Benang Kusut Kemiskinan dan Pengangguran di Tanah Pasundan
Kemiskinan di Jawa Barat adalah masalah struktural. Kombinasi dari kegagalan sektor tenaga kerja, kualitas pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi yang eksklusif.

Taufik Hidayat
CPNS Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Prov. Jawa Barat yang bertugas sebagai Inspektur Ketenagalistrikan Ahli Pertama.
8 Desember 2025
BandungBergerak.id – Sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terpadat di Indonesia, Jawa Barat memikul beban demografi yang tidak ringan. Wilayah ini dianggap sebagai "gula" yang menarik jutaan pendatang untuk mengadu nasib, namun statistik menunjukkan bahwa manisnya pertumbuhan ekonomi belum bisa dinikmati secara merata. Ya, berarti di dalamnya tersimpan dua persoalan klasik yang tak kunjung tuntas, yakni kemiskinan dan pengangguran.
Secara statistik, posisi Jawa Barat dalam peta kemiskinan nasional cukup mengkhawatirkan. Berdasarkan analisis data periode 2014-2018, Jawa Barat tercatat menempati peringkat ketiga sebagai provinsi dengan jumlah penduduk miskin terbanyak di Indonesia dengan sumbangsih mencapai 13,79 persen terhadap total kemiskinan nasional (Ardian & Destanto, 2020). Tetapi, angka ini bergerak fluktuatif seiring dinamika ekonomi. Dalam rentang waktu lebih baru (periode 2015 hingga 2023), tren kemiskinan di Jawa Barat menunjukkan pola naik-turun yang dipengaruhi oleh kondisi makro-ekonomi, termasuk dampak pandemi. Meskipun ada upaya penurunan, jumlah penduduk miskin masih berada pada level krusial dan "resisten" terhadap perubahan kebijakan jangka pendek (Prasistia & Entas, 2025; Pratiwi & Sundaya, 2022).
Masalah ini berkelindan dengan data ketenagakerjaan. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Jawa Barat berada di atas rata-rata nasional. Tingginya angka pengangguran ini menjadi penyumbang (determinan) tingginya angka kemiskinan. Data menunjukkan lonjakan persentase pengangguran di kabupaten/kota di Jawa Barat hampir selalu diikuti oleh peningkatan jumlah penduduk yang jatuh ke bawah garis kemiskinan (Berliani, 2021; Santoso & Setyowati, 2023).
Untuk memahami mengapa kemiskinan sulit dihapus, kita harus melihat konsep Vicious Circle of Poverty yang diperkenalkan oleh Nurkse. Teori ini relevan sebagaimana studi Ajmilah, Nawawi, dan Muhlisin (2025), yang menyatakan rendahnya pendapatan menyebabkan rendahnya tabungan dan investasi, lalu berujung pada produktivitas rendah, dan kembali lagi pada pendapatan rendah. Dalam konteks Jawa Barat, "pintu masuk" ke dalam lingkaran setan ini adalah pengangguran. Prasistia dan Entas (2025) serta Sembiring, Masinambow, dan Tumangkeng (2023) menunjukkan bukti statistik kenaikan satu persen Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) akan mengerek angka kemiskinan. Ketika kepala keluarga tidak memiliki pekerjaan, daya beli rumah tangga runtuh, berdampak menyeret mereka ke bawah garis kemiskinan.
Jika pengangguran adalah penyakit, maka pendidikan seharusnya menjadi obat. Ya, secara umum, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan tingkat pendidikan memiliki peran dalam menurunkan kemiskinan. Ayda, Widiaty, Fauziah, dan Hiwari (2025) menulis pendidikan tidak hanya mengurangi jumlah orang miskin, tetapi juga mengurangi Indeks Kedalaman Kemiskinan. Artinya, pendidikan membantu mengangkat mereka yang berada di dasar jurang kemiskinan. Hal ini didukung oleh Nurmayanti, Khoirudin, dan Khasanah (2020) serta Santoso dan Setyowati (2023), yang menegaskan semakin meningkat rata-rata strata sekolah penduduk, semakin besar peluang mereka mendapatkan pekerjaan layak dengan upah di atas minimum. Akan tetapi, ada tantangan kualitas. Berliani (2021) menyoroti sekadar lulus sekolah saja tidak cukup jika tidak diimbangi dengan ketersediaan lapangan kerja yang sesuai. Sering kali terjadi mismatch (ketidakcocokan) antara lulusan pendidikan dengan kebutuhan industri, yang menyebabkan tingginya pengangguran kalangan terdidik formal.
