• Cerita
  • Tiga Windu Selasar Sunaryo Art Space Menjadi Wahana Kultural di Kota Bandung

Tiga Windu Selasar Sunaryo Art Space Menjadi Wahana Kultural di Kota Bandung

Selasar Sunaryo Art Space dibuka bertepatan dengan reformasi 1998 tiga windu lalu. Ada kegamangan dan kegetiran yang membuat karyanya diselubungi kain hitam.

Selasar Sunaryo Art Space di Jalan Bukit Pakar Timur No. 100 Bandung, diresmikan, 5 September 1998. Kini ruang seni publik ini sudah berusia 24 tahun atau tiga windu. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman6 September 2022


BandungBergerak.id – Sabtu malam, 5 September 1998, Selasar Sunaryo di Jalan Bukit Pakar Timur No. 100 Bandung, diresmikan. Malam itu pula, digelar pameran tunggal karya-karya Sunaryo dengan judul “Titik Nadir”. Namun pameran ini terasa ganjil dengan suasana berkabung.

Alih-alih dapat melihat-lihat sejumlah karya Sunaryo, para pengunjung dikagetkan dengan sejumlah karya yang terdiri dari lukisan, patung, sampai beberapa pohon yang malah dibungkus kain hitam. Pameran tunggal “Titik Nadir” seperti instalansi yang muram.

Sementara di sisi lain semua orang tahu, tahun itu Indonesia sedang dihadapkan dengan kondisi yang pelik. Rangkaian krisis moneter, huru-hara yang meledak di sejumlah kota, tumbangnya Rezim Orde Baru, dan peristiwa kelabu lainnya.

Di tengah kondisi itu, Sunaryo mengaku meresmikan sanggar seni rupanya sedikit sembunyi-sembunyi. Sementara pembungkusan sejumlah karya-karyanya diakui karena kondisi yang sedang terjadi pada waktu itu.

Sunaryo tidak merencanakan membungkus karya-karyanya dengan kain hitam, namun karena ada hal yang membersitkan rasa gamang dan kegetiran di masa yang sedang berlalu.

“Waktu pada saat akan pembukaan, terjadi peristiwa chaos di Jakarta, ada pembunuhan, pemerkosaan, penembakan, dan Trisakti itu. Kemudian karya-karya saya yang dipajang itu harus diresapi oleh sesuatu yang dingin. Saya di sini teriak-teriak pusing dan terdiam. Saya malu. Akhirnya saya beli kain hitam 18 bal dan saya bungkus karya-karya saya,” tutur Sunaryo, kepada BandungBergerak.id, Senin (5/9/2022).

Keputusan Sunaryo menutup seluruh karyanya dengan kain hitam tentu membuat berbagai pihak terkejut, termasuk kakaknya Garin Nugroho yang menjadi panitia. Berbagai orang mempertanyakan tindakan Sunaryo.

Namun Sunaryo tidak ingin melihatnya dan tetap mengikat kuat karya-karyanya. Semakin ia mengingat peristiwa-peristiwa memprihatinkan tersebut, semakin kencang pula ia mengikat karya-karyanya. Bagaimana membukanya, ia tidak peduli, itu soal lain.

Akhirnya pada saat pembukaan, sekitar 700 orang hadir di sana. Peresmian ditandai dengan ditandatangannya prasasti oleh Direktur Pendidikan Kebudayaan, Edi Sedyawati, mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Juwono Sudarsono.

Di antara ratusan orang hadirin, hanya satu orang yang membuat Sunaryo menjadi lebih tenang, yaitu Danarto. Ketika melihat karya Sunaryo dan mendengar alasannya, Danarto kemudian menyetujui keputusan Sunaryo untuk membungkus karyanya dan menyebut hal itu sebagai bagian dari seni.

“Saya setuju tidak dibuka karena itu lagi berkarya. Seniman berkarya itu harus ada trigger, dan ini trigger-nya dari batin sendiri. Jangan dibuka,” ucap Danarto pada saat melihat karya-karya Sunaryo.

Baca Juga: Membangkitkan Gairah Seni Rupa pada Anak-anak Kota Bandung
Pameran ARTsiafrica, Merekat Persaudaraan Asia Afrika
Menggugat Redup Geliat Seni di Kota Bandung

Seniman Sunaryo di Selasar Sunaryo Art Space, Jalan Bukit Pakar Timur No. 100 · Bandung. (Sumber: SSAS)
Seniman Sunaryo di Selasar Sunaryo Art Space, Jalan Bukit Pakar Timur No. 100 · Bandung. (Sumber: SSAS)

Mimpi yang Mewujud

Memiliki ruang seni pribadi yang dapat diakses publik dan menjadi ruang pendidikan bersama, adalah mimpi bagi seniman Sunaryo yang kini usianya 79 tahun. Sewaktu masih menjadi dosen seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB), Sunaryo mencoba membuat ruang itu di lingkungan kampus. Namun sepertinya lingkungan akademik tidak cocok untuk mewujudkan mimpinya.

