Manusia dan Gula Kawung, Keseimbangan Alam dalam Pameran Menjaras Memori Kolektif
Gula kawung tidak tersentuh industri kolonial. Terjaga oleh nilai-nilai lokal, menciptakan hubungan yang selaras antara manusia dan alam.
Penulis Bawana Helga Firmansyah26 Mei 2025
BandungBergerak - Bayangkan sebuah pulau yang banyak didiami gunung berapi, dan di kawasan pertanian dan pedesaannya, lembaran-lembaran sejarah tersebar. Reruntuhan kuno yang menjulang tinggi, sebuah setum dan mesin roda dari awal abad ke-20, dengan rel kereta api yang saling terhubung, menjadikan lanskap Jawa sebagai mesin eksportir gula terbesar setelah Kuba di era kolonial.
Lalu bayangkan titik-titik yang tak tersentuh deru semacam itu. Jauh dari tempat alat-alat produksi dan ladang tebu di wilayah datar. Titik-titik yang tetap bertahan, tetap dipelihara oleh sebagian masyarakat. Inilah narasi wilayah perbukitan dengan kisah-kisah yang tersisihkan dari masyarakat Sunda yang memiliki kecenderungan berladang (huma).
Pameran Menjaras Memori Kolektif, yang diselenggarakan di Goethe-Institut Bandung, 17-31 Mei 2025, merupakan hasil kerja kolaboratif yang diinisiasi oleh Panti Baca Ceria dengan melibatkan 26 penulis dari 26 kecamatan dan satu seniman seni grafis asal Bandung, Egga Jaya. Tulisan-tulisan yang mendokumentasikan 10 objek pemajuan kebudayaan di Sumedang ditafsirkan secara visual oleh sang seniman.
Egga memberi perhatian lebih pada komponen lanskap, baik melalui objek flora maupun objek kultural. Dalam beberapa karya dua dimensional yang diciptakan dengan cat air, ia memvisualkan abstraksi dari perpaduan bentuk geometris dan bebatuan cadas dengan objek duri sebagai metafora perkembangan sebuah kota. Karya-karya lain menampilkan potongan-potongan perbukitan dan objek pohon, yang secara umum menekankan pada teknik aquarel, memberikan tekstur air dan kesan transparan pada warna. Selain terinspirasi oleh karya-karya penulis, kumpulan studi kultural Egga merupakan hasil perjalanannya dalam menelusuri lanskap Sumedang.

Sorotan mengarah pada karya instalasi yang mengangkat ekosistem gula kawung. Sajian visual diciptakan melalui metode cyanotipe, sebuah teknik fotografi yang menghasilkan cetakan negatif melalui kertas yang telah dilapisi bahan kimia dan dipapar dengan sinar UV. Beberapa lembar kertas disiasati untuk membentuk kesatuan, memberi gambaran yang utuh dalam menangkap objek pohon kawung atau aren, untuk kemudian disandingkan dengan bagian pohon kawung yang telah diikat.
Perincian penamaan berbagai alat dan proses membuat ekosistem gula kawung menarik perhatian Egga. Ia menuangkannya dengan goresan-goresan di lembaran karya cyanotipe, menampilkan benda dan aktivitas yang bersinggungan dengan proses pembuatan gula kawung. Mulai dari guis yang merupakan proses pengadukan yang berlangsung selama lima jam, penamaan dubung paranti untuk alat angkut berupa bambu untuk mewadahi air nira dari pohon, hingga proses pengawetan dengan memanfaatkan akar pohon waru.
“Sangat jarang orang memakai bahan organik untuk mengawetkan bahan organik lainnya. Kalau gula putih di pabrik kolonial pakai semacam kapur. Kalau akar pohon waru ini ditumbuk, lalu cairannya dicampur ke air nira biar tahan lama sampai setengah hari. Jadi itu sangat membantu si petani untuk pergi ke hutan jauh ke tempat dia menakar jadi gula merah agak tidak cepat jadi asam,” tutur sang seniman.
Tak ingin berhenti sebagai pemaknaan terhadap realitas tradisi masyarakat, karya instalasi yang pada Desember 2024 lalu dipamerkan di Pendopo Kecamatan Sumedang Utara tersebut menjadi bagian aspirasi sang seniman dalam memantik potensi lokal. Karya instalasi yang disajikan dengan penempatan pohon kawung yang terikat secara tegak dan dikatrol sebagai pemberat untuk mengangkat karya cyanotipe, merupakan bentuk kritiknya terhadap pemerintah setempat yang terlalu berkiblat pada Bandung sebagai kota besar yang justru kehilangan budaya.
Sebelum mengeksplorasi kelokalan gula kawung, Egga sebelumnya banyak melakukan pendekatan pada gula putih yang dituangkan dalam karya printmaking, sugar aquarine. Ia merasa tidak cukup jika melulu berbicara soal material, karena cerita gula di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan kompleks. Tidak hanya soal tebu dan mesin pabrik, tapi juga budaya dan kearifan lokal yang harus diangkat secara mendalam.

Baca Juga: Pameran Lukisan Senang Bersamamu di Selasar Sunaryo Art Space, Sebuah Perayaan Kreativitas dalam Krisis
Penghargaan Pencapaian Seumur Hidup untuk Ahmad Sadali
Yang Tersisih, Yang Menyeimbangkan Alam
Sejarah gula dapat ditarik ke masa VOC yang banyak melakukan penanaman tebu di sekitar Batavia. Penggunaan batang-batang kayu sebagai bahan bakar membuat industri gula memiliki kecenderungan yang destruktif terhadap alam. Pembabatan hutan berlangsung secara luas dan masif. Setelah hutan habis dibabat, pabrik gula akan berpindah tempat untuk mendapatkan sumber bahan bakar.
Cerita serupa terjadi pada masa tanam paksa yang digagas oleh Van den Bosch. Kolonialisme, melalui alat-alat produksi yang dikuasai dan menumpangkan ekonominya, memandang lanskap Jawa sebagai sapi perah. Dampaknya, masyarakat Jawa terus tumbuh dalam jebakan sebagai buruh rendahan.
Namun apa yang berjalan dalam proses gula kawung terjalin dengan seimbang. Terjaga dengan nilai-nilai lokal, ia tumbuh liar sebagai alat barter di masa kerajaan, menciptakan hubungan yang selaras antara manusia dan alam. Seperti dalam tradisi menyadap Jangjawokan, sebuah doa dan harapan kepada alam atas pemberiannya kepada manusia tanpa harus merusak atau memaksa.
“Gula kawung ini tersisihkan, namun karena hal itu gula kawung memiliki banyak istilah lokal. Dia gak tersentuh oleh kolonial, karena tidak memenuhi kriteria. Sulit untuk dijadikan bisnis karena waktunya lama untuk jadi nira. Panennya itu 25 tahun sekali sampai habis bisa dikira sampai 2-3 tahun panennya udah mati pohon itu,” ucap Egga.
Tak hanya sebagai objek estetis, karya-karya dari program yang berlangsung sejak November 2024 ini turut membantu Panti Baca Ceria dalam menyuarakan aturan-aturan tentang perlindungan kawung di Sumedang agar tetap terjaga di tengah perkembangan kota yang kian pesat. Seperti pesan dalam pameran ini: tumbuh bersama alam dan memperkuat potensi lokal untuk pembangunan kota yang lebih terarah.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB