Lengan Terkembang di Selasar Sunaryo Art Space dan Inklusivitas di Ruang Seni
Menciptakan inklusivitas di ruang seni bukan sebatas menghadirkan kelompok difabel untuk memamerkan karya. Juga untuk menyampaikan keresahan mereka.
Penulis Tofan Aditya24 September 2023
BandungBergerak.id - Berbagai infrastuktur publik yang dibangun di Bandung belum menyediakan akses setara bagi semua kalangan. Triliunan rupiah yang digelontorkan dari Anggara Pendapatan Belanja Daerah (APBD) nyatanya belum sanggup menciptakan ruang-ruang inklusif bagi kelompok-kelompok rentan, terutama kelompok difabel. Tidak terkecuali ruang-ruang seni.
Memimpikan ruang seni yang inklusif, Yayasan Selasar Sunaryo, didukung oleh Voice, berinisiatif menyediakan wadah bagi aktivitas kreatif kelompok-kelompok difabel lewat pameran bertajuk lengan terkembang: ruas lintas-abilitas. Enam belas orang seniman memamerkan karya mereka di Bale Tonggoh Selasar Sunaryo Art Space, Jumat, 22 September 2023. Publik bisa menikmati dan mengapresiasi karya-karya ini hingga 22 Oktober 2023 mendatang.
“lengan terkembang menawarkan perspektif, suara, dan sentimen yang terartikulasikan di tengah stigma dan stereotip yang masih dominan,” tulis kurator Krishnamurti Suparka, terpampang di pintu masuk ruang pameran.
Nana, begitu kurator akrab disapa, menjelaskan bahwa pameran ini adalah upaya sederhana untuk mengungkap sisi yang selama ini belum sempat mengemuka. Berjalan sejak Oktober 2022, pameran yang masuk ke dalam program Open Arms ini bukan sebatas menghadirkan kelompok difabel untuk memamerkan karya, lebih dari itu adalah untuk menyampaikan keresahan yang mereka alami.
Seniman-seniman difabel yang terlibat dalam pameran merupakan peserta lokakarya Open Arms yang berlangsung sepanjang Juni-Juli 2023. Mereka adalah Achmad Ilham Sadikin, Dwi Andini Maruf, Faisal Rusdi, Karina Budiati Yuwono, Mahesa Damar Sakti, Marsha Natama, Muhammad Nabil, Muthia Kusuma Radjasa, Patricia Saerang, dan kolektif Tab Space.
Selain karya peserta lokakarya, pameran Lengan Terkembang juga menampilkan karya para pemateri lokakarya, yakni RE Hartanto, REEXP (Evan Driyananda dan Attina Nuraini), Gangga Saputra, dan Sukri Budhi Dharma. Beberapa karya seniman difabel juga dikolaborasikan bersama seniman muda Bandung, yakni Kinara Akhmad Syafril dan Mufti Widi.
“Jadi harapannya, ketika datang ke sini pun, tanpa mengetahui bahwa ini adalah dari teman-teman disabilitas, mereka (pengunjung) sudah melihat ini tuh kontemporer banget,” kata Nana dalam tur media, sesaat sebelum pintu pameran dibuka. “Jadi, tanpa melihat kondisi si pembuat.”
Untuk menuju inklusivitas di ruang kesenian, keterlibatan seniman difabel tentu perlu dibarengi dengan aksesibilitas dan fasilitas yang memadai di ruang seni. Dalam pameran ini, Selasar Sunaryo Art Space menyediakan guiding block, ramp (tangga landai), audio caption, toilet khusus difabel, braille, dan Juru Bahasa Isyarat (JBI).
Agung Hujatnikajennong, ketua program Open Arms, mengakui bahwa Selasar Sunaryo Art Space sendiri belum sepenuhnya inklusif. Meski demikian, ia percaya bahwa perubahan tidak harus selalu drastis. Ruang seni di kawasan Bandung utara ini perlahan berbenah agar kegiatan-kegiatan berikutnya dapat diakses oleh kalangan yang lebih luas lagi.
“Kami mengundang para penikmat seni pada umumnya untuk datang dengan harapan mereka bisa menerima apa yang kami tawarkan, bisa sepakat dengan hadirnya kami, untuk menjadikan dunia seni yang bisa lebih inklusif,” tutur Agung.