Baru kemudian pada saat pensiun dari ITB, pria asal Banyumas ini kemudian mengupayakan kembali mewujudkan mimpinya, yaitu membuat sebuah ruang di mana publik dapat mengakses ruang tersebut dan para seniman dapat berkarya atau mengembangkan potensi yang ia miliki, sehingga seni rupa di Indonesia dapat semakin berkembang.

“Selama ini jujur, sebagai pendidik seni rupa di ITB mentransfer pengetahuan itu sudah menjadi rutinitas dan tugas pribadi. Saya membuat ini (ruang seni) di kampus itu selalu memiliki keterbatasan seperti kurikulum yang sudah diatur di sana. Padahal seni itu bukan begitu. Akhirnya waktu saya pensiun, kemudian saya buat ini (Selasar Sunaryo) dan rasanya saya seperti lepas, bisa ngatur sendiri, orang-orangnya juga bisa milih,” tutur Sunaryo.

Sunaryo mewujudkan mimpinya dengan membuat ruang seni bagi publik yang kini dikenal Selasar Sunaryo Art Space (SSAS).

Tiga Windu Selasar Sunaryo Art Space

Tiga windu telah dilalui oleh Selasar Sunaryo Art Space. Sunaryo mengakui bukan perjalanan yang mudah untuk memberikan kontribusi terhadap pengembangan seni rupa di Indonesia.

Tahun-tahun pertama mendirikan SSAS, Sunaryo kesulitan mencari seniman yang sesuai dengan kriteria yang ia inginkan. “Mungkin hanya tiga orang saja,” ucap Sunaryo.

Namun berbagai program yang dibuat oleh Sunaryo dan jajaran timnya secara perlahan-lahan membuahkan hasil. Dua puluh empat tahun SSAS berdiri, Sunaryo mengakui baru merasakan dampaknya yaitu melalui pameran yang digelar oleh alumni SSAS di Singapura.

“Tahun 2006, saya lihat di Singapura ada pameran karya seniman muda Indonesia. Saya kaget, ternyata itu alumni Selasar. Saya makin kaget, ternyata bukan hanya di Singapura, alumni Selasar ada juga yang dikenal di Hongkong, Australia, Jepang, dan Eropa. Di sana saya merasa terobati,” ungkapnya.

Tahun-tahun berikutnya hingga kini, SSAS secara perlahan-lahan menjelma menjadi wahana kultural di Kota Bandung. Seniman, mahasiswa, siapa pun dapat mengembangkan potensi seni yang ia miliki di SSAS hingga membantu memberikan peran untuk pengembangan seni rupa di Indonesia. Seperti para pelukis di Jelekong yang dipantau dan diberikan bimbingan oleh SSAS, mereka kemudian dapat menjadi seniman sukses dan karyanya bisa ditaksir hingga puluhan juta.

Peran dan hasil yang dicapai oleh SSAS kini diakui karena tujuan dan arah mereka yang bukan hanya sebagai ruang pamer karya para seniman. Sunaryo menjelaskan bahwa sedari awal, arah dan tujuan SSAS adalah untuk memberikan pendidikan agar seni rupa di Indonesia semakin berkembang. Selain itu, memang sudah menjadi harapan dan tujuan Sunaryo untuk membawa kearifan lokal yang dimiliki Indonesia menuju internasional.

“Saya di Selasar itu ujungnya pendidikan, artinya di sini bukan untuk transaksi. Kalaupun ada transaksi itu pun secara pribadi. Intinya di sini arahnya bukan ke komersial, tapi ujungnya itu bagaimana di sini dapat dipamerkan sebuah penemuan baru dan originalitas,” tuturnya.

Selasar Sunaryo, Tempat Tumbuh dan Berkembang

Selasar Space Art Sunaryo bukan hanya sebatas untuk para seniman saja. Banyak orang yang menggantungkan hidupnya di sana selain para seniman, dan mereka mengaku bahwa SSAS tempatnya untuk tumbuh dan berkembang.

Selain itu, mereka mengaku ketika mereka menjadi bagian dari SSAS selalu ada saja hal baru dan pembelajaran lebih yang mereka dapatkan selama di SSAS. Seperti yang diakui oleh salah seorang staf di SSAS, Bunga, yang kini jadi memiliki banyak jejaring dan bahkan berkesempatan untuk bertemu dengan orang yang selama ini hanya ia ketahui melalui buku.

“Di sini kami biasa menemukan hal yang baru dan berkenalan dengan orang yang baru, banyak hal sebetulnya yang dapat dipelajari di sini. Saya pribadi banyak belajar etos kerja dari orang-orang di Selasar dan banyak belajar juga dari Bapak (Sunaryo),” tutur Bunga.

