• Cerita
  • Menikmati Payau di Utara Yogyakarta

Menikmati Payau di Utara Yogyakarta

Pameran tunggal Iwan Yusuf bertajuk Payau di Yogyakarta, merefleksikan kembali perjalanan berkeseniannya selama dua dekade.

Payau, pameran tunggal Iwan Yusuf di Edsu, Yogyakarta, Rabu, 3 Desember 2025. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Penulis Virliya Putricantika8 Desember 2025


BandungBergerak.id – Payau, tajuk pameran Iwan Yusuf untuk menandai kariernya sebagai seniman selama dua dekade. Sebelum menuju Edsu, lokasi pameran, saya sedikit membekali informasi tentang pameran ini. Dua interpretasi yang saya dapatkan dari diksi payau ini di antaranya “atau” juga “dua setengah dimensi”. Begitulah beberapa orang menyebut pameran yang berlangsung sejak 27 November 2025 sampai 1 Februari 2026 itu.

Seperti biasa, saya ditemani seorang teman, kali ini dia bukan warga asli Yogyakarta, jadi kami berdua turis asli. Perjalanan menuju Pulang ke Utara di hari Rabu, 3 Desember 2025, sebetulnya cukup mudah dari selatan, tapi tetap saja untuk turis seperti kami, titik lokasi terlewat dua meter seperti hal yang wajar. Belum lagi salah mengambil jalan menuju area parkir. Terlalu antusias sepertinya, begitu dugaan saya kira-kira.

Kami berjalan menuju meja registrasi dan kami gagal membeli tiket mahasiswa, karena kartu tanda mahasiswa masih belum berisi dompet. Jadi kami membeli tiket reguler 30 ribu rupiah dengan bonus segelas kopi susu yang dinikmati dari lantai 18, begitu jelas penjaga registrasi sambil menawarkan loker untuk ransel kami.

Pintu kaca dengan aksen garis itu sedikit memperlihatkan ruangan putih di dalamnya. Tangan kanan saya memegang gawai, untuk membaca katalog pameran dan tentunya untuk mengambil gambar. Seperti yang dibayangkan, mata saya terkesima dengan lima karya yang berada di ruangan putih itu. Mereka seperti melayang. Saat kami memasuki ruangan ada empat pengunjung lain yang sudah ada di ruangan ini.

“Itulah rasa-lihatan payau yang langka, situasi ambang yang membuat kita mampu menimbang lagi aneka bentuk dan fungsi mereka di dunia.” begitu kalimat dalam wall text yang ditulis Nirwan Dewanto.

Hónguya karya Iwan Yusuf. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Hónguya karya Iwan Yusuf. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Baca Juga: Manusia dan Gula Kawung, Keseimbangan Alam dalam Pameran Menjaras Memori Kolektif
Menyaksikan ARA, Membaca Tubuh-tubuh Perempuan yang Melawan
Membiarkan Tembok Berbicara

Momen Estetika (?)

Kelima karya ini rasanya mampu membuat audiens berinteraksi dengan karya tanpa memerlukan dialog tertentu. Penjelasan dari Brian Massumi tentang affect theory rasanya menjadi gagasan yang bisa mewakili perasaan ketika melihat karya di pameran tunggal ini. Secara sederhana Brian menjelaskan bahwa salah satu estetik yang dapat diterima audiens ketika tubuh merespons lebih dulu sebelum pikiran mereka merespons dan menganalisis apa yang dirasakan seutuhnya.

Ruangan yang memiliki lebar empat meter dan panjang sembilan meter semakin menghidupkan karya-karya yang dipajang di sana. Seluruh karya yang berada di ruangan ini memiliki material jaring pukat harimau yang disusun di jaring kawat baja. Salah satu karya yang paling memikat untuk saya bernama HÚNGAYO, berada di ujung perjalanan sebelum menuju ruangan black box.

