• Cerita
  • Menyaksikan ARA, Membaca Tubuh-tubuh Perempuan yang Melawan

Menyaksikan ARA, Membaca Tubuh-tubuh Perempuan yang Melawan

"... menari tidak selalu tentang gerakan yang indah atau bentuk yang sempurna, melainkan soal memberi ruang bagi tubuh untuk bicara..."

Salah satu adegan pertunjukan Ara Chronicle of A Moving Clipping dalam gladi resik, Rabu, 6 Agustus 2025, di Tjap Sahabat, Bandung. (Foto: Audrey Kayla Fachruddin/BandungBergerak)

Penulis Salma Nur Fauziyah12 Agustus 2025


BandungBergerak - Lampu-lampu dimatikan. Kolase foto dan video tentang Pramoedya Ananta Toer mengalun di tiga sisi dinding bekas gudang mainan yang mentah apa adanya di kawasan Cibadak, Bandung. Lalu hening.

“Berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk menyadari bahwa kematian bukan untuk diratapi, tapi dinikmati?” monolog seorang perempuan memecah keheningan itu, disambung dengan alunan musik yang diputar oleh DJ yang siaga di balik meja turntable.

Tujuh orang penari, semuanya perempuan, menyambut alunan ritme instrumen musik dan permainan pencahayaan. Tubuh lentur meliuk, bergulingan, dan melompat tanpa alas kaki di atas lantai hitam mengkilat. Beberapa dari mereka berlari, memutari panggung segi empat yang dibatasi oleh para penonton yang duduk lesehan itu. Seolah acak, tidak selaras, menyimpang!

Beragam ekspresi terpancar di raut wajah para penari. Mata yang menatap tajam, memancarkan rasa waspada dan kebingungan. Menambah kedalaman gerak tubuh yang, meski terlihat rapuh, menyiratkan sebuah ketangguhan. Lihatlah betapa kuat adegan mereka mengikat rambut. Sederhana, tapi menghunjam ke kedalaman.

Intensitas setiap gerak, termasuk diam dan jeda, membuat orang-orang menahan napas. Dan itu terjaga di sepanjang penampilan. Satu setengah jam lebih.

Terlebih saat koreografi menjelang akhir, ketika enam orang menari menyebar dan satu orang lagi berdiri di sudut panggung sambil menyusun kursi bundar berwarna merah, lalu menaikinya. Rasa cemas menguar menyaksikan sang penari bergerak memutar sambil menjaga keseimbangannya. Sewaktu-waktu dia bakal terjatuh!

Sementara di sisi lain panggung, enam orang berbaring di lantai, menangggapi beat musik yang kian kencang. Terkulai, mengejang. Kerapuhan yang menolak untuk menyerah, untuk mati.

Setelah teriakan revolusi berkumandang, tepuk tangan meriah memenuhi gudang. Sebagian dari ratusan orang dari beragam latar belakang yang datang petang itu berdiri. Apresiasi yang pantas untuk sebuah pertunjukan tari kontemporer yang memukau. 

“Ara tetap bergerak. Meski tanpa senjata, tapi dengan tubuh dan kehendaknya.” 

Gerak seolah acak para penari dalam gladi resik pertunjukan Ara Chronicle of A Moving Clipping, Rabu, 6 Agustus 2025, di Tjap Sahabat, Bandung. (Foto: Audrey Kayla Fachruddin/BandungBergerak)
Gerak seolah acak para penari dalam gladi resik pertunjukan Ara Chronicle of A Moving Clipping, Rabu, 6 Agustus 2025, di Tjap Sahabat, Bandung. (Foto: Audrey Kayla Fachruddin/BandungBergerak)

Baca Juga: ARA Chronicle of A Moving, Menginterogasi Pramoedya Anta Toer Melalui Tarian
Tarian Larasati dalam Arus Revolusi di IFI Bandung, Sebuah Adaptasi dari Novel Pramoedya Ananta Toer

Tubuh yang Bersuara, yang Menulis 

Pertunjukan seni tari kontemporer ARA: Chronicle of a Moving Clipping, Kamis, 7 Agustus 2025 petang, di Tjap Sahabat, Bandung menyodorkan pengalaman berbeda membaca novel Larasati karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Galuh Pangestri, sang koreografer, memulai prosesnya bersama kelompok tari Tarang Karuna sejak tahun lalu. Kerja panjang ini memiliki asam dan garamnya sendiri. 

“Kendalanya tentu saja, karena prosesnya panjang, itu ada membosankan. Capek, luka-luka, dan biru-biru cedera,” tutur Galuh Pangestri, ditemui seusai pertunjukan. 

Mensiasati kebosanan,Galuh dan kawan-kawan turut menghadirkan pihak-pihak dari bidang lain, dari sejarah hingga sastra, untuk memantik diskusi terkait pembacaan karakter Larasati atau Ara. Proses penciptaan ARA bukan hanya perkara ketubuhan atau kepenarian. Ada sekian banyak diskusi dan tukar pikiran yang secara aktif melibatkan setiap penari.

Dalam proses seperti ini, sebagaimana diungkapkan Galuh, kerja tubuh penari ibarat “penulis yang mengekspresikan isi pikirannya”. Di panggung, mereka “bergerak seperti merangkai karangan pikirannya". Mereka, hanya setelah banyak membaca, menulis. Termasuk gagasan-gagasan untuk melawan.