Pada hari jadinya yang ke-24 tahun, SSAS mendapatkan banyak apresiasi, kepercayaan, dan harapan dari publik. SSAS diharapkan akan lebih berkembang dan menjadi ruangnya para anak-anak muda untuk terus berkarya, tumbuh, dan berkembang.

Instalasi Rumah Kaca karya Sunaryo di Selasar Sunaryo Art Space, Jalan Bukit Pakar Timur No. 100 · Bandung. (Sumber: SSAS)
Instalasi Rumah Kaca karya Sunaryo di Selasar Sunaryo Art Space, Jalan Bukit Pakar Timur No. 100 · Bandung. (Sumber: SSAS)

Pengaruh Pak Naryo

Pelukis Rosid menjadi satu dari sekian banyak seniman yang merasakan pengaruh Sunaryo melalui SSAS-nya. Rosid memiliki Rumah Budaya Rosid di kawasan Bandung utara, Jalan Cigadung Raya Tengah, Bandung. Rumah asri ini pernah dikunjungi Anies Baswedan dan menjadi ruang seni di Bandung.

Rosid sudah mengalami pahit getirnya jalan hidup berkesenian. Tahun 2002, empat tahun setelah rezim Orde Baru runtuh, ia pameran di Selasar Sunaryo Art Space. Pameran ini melambungkan karyanya.

“Dari pameran di Selasar saya dapat rejeki, pengin bikin studio. Saya bilang ke Pak Naryo, saya bisa beli rumah dan lahan. Kata Pak Naryo bagus jadikan saja studio,” tutur Rosid, menirukan ucapan Sunaryo.

Tahun 2006 ia membeli lahan kosong yang menjadi cikal bakal Rumah Budaya Rosid. Dulunya, lahan tersebut menjadi tempat pembuangan sampah, kontur tanahnya miring dan ditumbuhi belukar. Rosid harus membangun fondasi untuk mengubah kontur tanahnya agar rata.

Di situ ia mendirikan saung (gubuk) dari bekas lumbung padi yang didatangkan dari Jawa Timur. Ia lalu mengumpulkan peralatan pertanian dan rumah tangga tradisional seperti bajak yang biasa ditarik kerbau, garu, lesung-lesung dari kayu gelondongan, dan peralatan dapur tradisional yang kini tak lagi dipakai oleh masyarakat modern.

Di sela semangat mengoleksi benda-benda tradisional, Rosid mulai membangun galeri, kafe, dan tempat parkir. Tempat tersebut menjadi satu kompleks yang kemudian menjadi bagian dari Rumah Budaya Rosid.

“Jadi proses tinggal di sini saya sangat merasakan dari nol, dari tempat kecil,” tuturnya.

Rumah Budaya Rosid yang menempati lahan 1.200 meter persegi ibarat museum pertanian. Orang akan nyaman tinggal lama-lama di bale yang penuh dengan berbagai macam perabot tradisional, ada lumbung padi dan padinya, wadah nasi dari kayu, cangkir-cangkir logam, tungku pembakaran, dan benda-benda khas pedesaan lainnya.

Benda-benda tersebut didatangkan dari berbagai tempat sampai luar kota. Bagi Rosid, barang-barang tradisional menyimpan spirit yang tak dimiliki benda-benda modern. Benda-benda tersebut diyakini menyimpan energi positif bagi profesinya sebagai pelukis. Jika sedang jenuh melukis, ia sering menyepi di gubuknya. Tak jarang ia merasa diterapi atau mendapat inspirasi.

“Ke sini kayak pulang kampung waktu hidup dengan orang tua dulu,” katanya.

Ia biasa memakai tungku untuk merebus umbi-umbian. Kadang ada burung yang singgah mematuk padi-padi yang menguning yang sengaja menjadi hiasan gubuk.

“Benda ini memiliki nilai sejarah dan energi, bisa bersinergi dengan siapa pun bukan hanya dengan manusia tapi juga dengan sasama makhluk,” terangnya.

Dalam seminggu, dua sampai tiga kali Rumah Budaya Rosid dikunjungi wisatawan lokal, mulai ibu-ibu arisan sampai anak sekolah dan gurunya. Mereka berselfie dan makan siang dengan nasi lewet. Menurut mereka, benda-benda tersebut mengingatkan pada masa lalu, pada kakek nenek yang sudah tiada. Ada juga yang sengaja datang untuk prewedding.

Rosid membangun rumah budaya tak lepas dari dedikasinya untuk kedua orang tuanya, Yapin dan Sutijem, pasangan suami istri yang hidup dari lahan pertanian di Pangandaran. Dari orang tuanya Rosid menimba teladan. Dan orang tua merupakan sosok-sosok yang harus dihormati anak-anaknya.

“Saya contohkan kepada anak agar menghargai orang tua. Saya mendapat energi dari bapak saya, dari pertanian. Petani bukan cuma bapak saya, tapi ada jutaan petani yang harus dihargai,” katanya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//