• Berita
  • Trotoar dan Taman di Bandung Belum Sepenuhnya Layak bagi Kawan Difabel

Trotoar dan Taman di Bandung Belum Sepenuhnya Layak bagi Kawan Difabel

Fasilitas publik inklusif yang mampu melayani semua kalangan termasuk kawan difabel, masih menjadi barang langka di Kota Bandung.

Penyandang disabilitas saat mengikuti acara peringatan Hari Kursi Roda Internasional, Selasa (1/3/2022). Tidak dilibatkannya difabel dalam perencanaan, membuat banyak trotoar ataupun fasilitas publik lainnya di Kota Bandung tak ramah difabel. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul26 Juni 2023


BandungBergerak.idFasilitas publik seperti trotoar di Kota Bandung seharusnya bisa menjamin aksesibilitas bagi semua kalangan secara inklusif. Semua kalangan masyararakat berhak mengakses fasilitas publik ini, mulai dari anak-anak, ibu hamil, lansia, dan kawan difabel.

Terlebih bagi kaum difabel, keberadaan fasilitas publik yang inklusif sangat diperlukan. “Kami memerlukan trotoar yang nyaman dan bebas hambatan,” kata Aden Achmad dari Biro Hukum Advokasi dan Aksesibilias Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Jawa Barat ketika melakukan audit trotoar bersama pemerintah kota (Pemkot) Bandung, dikutip dari siaran pers Pemkot Bandung, Kamis (22/6/2023).

Audit trotoar tersebut dilakukan oleh Pemkot Bandung bersama berbagai komunitas difabel dan lansia sambil mengkampanyekan trotoar inklusif. Para peserta dibagi dalam dua tim. Tim pertama berjalan dari Taman Pramuka menuju Jalan Banda. Tim Kedua berjalan dari Taman Pramuka sampai ke Jalan Ahmad Yani.

Hasilnya, kata Aden, trotoar di Kota Bandung masih banyak yang tidak sesuai dengan peruntukan, seperti dipakai oleh pedagang kaki lima (PKL), menjadi tempat parkir liar motor dan mobil. Hal ini menghalangi pejalan kaki. Parkir liar ini membuat lantai trotoar mudah rusak dan membahayakan bagi pejalan kaki.

“Banyak guiding block yang rusak karena dijadikan parkir liar. Kan sayang ya, satu pihak memperbaiki, di pihak lain malah merusak. Kita harus ciptakan masyarakat yang inklusif dan harus saling menghormati, menghargai hak-hak orang lain,” ungkap Aden.

Aden menyatakan, pembangunan trotoar inklusif di Kota Bandung memang sudah ada, namun belum 100 persen sempurna. Menurutnya, perlu kolaborasi dan integrasi dari setiap pihak. Ada pihak yang membenahi trotoar, pihak yang menertibkan parkir liar, serta masyarakat yang inklusif agar trotoar menjadi jalur bebas hambatan bagi pejalan kaki.

Penilaian serupa disampaikan Hani Hadiani, pengurus dan pengajar Indonesia Ramah Lansia (IRL) yang menyoroti parkir liar di atas trotoar Kota Bandung. Hani mengaku bersama 15 orang lansia dari Kecamatan Bandung Wetan telah mengkampanyekan trotoar inklusif. Dalam kampanye ini ia dan rekan-rekan mengimbau agar trotoar dapat inklusif dan optimal digunakan oleh pejalan kaki.

“Sepanjang jalan tadi ternyata banyak motor dan mobil yang parkir liar. Kami juga bantu mengimbau agar para PKL tidak berjualan di atas trotoar,” ungkap Hani.

Baca Juga: Sejarah Tumpas di Stasiun Kami
Mampukah Mengurai Kemacetan Kota Bandung dengan Sepeda?
Satwa-satwa di Lahan Sengketa

Selain Trotoar, Taman di Kota Bandung Harus Inklusif

Pemkot Bandung harus berkomitmen menunaikan regulasi yang telah mereka buat tentang ruang publik inklusif, yakni Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2009 tentang Kesetaraan dan Pemberdayaan Penyandang Cacat dan tekad untuk menjadikan Bandung Ramah Lansia. Tidak hanya trotoar, fasilitas publik lainnya seperti taman-taman kota mesti dibangun secara inklusif. Sayangnya, taman-taman di Kota Bandung juga belum inklusif.

Perihal ini disampaikan oleh Louxy Putri Aprilesti dan Ernady Syaodih (Louxy dkk.) dalam artikel ilmiah “Persepsi Penyandang Disabilitas terhadap Taman”. Louxy dkk. Menyebutkan, tidak semua taman di Kota Bandung bisa diakses oleh kaum difabel.

Louxy dkk. melakukan penelitian pada tahun 2019 dengan tujuan mengkaji kinerja taman dan mengidentifikasi kebutuhan fasilitas taman berdasarkan persepsi kawan difabel. Ditemukan bahwa aksesibilitas yang rendah taman di Kota Bandung dibuktikan dengan beberapa fakta di lapangan. Beberapa di antaranya adalah pedestrian yang ada di taman masih banyak yang rusak sehingga mengganggu perjalanan difabel khususnya yang menggunakan kursi roda.