Menuliskan gagasan lewat tubuh bukan perkara mudah. Meski sudah melewati berbagai diskusi, keraguan tetap saja muncul. Utamy Tias, salah seorang penari, mengungkapkan perasaan itu dalam tulisan yang termuat dalam brosur pertunjukan “Tubuh yang Belajar Bicara, Meski Takut Terlihat”. 

Hidup sebagai seorang penari tradisi Sunda yang terbiasa dengan pakem dan tata gerak baku, Utamy dihadapkan pada tantangan baru. Seni tari kontemporer membuatnya bingung dan ragu: apakah gerakannya pantas atau tidak dilihat orang lain. Toh seiring waktu, Utamy semakin percaya diri. Semakin memahami tubuhnya sendiri, membiarkannya berbicara dan bergerak dengan bebas.

“Dari situ aku belajar bahwa menari tidak selalu tentang gerakan yang indah atau bentuk yang sempurna, melainkan soal memberi ruang bagi tubuh untuk bicara meski bicaranya masih gugup, atau belum utuh,” tulisnya.

ARA: Chronicle of a Moving Clipping bukan karya adaptasi biasa. Koreografinya tumbuh dari pengalaman membaca oleh masing-masing penarinya. Kisah Larasati terhubung dengan kondisi perempuan di tengah situasi politik yang sedang carut-marut hari ini, tersirat dalam berita-berita penggusuran yang dalam salah satu fragmen tersaji di dinding-dinding ruang pertunjukan. 

“Setiap fragmen kata yang diucapkan, setiap kalimat yang disorot dalam latihan, tidak dipahami sebagai makna tetap, tapi sebagai pemicu reaksi tubuh,” tulis Taufik Darwis dalam tulisannya “Di Antara Retakan Kata dan Jaringan Gerak: Catatan Dramaturgi  Ara: Chronicle of a Moving Clipping”.

Zen RS menyebut laku ARA ini sebagai korpografi, di mana tubuh adalah “pembaca sekaligus penulis”. Ia adalah “pusat”. Tubuh penari tidak sebatas urusan tokoh dan alur cerita, tapi subjek yang aktif menulis. Setelah pembacaan teks secara ekstensif, mereka menginterogasinya balik.

Larasati dibongkar, dituliskan ulang ke dalam bentuk yang sama sekali berbeda dari novel aslinya. Memunculkan kepengarangan baru yang tumbuh dari para penari,” tulis Zen dalam “Korpografi, Sebuah Tawaran dari ARA” yang termuat dalam brosur pertunjukan.

Dipentaskan oleh Tarang Karuna, Ara Chronicle of A Moving Clipping merupakan upaya menafsirkan novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer. (Foto: Audrey Kayla Fachruddin/BandungBergerak)
Dipentaskan oleh Tarang Karuna, Ara Chronicle of A Moving Clipping merupakan upaya menafsirkan novel Larasati karya Pramoedya Ananta Toer. (Foto: Audrey Kayla Fachruddin/BandungBergerak)

Megah, Emosional

Ferial Afiff mengaku senang dapat menyaksikan ARA. Sebuah pertunjukan yang menurutnya “megah” karena padunya beragam aspek, mulai dari pemilihan tempat, penataan panggung, hingga permainan visual. Dia melihat perkembangan yang luar biasa dari perfomance lecture oleh Galuh Pangestri yang dia ikuti pada 6 Juli 2025 di Ruang Dini.

”Buatku jadi lengkap banget karyanya Galuh ini ya,” kata perempuan yang kesehariannya mengelola Gelanggang Olah Rasa (GOR) ini.

Secara khusus, Ferrial menyoroti aspek-aspek perlawanan yang kuat terasa dalam gerak tubuh para penari. Sebuah perlawanan yang tangguh, tapi sekaligus yang masih kental dengan diri perempuan. Para penari membahu-bahu merapikan rambut mereka yang begitu dosmetik, tapi di sisi lain mereka berdiri dan meneriakkan revolusi. 

“Jadi kerasa gitu bahwa revolusi dimulai dari dapur, bahwa tiap hari perempuan sampai detik ini masih terus berevolusi gitu loh,” ujar Ferial yang saat ini menjadi kurator Terap Festival yang akan digelar akhir Agustus.

Dhea, warga Dago Elos, menjadi emosional ketika tayangan visual yang dikerjakan secara apik di sepanjang pertunjukan oleh The Larung Company menampilkan di dinding ruangan berita-berita tentang beragam konflik tanah di Bandung. Untuk kali kedua, setelah mengikuti performance lecture oleh Galuh Pangestri di Ruang Dini, dia menitikkan air mata.

“Ara itu adalah kita semua gitu. Jadi kayak kamu adalah Ara, kita adalah Ara. Siapapun adalah Ara, yang mereka tuh punya caranya masing-masing untuk memperjuangkan hidupnya,” ucap Dhea, mengingat ucapan sang koreografer.

Lain lagi tanggapan Bilven Sandalista, pemilik dan pengelola Penerbitan Ultimus. Tuntas menyaksikan pertunjukan, ia memanggil ingatan tentang novel Larasati yang ia baca 20-an tahun lalu. Ada tiga buah refleksi yang ia petik: tentang kondisi perempuan yang masih juga bergulat melawan kebudayaan patriarki, tentang rakyat yang melawan sistem perekonomian yang penuh dengan pertentangan kelas, dan tentang identitas sebuah bangsa menemukan nasionalismenya.

“Dahsyat,” kata Bilven yang terkesan dengan bentuk-bentuk solidaritas dan kerja sama yang tersirat dalam gerak para penari.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//