Pameran Seabad Ahmad Sadali, Penghormatan Sunaryo kepada Sang Guru
Mazhab Bandung dikritik terlalu kebarat-baratan. Di mazhab ini ada Ahmad Sadali yang menjadi pengecualian. Penghormatan untuk Sadali berlangsung di SSAS.
Penulis Audrey Kayla Fachruddin1 Oktober 2024
BandungBergerak.id - "Bagaimana bisa kuhemat-hemat air mata. Tegak aku di halaman salman. Bertongkat cuaca menyampaikan. Selamat jalan".
Begitulah bunyi secarik puisi bertajuk “Kang Dali”[1] [2] yang dibacakan sastrawan Taufiq Ismail untuk Ahmad Sadali pada pembukaan “Seabad Sadali: Menjejak Bumi Menembus Langit” di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS), Kamis sore, 19 September 2024 lalu. Sanggar seni di Bandung utara ini cukup dipadati pengunjung.
Pameran ini sebagai bentuk penghormatan kepada Ahmad Sadali selaku guru seni seniman Sunaryo selama menempuh studi keseniannya di Institut Teknologi Bandung (ITB). Menurut Heru Hikayat, kurator pameran Seabad Sadali, pameran ini yang terbesar di SSAS sepanjang 2024. Tim pameran telah menyiapkan pameran selama hampir satu tahun dengan berkolaborasi bersama keluarga Ahmad Sadali dan Kahf, bagian dari brand Paragon.
Pada pembukaan pameran, kedua kurator pameran, Heru Hikayat dan Puja Anindita, menyatakan pihaknya mencoba menghadirkan berbagai karya Sadali sebagai seorang seniman, pendidik, intelektual muslim, dan yang terpenting, Sadali sebagai seorang individu.
Heru menambahkan, terdapat sebuah diskursus yang berkaitan dengan Mazhab Bandung dan Mazhab Yogyakarta. Mazhab Bandung merupakan suatu aliran seni yang lahir di lingkungan seni rupa ITB dan dipengaruhi oleh para pendirinya, Ries Mulder–seorang seniman yang beraliran seni rupa modern Eropa.
Hal tersebut dikritik oleh Trisno Sumardjo pada artikelnya, “Bandung Mengabdi Laboratorium Barat”, ia merasa Mazhab Bandung terlalu berpaku pada gaya barat. Nama Sadali sempat disebutkan pada artikel tersebut dengan setengah pujian. Ia dianggap sebagai satu-satunya seniman Mazhab Bandung yang memiliki karakter pada karya-karyanya dibandingkan seniman Mazhab Bandung lainnya.
“Karya Sadali sudah mulai menunjukkan kepribadiannya, tetapi apa benar begitu?” kata Heru, mengutip artikel tersebut.
Heru menyebutkan, Sadali merupakan perintis praktik seni modern di Indonesia. Seni modern merupakan bagian dari proses modernisasi. Dalam konteks seni di Eropa, seni modern dimulai beriringan dengan sekularisasi, sehingga berbagai karya seni yang dibuat sudah tidak ada napas agamis di dalamnya. Namun, ketika seni modern ini sampai di Indonesia, nilai sekularisasi tersebut dapat dikatakan “tidak bermoral”.
Meskipun Sadali bukan satu-satunya seniman yang merasa perlu untuk mengupayakan hal tersebut, ia dapat memadukan seni modern dengan spiritualisme Islam sehingga membuka arah bagi para seniman untuk menerjemahkan ulang seni modern dengan nilai-nilai spiritual yang lekat dengan kepribadian masyarakat Indonesia.
Di awal kariernya merintis sebagai seorang seniman, berbagai unsur modernisme Sadali dalam karya dapat dilihat dengan jelas. Lalu, ketika sudah mulai memasuki periode tahun 60-an hingga 80-an, karyanya mulai terlihat memadukan dengan elemen-elemen Islam.
Sadali masih mempertahankan Formalisme Bandung, menggunakan warna-warna yang cenderung gelap dan bermain dengan tekstur. Heru menyebutkan bahwa karya-karyanya yang menyerupai gunungan dibuat untuk menggambarkan unsur imanen dan transenden. Tidak hanya itu, ia juga menggunakan aksen warna emas untuk menggambarkan suatu unsur kemuliaan–antara manusia dan entitas mulia–dengan cara terbatas. Menurut Heru, Sadali merupakan perintis yang memadukan kaligrafi dengan Formalisme Bandung.
Karya-karya Sadali mendapatkan respons dari seniman generasi kekinian Eldwin Pradipta melalui new media art, seni rupa kontemporer. Ia memadukan teknologi dan karya seni yang menghasilkan video mapping dalam bentuk immersive art.
Penggunaan new media art dapat menjadi sebuah upaya untuk mengenalkan berbagai aset seni terhadap generasi baru. Hal ini juga sering kali digunakan oleh berbagai museum di negara barat. Menurut Heru, karya Eldwin dibuat sebagai sebuah penghormatan terhadap Sadali.
