MALIPIR #45: Kampungmu dalam Bacaanmu
Novel Cahaya Gumawang dina Ati bercerita tentang cinta sejati dan rintangan yang menghalangi orang untuk menggapainya, yakni prasangka diri sendiri.

Hawe Setiawan
Sehari-sehari mengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra UNPAS, ikut mengelola Perpustakaan Ajip Rosidi. Menulis, menyunting, dan menerjemahkan buku.
8 Desember 2025
BandungBergerak – Meski tidak sempat bertemu dengan Ibu Ningrum Djulaeha (1934-1993), saya merasa dekat dengan karyanya. Salah satu novelnya, Cahaya Gumawang dina Ati (Cahaya Gemilang dalam Hati), mengangkat tanah kelahiran saya jadi latar cerita. Sungguh senang saya membaca dan menyimpan novel 77 halaman ini.
Novel ini diterbitkan oleh Kiblat Buku Utama, Bandung, pada 2021, kiranya berkat dokumentasi sastra almarhum Ajip Rosidi yang bukan main lengkapnya. Namun, naskahnya ditulis oleh Bu Ening–kalau boleh saya memanggilnya demikian–pada 1979. Latar historis dalam kisahnya, yakni dasawarsa 1960-an dan 1970-an ketika orang Bandung naik bemo dan Honda dan warga luar kota naik suburban, tidak jauh-jauh amat dari ingatan generasi saya yang lahir pada 1960-an.
Dengan membaca novel ini, saya dapat melihat lagi tempat-tempat dalam jagat masa kecil saya, di belahan selatan Subang, di dataran tinggi dekat lereng utara Tangkubanparahu: Cisalak, Kasomalang, Sarireja, Ciater. Itulah tempat-tempat yang melatari kisah Tutun dan Odang, pengantin baru yang runyam, sebelum keduanya tinggal, belajar, dan bekerja di Bandung.
Ingatan yang Mungkin Pudar
Sebetulnya, yang terasa dekat buat saya bukan hanya tempatnya, melainkan juga pola hidup tokoh-tokohnya. Saya merasa satu spesies dengan Odang. Dia pergi dari Cisalak lalu masuk ke kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk belajar arsitektur. Istri saya pasti merasa satu ordo dengan Tutun. Selepas Sekolah Menegah Atas (SMA), Tutun masuk lingkungan kantoran buat mengurus administrasi.
Mereka menikah ketika Odang masih kuliah. Saya bisa membayangkan situasinya karena saya pernah dimarahi oleh pembimbing saya di Universitas Padjadjaran (Unpad), mendiang Dr. Wasito Poespoprodjo, L.Ph., S.S., S.H., yang mengetahui saya menikah ketika skripsi baru sampai bab dua.
"Berani-beraninya Saudara menikah! Apakah Saudara benar-benar bertanggung jawab atas kehidupannya?" sergah Pak Poespo yang kritiknya baru dapat diredam setelah saya belagak paham buku Erich Fromm, The Art of Loving.
Dengan kata lain, saya membaca novel Bu Ening sambil meninjau lagi beberapa bagian dari hidup saya sendiri. Tentu, ada nostalgia dalam tindakan itu. Namun, ada juga ikhtiar buat melengkapi ingatan yang mungkin pudar. Misalnya, dalam bagian cerita tentang perjalanan dari Subang ke Bandung, sang pengarang selain menggambarkan hamparan kebun teh, yang saya kenal betul, juga melukiskan pokok-pokok karet yang luput dari ingatan saya.
"Coba kamu baca juga fiksi ini, Nyi. Latar dan kisahnya bisa kita jadikan bahan buat napakuran diri sorangan," ujar saya kepada Teti seperti agen promosi.
Baca Juga: MALIPIR #44: Sang Penulis di Masa Kritis
MALIPIR #43: Risalah buat Pencari Nafkah
Cisalak dan Eyang Rangga
Cisalak dalam novel Bu Ening adalah Cisalak yang juga saya kenal baik, di seputaran alun-alun kecamatan, di antara dua jembatan, di barat dan timur. Bedanya, jika masa kanak saya cenderung melekat pada area di timur alun-alun, masa remaja Tutun dan Odang melekat di sebelah barat, lengkap dengan makam keramat Eyang Rangga Martayuda, tokoh legendaris setempat dari abad ke-19.
Situs Eyang Rangga tampaknya menduduki tempat tersendiri di hati tokoh cerita ini. Di saat-saat Tutun dicekam ketakutan dan kesepian di Bandung yang diguyur hujan malam hari, muncul dalam ingatannya adegan manis tatkala Odang memetikkan anggrek berwarna ungu yang tumbuh liar di kompleks pajaratan itu buat sang kekasih.
"Di Cisalak mah da haté téh asa tengtrem baé, taya karingrang, jauh tina karudet. Cacakan tempat leutik mah tapi asa pikabetaheun pisan (Di Cisalak hatiku selalu tenteram, tiada kekhawatiran, jauh dari masalah. Meski tempatnya kecil saja tapi membuat diri sangat betah)," begitu antara lain Tutun membatin.
Sayang, memang, ada elemen visual yang luput dari lukisan Cisalak dalam novel ini, yakni Gunung Canggak. Padahal siapapun yang datang ke Cisalak, begitu sampai ke jembatan barat yang melintang tak jauh dari makam Eyang Rangga, pasti dapat melihat gunung itu mengerucut indah di latar belakang dengan awan berarak di puncak.
Namun, buat saya, hal itu tidak mengganggu perkisahan. Lagi pula, pengarang yang satu ini sepertinya lebih tertarik menggali relung-relung psikologis tokoh utamanya, Tutun, ketimbang melukiskan lingkungan di sekelilingnya. Kegelisahan sang tokoh, pokok soal dalam novel ini, sudah tersampaikan bahkan sejak paragraf pertama: tuluskah Odang menikah dengan dirinya? Ya, ini cerita tentang cinta sejati dan rintangan yang menghalangi orang untuk menggapainya, yakni prasangka diri sendiri.
Kedekatan dan Kerapuhan
Saya merasa punya pendapat, atau setidaknya harapan, yang senada dengan suara batin tokoh Tutun tentang Cisalak yang kita kutip tadi. Barangkali hal itu pula yang turut menyebabkan saya senang membaca novel ini. Lagi pula saya cenderung berpendapat bahwa sebaiknya orang menulis, dan membaca, tentang lingkungan sekitar yang dia kenal baik. Tiap tempat toh punya cerita sendiri, dan memang layak diceritakan.
Di lain pihak, rasa-rasanya, ada sebab lain saya merasa dekat dengan karya almarhumah Bu Ening. Cisalak-nya Bu Ening, yang sedikit banyak juga Cisalak-nya saya, sesungguhnya bukan lagi Cisalak hari ini. Cisalak dalam kenangan manis adalah tempat yang sesungguhnya rapuh oleh pertumbuhan penduduk, laju ekonomi uang, alih fungsi lahan, dan kerusakan lingkungan.
Kali Cihideung yang mengalir ke Cisalak meluap begitu rupa pada Mei 2006, merenggut empat nyawa dan merongrong pekarangan rumah ayah saya di Cikaruncang. Korporasi Danone dari Prancis mendatangkan truk-truk raksasa ke Cisalak, mengubah bekas jalan perkebunan jadi sejenis jalur maut. Pada Januari 2024 terjadi longsor di Pasanggrahan, di sekitar pabrik air minum itu, hingga ada satu orang yang dilaporkan tewas.
Novel Bu Ening, dengan caranya sendiri, telah ikut mengabadikan kenangan yang kelak mungkin retak tentang Cisalak.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