Resepsi pembukaan digelar pukul empat sore. Jinan Laetitia, pemandu acara, menyapa setiap pengunjung yang duduk di kursi kayu dan kursi roda. Tepat disamping Jinan, berdiri juru bahasa isyarat. Krishnamurti Suparka, Agung Hujatnikajennong, dan Dira Sugandi berurutan menyampaikan pengantar, sambutan, dan pembuka pameran. Menyusul kemudian, pertunjukan musik dari Dira Sugandi, The Darksa Band, dan Adrian Yunan.
Pameran lengan terkembang: ruas lintas-abilitas dibuka untuk publik setiap Selasa sampai Minggu (kecuali hari libur nasional), pukul 10.00-17.00 Waktu Indonesia Barat (WIB). Masih dalam rangkaian program Open Arms, akan diselenggarakan seminar nasional tentang seni dan disabilitas dengan menggandeng Institut Teknologi Bandung (ITB).
Baca Juga: Menggugat Ruang Ramah Difabel di Kota Bandung
Menonton Bioskop Bersama Teman Difabel Bandung, Berharap Fasilitas Publik yang Ramah Disabilitas
Karya Difabel dan Masalah yang Melingkupinya
Patricia Saerang adalah salah satu seniman yang berpameran di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space. Menggunakan cat air, dua lukisan karya Patricia terlihat mencolok di sudut ruang pameran. Karya pertama Patricia berjudul My First Love of Sunflower, menghadirkan tiga bunga matahari yang mekar, tegak berdiri, dan tumbuh subur. Sementara karya keduanya, berjudul Beauty Under the Moonlight, menghadirkan sebuah bunga teratai yang mekar di bawah sinar bulan.
Patricia menekuni seni lukis tradisional Tiongkok. Ketika ditemui di sela-sela pameran, seniman yang menjadi anggota Association of Mouth and Foot Painting Artists sejak 1988 ini menjelaskan bahwa karya-karya yang dihasilkan bukan hanya ekspresi kekagumannya pada keindahan alam, tetapi juga merupakan gambaran dirinya sendiri.
“Di balik kegelapan, juga kita bisa menghadirkan keindahan. Dengan keterbatasan saya, kita bisa menghasilkan sesuatu yang indah,” terang perempuan kelahiran tahun 1968 ini dari atas kursi roda.
Dalam laporan penelitian Pemetaan Kesenian dan Disabilitas di Indonesia (2018) yang dituliskan oleh Slamet Thohari, Alies Poetri Lintangsari, Unita Werdi Rahajeng, Mahalli, dan Ulfa Fatmala Rizky, Pusat Studi Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya dan British Council Indonesia mencatat tiga masalah utama terkait kesenian dan disabilitas di Kota Bandung. Pertama, penyandang disabilitas tidak mendapatkan tempat yang proporsional dalam skema kebijakan pemerintah daerah. Kedua, aktivitas penyandang difabel terbentur oleh anggapan bahwa mereka dihadapkan pada kondisi struktural yang mengakar kuat, yaitu sentimen terhadap difabel dan nihilnya implementasi kebijakan terkait. Terakhir, pandangan terhadap aktivitas kesenian penyandang disabilitas masih berkisar pada belas kasih dan terapi.
“Rasa kasihan, selama ini, menempatkan karya penyandang disabilitas pada tempat yang tidak semestinya, menjadikannya sekadar bahan pemicu cucuran air mata dan mengobjektivikasi individu seniman difabel,” tulis Slamet dkk. “Pada perkembangannya, ia tak lebih di kemudian hari sekadar menjadi angin lalu pada gerak kesenian yang dinamis.”
Dalam lingkup yang lebih luas, Kota Bandung juga masih bermasalah dalam penyediaan aksesibilitas fasilitas publik bagi warga difabel. Tidak sedikit trotoar, taman, dan ruang-ruang publik yang sulit dijangkau.
*Kawan-kawan dapat membaca tulisan-tulisan lain Tofan Aditya, atau juga membaca tulisan-tulisan menarik lainnya tentang isu disabilitas