Andri Kurnia Rahman, perwakilan dari Kahf dan brand Paragon selaku sponsor utama pameran, menyebutkan bahwa brand Paragon memiliki harapan untuk menjunjung tinggi seni dan pendidikan. Seiring dengan hal tersebut, Andri menyebutkan Kahf juga memiliki filosofi “Jalan Yang Kupilih” dan hal tersebut sejalan dengan nilai-nilai yang dibawa oleh Sadali, yakni kegigihan dalam mempertahankan prinsip religius dan berkarya di bidang kesenian.
Dengan demikian, Andri menyatakan pameran Seabad Sadali ini memperkuat harapan dan pemaknaan pameran ini secara keseluruhan.
Direktur Utama SSAS Arin D. Sunaryo menambahkan, Sadali merupakan sosok yang menginspirasinya selama mengemban ilmu kesenian di ITB, institusi yang merupakan tempat Sadali mengabdi untuk mengajar.
Menurut Arin, SSAS merupakan ruang aman atau inkubator bagi para seniman baru untuk berkarya. Hal ini pun berkaitan dengan niat awal Sunaryo membangun SSAS sebagai bentuk balas budinya kepada para gurunya sehingga ingin mengayomi para seniman baru melalui inkubatornya.
Arin merasa sangat terhormat karena dapat menampilkan berbagai karya, ephemera, dan arsip dari Sadali yang mana merupakan guru seni Sunaryo secara langsung.
Di pameran ini putra tunggal Sadali, Rafi Ahmad Salim, turut memberikan sambutannya. Rafi menyatakan bahwa berbagai lukisan Sadali didasari oleh prinsip-prinsip estetika yang menggunakan komposisi, warna, dan efek-efek tertentu untuk “berbicara”. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Heru bahwa berbagai lukisan Sadali merefleksikan karakternya yang teduh dan tertata.
“Karya seni tidak dapat dilepaskan dari manusianya. Jadi kalau orang Islam menyebutnya akhlak–atau istilah yang lebih umum adalah moral–karya Pak Sadali itu sangat menunjukkan keterkendalian. Ada banyak unsur yang kontras dan berbeda-beda, namun dapat dipadukan dengan terkendali,” ujar Heru.
Tidak hanya itu, karakter Sadali yang teduh dan tertata ini juga disebutkan oleh kesaksian orang-orang terdekatnya dan juga diwariskan pada putra tunggalnya.
Baca Juga: Menjelajah Serambi Seni Selasar Sunaryo Art Space
Seperempat Abad Selasar Sunaryo: Ruang Seni yang Aktif dan Menjelma Inklusif
Tiga Windu Selasar Sunaryo Art Space Menjadi Wahana Kultural di Kota Bandung
Pameran ini resmi dibuka Taufiq Ismail, penyair eksponen 1966 yang merupakan sahabat dekat Ahmad Sadali. Ia mengenal Sadali secara personal sejak tahun 1963 dan mengingatnya sebagai sosok yang hebat.
“Beliau seorang aktivis, dosen, guru besar, tentu saja juga seorang pelukis terkenal. Lukisannya dikoleksi oleh para kolektor di berbagai negara di dunia,” ujarnya. Ia kemudian membacakan puisi yang dibuat secara khusus untuk mengenang sahabatnya yang pergi pada 19 September 1987. Berikut ini puisi lengkap "Kang Dali":
bumi sejati dan lempeng emas.
garis laut dan kalam langit.
mineral menyanyi dan kau lihatkah torehan nasib jagat,
kecapi berdawai x,
bunyi komposisi begitu sunyi.
kuukur perjalananmu di musea dunia
berlapis bumi berlapis langit
tak mungkin kau sembunyikan.
lepas senja bandar udara sahara
kau anyam jamak ta'khir wajah arah ke selatan.
sebelumnya kau pasang paku kencana terakhir pada peti dengan adres Galeri Begitu Rapi,
siapkah sudah ekspedisi yang menderu malam.
adalah kamil, adalah mariam.
bagaimana bisa kuhemat-hemat air mata,
tegak aku di halaman salman
bertongkat cuaca menyampaikan
selamat
jalan.
Taufiq Ismail, Iowa City, 1991. ((sumber: Instagram SSAS)
Pameran Seabad Sadali: Menjejak Bumi Menembus Langit ini akan berlangsung selama empat bulan mulai 19 September 2024 hingga 26 Januari 2025. Berbagai ephemera, arsip, dan karya Sadali dipajang pada tiga ruangan: Balai Tonggoh, Ruang B, dan Ruang Sayap Selasar Sunaryo Art Space.
*Kawan-kawan yang baik, silakan membaca tulisan-tulisan Audrey Kayla Fachruddin atau artikel-artikel lain tentang Seni Bandung