Penghargaan Pencapaian Seumur Hidup untuk Ahmad Sadali
Penting untuk membaca kembali dialog antara iman, rasio, dan rasa dengan modernitas yang terjalin dalam proses kreatif Ahmad Sadali.
Penulis Bawana Helga Firmansyah22 April 2025
BandungBergerak – Masih dalam rangkaian pameran Seabad Sadali: Menjejak Bumi Menembus Langit, Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) memberikan Penghargaan Pencapaian Seumur Hidup (Lifetime Achievement Award) kepada Ahmad Sadali atas sumbangsih signifikan pada perkembangan seni rupa Indonesia pada Kamis, 17 April 2025 di Bandung. Seniman, pengajar, dan intelektual ini menjadi orang kedua penerima anugerah setelah Rita Widagdo pada November 2021 lalu.
Penganugerahan yang diberikan kepada Ahmad Sadali merupakan hasil dari kesepakatan panelis yang terdiri dari Agung Hujatnikajennong, Aminudin TH Siregar, Bambang Q-Anees, Bambang Sugiharto, dan Sunaryo. Sadali dinilai telah menunjukkan keberanian dalam memadukan nilai-nilai abstraksi dengan nilai-nilai ketauhidan, menjadikannya sebagai dialog modernitas seni rupa Indonesia yang dipahami sebagai perpaduan antara tradisi yang telah lahir di Indonesia dan pengaruh pemikiran Barat. Sesuatu yang jarang atau bahkan tidak dibahas sebelumnya.
“Lifetime Achievement Award tidak diberikan berdasarkan pada berapa banyak jumlah karya yang dimiliki sang tokoh, melainkan atas dasar kontribusi dan wawasan besar yang ditunjukkan penerima,” tutur Agung Hujatnikajennong.
Bambang Q-Aness menyatakan bahwa di dalam karya-karyanya, Ahmad Sadali menekankan keterbacaan. Iman dan rasa merupakan proses kreatif yang lahir dari lingkungan sekitar, sehingga pandangan Islam yang lahir dalam diri dan karya-karya Sadali bukan Islam yang ekstrem.
Bambang Sugiharto, guru besar Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, menambahkan, pendekatan yang dilakukan Ahmad Sadali merefleksikan secara filosofis dan memberikan kedalaman spiritual terkait identitas dan kepribadiannya ke dalam konteks global. Itulah yang membuatnya layak untuk menerima penghargaan ini.

Baca Juga: Pameran Seabad Ahmad Sadali, Penghormatan Sunaryo kepada Sang Guru
Lengan Terkembang di Selasar Sunaryo Art Space dan Inklusivitas di Ruang Seni
Mengangkat Pemikiran
Resepsi Anugerah Pencapaian Seumur Hidup kepada Ahmad Sadali, yang dihadiri oleh keluarga sang seniman, sekaligus merupakan sebentuk penghormatan Sunaryo terhadap gurunya selama masih menempuh studi di Institut Teknologi Bandung. Heru Hikayat, kurator SSAS, menyebut, selain atas penokohan dan kepeloporan, penghargaan ini juga mendokumentasikan karya dari tokoh tersebut. Di malam resepsi itu, diluncurkan katalog pameran “Seabad Sadali” dan buku Seni, Iman, Islam: Kumpulan Esai Seni Rupa dan Agama (1957-1987) karya Ahmad Sadali yang diterbitkan oleh Gang Kabel.
“Karya-karya Ahmad Sadali tidak tersebar luas secara publik, sehingga keberadaan dan pemikirannya perlu terus diangkat melalui dokumentasi dan pameran,” ucap Aminudin TH Siregar, pengajar dan sejarawan seni rupa.
Dengan memunculkan kembali sosok Sadali, diharapkan hadir model kebudayaan yang mempertimbangkan rasa dan lingkungan terutama dalam masyarakat Islam, yang dewasa ini kerap kali hanya berfokus pada halal atau haramnya melukis dan berbagai kecenderungan sejenis. Membaca kembali dialog antara iman, rasio, dan rasa dengan modernitas yang terjalin dalam proses kreatif Ahmad Sadali, dapat menjadi daya tawar untuk mengembangkan kreativitas dalam kebudayaan Islam hari ini.