Baca Juga: Setumpuk Persoalan Jawa Barat Menanti Kerja Serius Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan, dari Pemerataan Pendidikan hingga Pengangguran
Buruh Jawa Barat Menagih Janji-janji Manis Pemerintah
Benarkan Aplikasi Nyari Gawe Menjadi Solusi untuk Para Pencari Kerja di Jawa Barat?
Anomali Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi
Satu fakta berikutnya adalah hubungan antara pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan kesejahteraan rakyat. Secara teori, ekonomi yang tumbuh (PDRB naik) akan menetes ke bawah (trickle-down effect) dan menyejahterakan rakyat. Beberapa peneliti seperti Susanti (2013), Pratiwi dan Sundaya (2022), serta Fitria (2022) menemukan PDRB memang berpengaruh negatif terhadap kemiskinan, artinya pertumbuhan ekonomi membantu mengurangi jumlah orang miskin. Studi dari Zuhairah, Novita, Rahayu, Asnidar, dan Ridha (2024) juga menyatakan pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap penurunan kemiskinan secara parsial, melainkan Indeks Gini (ketimpangan) yang memiliki pengaruh. Jika diibaratkan, kue ekonomi Jawa Barat ini membesar, namun potongannya masih tidak terbagi rata. Hal ini disebabkan pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh pemilik modal atau kalangan atas, sementara masyarakat bawah mendapatkan remah-remahnya saja.
Lebih jauh, Putri, Rahmadhani, dan Desmawan (2022) menelaah fenomena anomali di mana pada periode tertentu pengangguran berjalan beriringan dengan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut terjadi, jika pertumbuhan ekonomi didorong oleh sektor padat modal (teknologi/mesin) yang tidak banyak menyerap tenaga kerja manusia. Ardian dan Destanto (2020) serta Nurmayanti et. al. (2020) pun mencatat di beberapa kabupaten/kota, jumlah penduduknya besar namun menambah beban yang akhirnya meningkatkan kemiskinan, karena kompetisi kerja di wilayah itu sangat ketat. Namun, Wicaksono dan Kharisma (2020) saat mengambil studi kasus di Purwakarta justru memberikan perspektif lebih mikro ihwal sektor mana yang menyerap tenaga kerja. Mereka menyoroti sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang lebih efektif dalam menyerap tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan dibanding sektor industri manufaktur besar. Dengan demikian, ekonomi kerakyatan dan sektor jasa terbilang merupakan jaring pengaman vital bagi populasi Jawa Barat yang padat.
Melihat kompleksitas masalah di atas, pendekatan konvensional (bantuan sosial semata) tidak lagi memadai, sehingga perlu inovasi kebijakan. Kharisma, Nur, dan Wardhana (2022) menawarkan solusi melalui Kewirausahaan Sosial (Social Entrepreneurship) yang dianggap cocok untuk karakteristik Jawa Barat. Berbeda dengan bisnis murni (mengejar profit), wirausaha sosial fokus pada pemberdayaan masyarakat. Dengan meningkatkan pendapatan usaha kecil dan inovasi produk, wirausaha sosial terbukti mampu menciptakan lapangan kerja inklusif bagi mereka yang tak terserap oleh sektor formal. Selain itu, pendekatan nilai juga diangkat oleh Ajmilah et. al. (2025) dalam perspektif ekonomi Islam. Penguatan instrumen sosial seperti Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (Ziswaf) dikelola secara produktif dapat menjadi bantalan ekonomi bagi masyarakat yang belum tersentuh oleh mekanisme pasar formal.
Dapat ditegaskan bahwa, kemiskinan di Jawa Barat adalah masalah struktural, bukan sekadar nasib buruk individu. Ia adalah hasil dari kombinasi tiga faktor utama, yakni kegagalan sektor tenaga kerja menyerap suplai SDM (tingginya pengangguran), kualitas pendidikan yang belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan sektor tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi yang eksklusif di mana kenaikan PDRB tidak selalu diikuti dengan pemerataan pendapatan (ketimpangan). Ya, jalan ke depan bagi Jawa Barat tidak bisa hanya mengandalkan masuknya investasi asing atau pembangunan pabrik baru. Jadi, strategi pengentasan kemiskinan harus bergeser ke arah peningkatan kualitas manusia (melalui pendidikan yang relevan), pemerataan hasil pembangunan (menekan rasio Gini), serta pemberdayaan ekonomi lokal melalui kewirausahaan sosial.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

