapa Transgender di Indonesia masih Terus Didiskriminasi?
Menjadi Seorang Nonbiner di Indonesia
Stereotip Identitas Gender terhadap Pasar Fesyen Masa Kini

Indonesia Negara Demokrasi

Indonesia merupakan negara demokrasi seperti yang termaktub dalam Pasal 28 E Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai negara hukum yang demokratis, kebebasan untuk berpendapat/freedom of speech merupakan salah satu hak yang melekat bagi seluruh warga Indonesia tanpa terkecuali.

Hal inilah yang menjadi dasar bahwa pembahasan tentang LGBT dapat diangkat menjadi konten podcast selama tidak melanggar ketentuan hukum dan tidak menggiring opini masyarakat. Kemudian, sebagai negara demokrasi haruslah memperhatikan asas legalitas di mana penjatuhan sanksi hukum haruslah didasarkan pada hukum yang sudah ada sebelum terjadinya perbuatan tersebut.

Sejauh ini di Indonesia belum ada hukum yang mengatur mengenai podcast LGBT sehingga materi konten LGBT adalah sah untuk diangkat dalam sebuah podcast.  Selain itu, Deddy Corbuzier sebagai pemilik podcast hanya memberikan beberapa pertanyaan-pertanyaan kepada Ragil dan Freed dan tidak mengeluarkan pernyataan mendukung atau tidak LGBT. Maka, apabila merujuk pada Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28E ayat (2) dan (3), Deddy Corbuzier sebagai pemilik podcast tidak dapat dijatuhi hukuman.

Podcast sebagai Karya Jurnalistik

Podcast merupakan wadah untuk seseorang beropini mengenai suatu topik tertentu yang disajikan dalam bentuk rekaman audio yang akan diunggah pada media internet. Apabila merujuk pada pengertian pers pada Pasal 1 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 bahwa:

“Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.”

Sehingga, podcast dapat dikategorikan sebagai karya jurnalistik di mana menyajikan informasi yang diperoleh dari narasumber yaitu Ragil dan Frederick dalam bentuk suara dan gambar pada media elektronik yang dalam hal ini podcast Deddy Corbuzier disajikan pada media YouTube. Maka, merujuk pada Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik bahwa:

“Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.”

Deddy Corbuzier sebagai pemilik podcast wajib menguji informasi yang akan diberitakan apakah sesuai dengan nilai dan norma yang ada. Terhadap tindakan Deddy Corbuzier yang dinilai salah karena menoleransi LGBT sebenarnya telah tepat apabila merujuk pada ketentuan di atas di mana Deddy Corbuzier – yang menyajikan konten jurnalisik melalui podcastnya – haruslah menerapkan asas praduga tak bersalah.

Dan, walaupun memiliki persepsi yang berbeda dengan kedua narasumbernya, Deddy Corbuzier tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan menghakimi. Sehingga, tindakan Deddy Corbuzier untuk mengangkat materi konten LGBT tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan hukum dan tidak melanggar HAM sama sekali. Maka dari itu, secara hukum pengangkatan materi konten mengenai LGBT oleh Deddy Corbuzier dilindungi oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

Indonesia sebagai negara demokrasi memberikan hak-hak kepada masyarakat untuk bebas mengutarakan pendapatnya. Hal inilah yang menjadi dasar Deddy Corbuzier dapat mengangkat materi konten mengenai LGBT dalam podcastnya, namun menuai penolakan dari masyarakat merujuk pada ketidaksesuaian dengan nilai agama dan norma yang ada dalam masyarakat. 

Walaupun isu mengenai LGBT di Indonesia masih sangat tabu, penyajian informasi mengenai LGBT di Indonesia belum diatur secara spesifik dalam hukum. Sehingga, pengangkatan materi konten mengenai LGBT oleh Deddy Corbuzier tidak dapat ditindak secara hukum. Selain itu, podcast juga dapat dikategorikan sebagai suatu karya jurnalistik dan merujuk pada tindakan-tindakan Deddy Corbuzier dalam video podcast tersebut tidak terdapat tindakan yang melanggar pada kode etik jurnalistik.

Oleh karena itu, sebagai pemilik podcast Deddy Corbuzier dilindungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Namun, melihat ketidaksesuaian nilai dan norma yang tumbuh dalam masyarakat mengenai pandangan terhadap LGBT sebaiknya konten tersebut dicabut dari media elektronik agar tidak menuai lebih banyak polemik. Diharapkan pemerintah dapat peka terhadap masalah sosial yang ada dan segera menciptakan regulasi yang jelas mengenai LGBT di tanah air.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//