Entah, yang satu ini terlihat sangat menarik. Barangkali betul juga pernyataan Nirwan, seperti lipatan karpet. Mengingatkan saya dengan masa kecil yang suka dengan sengaja menekuk karpet untuk menyisipkan mainan ke dalamnya, yang tentunya disusul teguran nenek. Iya, karya yang satu ini menarik saya ke masa kecil saya. Tapi bukan berarti itu yang dimaksud Iwan, mungkin. Karena satu pemaknaan atas satu simbol harus disepakati bersama.

Detail material jaring dan kawat baja. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Detail material jaring dan kawat baja. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Gelap terang yang diterapkan pada karyanya ini sangat lembut. Entah berapa lama ia menyusun setiap jaring pada kawat baja yang jadi penopangnya ini. Kesan tiga dimensi berhasil membuat saya sebagai penikmat sedikit terkecoh. Sedikitnya saya meyakini bahwa karya ini memiliki lebar, tidak hanya panjang dan tinggi. Namun nyatanya memang tidak memiliki lebar, hanya tumpukan jaring yang berhasil membangun dimensi yang berbeda. Mungkin dua setengah dimensi atau bisa jadi ada istilah yang lebih tepat yang belum ditemukan untuk mendefinisikan karya Iwan.

Adapun lima karya lainnya yang berada di ruang black box. Ruang hitam pekat yang didukung beberapa lampu spotlight yang langsung menyorot ke lukisan yang dipajang di sana. Dengan melihat lukisannya saya bisa melihat keseluruhan karya Iwan. Tentunya pemahaman itu terbangun karena kawan saya bersedia untuk menjawab pertanyaan aneh yang keluar dari pikiran saya.

Karya Iwan tidak sesederhana warna hitam dan putih yang terlihat secara eksplisit oleh mata. Dua warna itu menjadi satu bahasa untuk membuka komunikasi dengan penerimanya. Tidak juga menjadi batasan atas respons dari interpretasi isi kepala masing-masing audiens. Kesepuluh karya miliknya membuat saya merasakan payau di galeri ini.

Bóhu karya Iwan Yusuf. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)
Bóhu karya Iwan Yusuf. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak)

Lebih Dekat dengan Iwan Yusuf

Iwan Yusuf adalah seorang seniman asal Gorontalo yang fokus membawa wacana tentang laut. Area yang mengelilingi negara ini dengan segala persoalannya. Tapi karya seninya tentu tidak membicarakan konflik, karena ada banyak perspektif untuk membicarakan identitas pesisir yang ada di sekitar kita. Dari beberapa karya Iwan, setidaknya dalam kurun lima tahun terakhir, tidak hanya menjadikan laut sebagai lanskap, tapi juga sebagai merenungkan ruang yang ada di sekitar bahkan yang paling dekat.

Iwan memulai kariernya dengan seni lukis. Tidak sebatas dua dimensi biasa, tapi objek yang dilukisnya terasa nyata dengan teknik arsirnya. Begitu juga yang terlihat pada karya Iwan di ruangan black box di Edsu, masih menggunakan teknik arsir. Seiring perjalanannya tentu ia mencari hal yang dapat mengembangkan eksplorasi dalam karier seninya, yakni dengan jaring.

Lewat pameran tunggalnya di Edsu, Iwan seperti menghadirkan pengalaman eksplorasi berkeseniannya. Bukan untuk mengatakan pengalaman mana yang paling benar, melainkan untuk merefleksikan kembali perjalanannya selama dua dekade.

“Berpayau-payau bersama Iwan Yusuf adalah memasuki kembali rasa hayat untuk menepis rasa serba-tawar yang diberikan oleh ideologi yang menekan kita untuk bersikap serba-benar maupun rasa serba-asin yang dikucurkan oleh kemewahan pasca-industri yang mendesak kita dengan hadiah serba-surga.” kalimat terakhir Nirwan untuk mengantarkan audiens mengenal Iwan Yusuk lebih dekat.

 

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//