Jalur pemandu pun masih minim di taman, kondisi ini menyulitkan tuna netra. Di taman di Kota Bandung pun belum tersedia ramp dan toilet difabel. Rambu dan marka minim, sehingga membingungkan tuna rungu yang notabene sangat mengandalkan visual karena ia sulit berkomunikasi dengan orang lain. Fasilitas pendukung lainnya pun tidak aksesibel bagi penyang disabilitas.

Luoxy dkk. juga menyampaikan, di Bandung ada Taman Inklusi yang bertema untuk disabilitas. Padahal, tidak cukup hanya satu taman di Kota Bandung yang aksesibel untuk difabel atau bertemakan difabel.

“Studi di lapangan menunjukan taman yang sering di akses disabilitas adalah Taman Lalu Lintas karena menurut penyandang disabilitas, Taman Lalu Lintas merupakan taman yang aksesibel bagi disabilitas, padahal seharusnya semua taman harus aksesibel termasuk untuk penyandang disabilitas,” tulis Luoxy dkk., diakses pada Sabtu (24/6/2023).

Meskipun Kota Bandung memiliki Taman Inklusi yang bertemakan difabel, namun secara keseluruhan Taman Lalu Lintas memiliki fasilitas yang lebih baik dan aksesibel untuk difabel. Aksesibilitas merupakan hal utama bagi difabel.

Dari penilaian kinerja dan harapan komponen pengembangan taman, tujuh komponen fasilitas yang diteliti masih di bawah harapan masyarakat. Adapun datanya adalah sebagai berikut: pedestrian (95,90 persen), jalur pemandu (47,56 persen), ramp (53,63 persen area parkir (51,08 persen), toilet (41,28 persen), rambu dan marka (52,64 persen), dan fasilitas pendukung (61,79 persen).

Luoxy dkk menyampaikan, dari tujuh komponen itu, prioritas utama pengembangan yang harus dilakukan adalah toilet. Angka kinerja dan harapan untuk komponen ini paling rendah. Luoxy dkk. Menyarankan agar Pemkot Bandung meningkatkan pembangunan dan pengembangan taman yang berlandaskan konsep access for all.

“Saran terhadap pemerintah dan stakeholder terkait yaitu peningkatan pembangunan dan pengembangan taman yang berlandaskan konsep access for all agar bisa diakses oleh semua orang termasuk penyandang disabilitas. Selain itu, peningkatan prioritas pengembangan terhadap komponen taman berdasarkan persepsi penyandang disabilitas,” tutupnya.

Hafsyarina Sufa Rebowo, Eddi Basuki Kurniawan, dan Deni Agus Setyono juga melakukan penelitian tentang Taman di Kompleks Balai Kota Bandung (Planning for Urban Region and Environment Volume 11, Nomor 2, April 2022 dengan judul “Evaluasi Aksesibilitas dan Fasilitas Taman pada Kompleks Balai Kota Bandung dengan Konsep Universal Design”). 

Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mendukung terciptanya ruang publik yang inklusif dengan mengevaluasi taman-taman di Kota Bandung berdasarkan tujuh Prinsip universal design menurut center for universal design.

Hafsyarina dkk menjelaskan, tujuh prinsip universal design menurut Center for universal design in NCSU adalah dapat digunakan oleh setiap orang, fleksibilitas dalam penggunaan, desain sederhana dan mudah digunakan, penyediaan informasi yang memadai, terdapat toleransi terhadap kesalahan pengguna, upaya fisik rendah, serta ukuran dan ruang yang cukup untuk ketercapaian dan penggunaan

Taman di Kompleks Balai Kota Bandung merujuk pada tujuh taman yang berasa di Kelurahan Babakan Ciamis, Kecamatan Sumur Bandung. Taman-taman tersebut di antaranya adalah Taman Dewi Sartika, Taman Badak, Taman Balai Kota, Taman Merpati, Taman Anak Sungai Cikapayang, Taman Hewan, dan Taman Sejarah.

Hasilnya, secara keseluruhan dari taman-taman yang diteliti telah mencapai 42 persen terhadap prinsip universial design. Tingkat penerapan paling tinggi adalah shelter dengan persenase 82 persen, diikuti ruang ibadah 68 persen.

“Fasilitas dengan tingkat penerapan paling rendah adalah ruang laktasi karena tidak tersedia ruang laktasi di dalam taman dengan tingkat penerapan 0 persendiikuti dengan area olahraga sebesar 17 persen dan wayfinding information sebesar 24 persen yang berarti fasilitas-fasilitas tersebut belum dapat mendorong seluruh pengunjung, terutama kelompok rentan untuk beraktivitas secara mandiri di dalam taman,” tulis Hafsyarina dkk.

Selain itu, dari hasil pemetaan perilaku, dari tujuh subjek amatan, sebanyak lima orang dari kelompok rentan memerlukan pendampingan. Hal ini menguatkan bahwa taman-taman di Kota Bandung yang diteliti belum sepenuhnya mendorong pengunjung untuk beraktivitas secara mandiri.

Subjek amatan yang paling mengalami kesulitan adalah tunanetra. Hal ini disebabkan informasi yang sangat terbatas, ditengarai tidak adanya guiding blocks atau petunjuk dalam bentuk braille, tactile, dan suara lainnya. Tunadaksa juga cukup mengalami kesulitan mengakses taman. Banyak akses yang sempit, akses yang bertingkat yang belum dilengkapi ramp, atau rampa yang masih kurang landai. Kelompok anak, ibu hamil, dan lansia juga mengalami kesulitan yang cukup tinggi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//