CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #23: Koran Kuning, Jejak Media Sensasional di Indonesia
Koran kuning di Indonesia mewakili sebuah fase unik di mana selera pembaca, kondisi sosial, dan strategi media bertemu.

Kin Sanubary
Kolektor Koran dan Media Lawas
6 Desember 2025
BandungBergerak.id – Pada dekade 1970 hingga 1990-an, lanskap media cetak Indonesia pernah diramaikan oleh fenomena yang akrab disebut “koran kuning”. Istilah ini merujuk pada surat kabar berisi berita-berita sensasional dengan judul besar, bombastis, dan provokatif, sering kali melampaui batas etika jurnalistik. Tidak jarang sisi gelap kehidupan manusia menjadi komoditas utama seperti kriminalitas, kecelakaan, kekerasan rumah tangga, skandal seksual, hingga kasus-kasus hukum yang disajikan dengan gaya lugas dan vulgar.
Meski mendapat banyak kritik karena dianggap hanya mengejar sensasi, koran kuning memiliki pasar pembaca tersendiri. Kehadirannya menjadi warna unik dalam perjalanan jurnalisme nasional, sekaligus cermin selera publik pada masanya. Fenomena yellow journalism atau jurnalisme kuning sejatinya lahir dari tradisi pers Amerika pada akhir abad ke-19. Ciri utamanya adalah: judul memancing emosi, dramatisasi fakta, konflik yang dibesar-besarkan, serta serta fokus pada cerita-cerita ekstrem.
Di Indonesia, akar jurnalisme sensasional sudah tampak sejak era Demokrasi Liberal (1950-an), ketika kebebasan pers membuat berbagai surat kabar saling berkompetisi secara keras. Perang opini antar surat kabar melalui berita, tajuk rencana, dan karikatur bergaya satir, sesekali menjurus ke praktik sensasional yang bertujuan menggoyang atau menjatuhkan lawan politik.
Namun puncak perkembangan koran kuning terjadi pada masa Orde Baru, terutama sejak awal 1970-an. Pos Kota menjadi salah satu pelopor yang kemudian memengaruhi gaya pemberitaan banyak media lain. Fokus pada kisah kriminal dan peristiwa-peristiwa yang “menggigit” membuat koran ini cepat populer di masyarakat urban.
Setelah reformasi dan lahirnya UU Pers No. 40/1999, ruang kebebasan pers semakin terbuka lebar. Gaya pemberitaan sensasional pun marak bermunculan kembali, baik dalam bentuk surat kabar maupun media daring.

Baca Juga: CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #20: Majalah Aktuil, Media Musik Legendaris Indonesia dari Bandung
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #21: Bioskop-bioskop di Bandung Era 1970-an dalam Kenangan
CATATAN DARI MEDIA CETAK LAWAS #22: Romantisisme Harian Umum Kompas, Edisi 56 Tahun Silam
Gaya Penyajian yang Menjual Sensasi
Beberapa media yang kerap disebut sebagai representasi jurnalisme kuning antara lain:
Lampu Hijau
Terkenal dengan judul-judul nakal, satir, dan ilustrasi yang dianggap vulgar. Meski demikian, isi beritanya tidak selalu menyesatkan, hanya dibungkus dengan pendekatan yang hiperbolis.
Lampu Merah
Mengandalkan judul panjang dan keras, dirancang untuk mencuri perhatian sejak pertama dilihat. Karakteristiknya yang provokatif membuat isi berita sering tampak kalah penting dibanding judulnya.
Meteor Jogja
Memadukan sensasi dengan nuansa lokal Yogyakarta, baik dari pilihan kata maupun gaya bertuturnya.
Koran Merapi
Mengikuti jejak Meteor Jogja, namun lebih fokus pada kisah kriminal dan peristiwa tragis di sekitar DIY dan Jawa Tengah.
Gaya pemberitaan seperti ini kemudian merembet ke media daring, beberapa situs daerah bahkan menampilkan narasi kriminal secara vulgar, lengkap dengan detail yang melanggar etika jurnalistik modern.
Ciri utama koran kuning adalah penekanan pada unsur dramatis. Kaidah jurnalistik seperti verifikasi, konteks, keseimbangan sudut pandang, hingga etika foto kerap dianggap tidak terlalu penting. Yang utama adalah impact pada pembaca.
Beberapa ciri khasnya: Judul besar memenuhi hampir seluruh bagian atas halaman; foto korban atau TKP sering ditampilkan tanpa sensor; bahasa lugas, terkadang kasar, dan memancing emosi; fokus pada tragedi, konflik, dan perilaku menyimpang; serta porsi opini redaksi kecil, sementara fakta-fakta mentah ditonjolkan.
Pendekatan ini menimbulkan perdebatan panjang dalam dunia jurnalistik. Sebagian menganggapnya bentuk eksploitasi tragedi, sementara sebagian lain melihatnya sebagai refleksi kebutuhan informasi atau hiburan publik kelas pekerja.

Daya Tarik Surat Kabar Mingguan
Banyak koran kuning mengambil bentuk Surat Kabar Mingguan (SKM). Format ini memberi keleluasaan bagi redaksi untuk merangkum kejadian paling heboh sepanjang pekan, sehingga pembaca merasa mendapatkan paket lengkap kisah dramatis.
Koran mingguan ini menjadi tontonan sekaligus hiburan di warung kopi, terminal dan stasiun, pasar tradisional, dan lapak koran keliling. Sifat hiburannya kuat, bahkan tak jarang pembaca memperlakukan berita-berita tersebut sebagai bahan obrolan santai.
Beberapa nama yang kuat dalam dunia koran kuning dan sempat berjaya pada masanya antara lain: Pos Kota, Sinar Pagi, Terbit, Sentana, Inti Jaya Swadesi, dan Buana Minggu.
Harian-harian ini dulu mudah dijumpai di kios koran maupun dijajakan para loper, terutama di angkutan umum perkotaan. Gaya beritanya menjadi ciri khas tersendiri bagi pembaca dari kelas pekerja hingga sopir angkot.
Meningkatnya kecepatan informasi serta peralihan masyarakat ke media daring membuat era koran kuning perlahan memudar. Namun warisan mereka tetap tercatat dalam perjalanan jurnalisme di Indonesia.
Koran kuning mengingatkan bahwa: media tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai penyedia hiburan, sensasi, dan ketegangan dramatik yang bagi sebagian masyarakat merupakan kebutuhan. Mereka mewakili sebuah fase unik di mana selera pembaca, kondisi sosial, dan strategi media bertemu dalam satu fenomena yang kini dikenang sebagai bagian dari sejarah pers Indonesia. Meski kini tidak lagi mendominasi, jejak koran kuning menjadi pengingat menarik tentang bagaimana publik pernah mengonsumsi berita, bahkan tragedi, sebagai bagian dari budaya membaca yang penuh warna.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