Kehadiran Karya-karya abstrak yang bernapaskan religius khas Sadali menjadi suatu alternatif dalam mencari identitas ke-Indonesia-an. Mengutip AD Pirous dalam tulisannya Seni Bernafaskan Islam di Indonesia: Kajian Khusus Seni Rupa Masa Kini dalam Perspektif Seniman Muslim (2003, Hal. 107-108): “Salah satu alternatif arah yang diambil adalah penggalakan semangat untuk menggali khazanah seni rupa Indonesia. Salah satu kekuatan tradisional seni rupa Indonesia terdapat dalam seni khat yang ditemukan pemakaiannya di berbagai bidang, mulai dari Alquran, makam, masjid, kain, dan berbagai benda lainnya”.
Dengan mencoba untuk menerjemahkan ulang seni modern dan nilai-nilai spiritualisme di dalam masyarakat Indonesia, Ahmad Sadali menjadi salah satu sosok yang memelopori eksplorasi seni abstrak yang terjalin dengan spiritualisme ayat-ayat suci Alquran.
Seni Islam yang seringkali menuangkan bentuk esensi alam dan penghayatan ayat-ayat Alquran, menjadi corak yang unik dalam memahami keterhubungan antara alam Tuhan dan manusia. Dalam konteks karya Sadali, hal tersebut turut direpresentasikan dengan formalisme dan bentuk visual segitiga di dalam karyanya, yang disebut sebagai gunungan, untuk menggambarkan unsur transenden yang kemudian turut ditambahkan dengan unsur-unsur emas sebagai bentuk kemuliaan terhadap esensi yang tak terbatas.
Bagi Sadali, sikap rasional pada masyarakat industri tidak mesti menjadi pertentangan dengan sikap religius. Bahkan di dalam proses penciptaan karyanya, Sadali melakukan pendekatan rasional dan ilmiah dalam memahami ayat-ayat suci Alquran.

Tonggak-tonggak Perjalanan Hidup
Ahmad Sadali dilahirkan di Garut sebagai anak keenam dari 13 bersaudara pada 24 Juli 1924 Ayahnya H.M Djamhari adalah pengusaha, pemilik perkebunan, dan salah satu tokoh penting dalam perkembangan Muhammadiyah di kawasan tersebut.
Dari tahun 1941 hingga 1944 Sadali melanjutkan sekolah di AMS-A atau SMT Yogyakarta. Ia sempat menjadi penyiar Radio Republik Indonesia (RRI) yang kantornya kemudian dibombardir oleh Belanda pada tahun 1947. Setahun setelah bergabung di Fakultas Guru Gambar pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia (sekarang Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung atau FSRD ITB) pada 1948, Sadali mendirikan sekaligus menjadi ketua pertama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Bandung.
Pada 1958 Ahmad Sadili turut andil dalam pendirian Desain Interior ITB. Empat tahun kemudian, ia menjabat ketua Seni Rupa ITB. Pada tahun 1965 Sadali ditunjuk menjadi desainer senior dalam tim perencanaan dan pengawasan teknik proyek gedung CONEFO (MPR/DPR RI). Ia pun turut mengerjakan lukisan dinding yang berjudul The Garden of Justice dan Witness yang terletak di gedung sekretariat dan ruang rapat komisi di kompleks tersebut.
Pada tahun 1970, Ahmad Sadali menggelar pameran tunggal pertamanya di Goethe Institut Jakarta, menyusul kemudian beberapa kali pameran di Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pada tahun 1972, Ahmad Sadali menjadi guru besar ITB. Beragam penghargaan sudah ia peroleh, salah satunya Anugerah Seni dari Pemerintah RI.
Pada tahun 1987, pameran tunggal Sadali di Jakarta menjadi pamerannya yang terakhir. Pada Sabtu, 19 September 1987 dini hari, sang seniman dan pendidik berpulang di usia 63 tahun. Karya-karyanya memberikan kontribusi signifikan terhadap wacana dan perkembangan historis seni rupa Indonesia dan tetap membekas dalam diskusi mengenai bentuk identitas keindonesiaan.
*Kawan-kawan silakan membaca tulisan-tulisan lain tentang Seni