Membiarkan Tembok Berbicara
Seni juga bisa hadir di ruang kota yang hari-hari ini semakin masif membangun beton.
Penulis Bawana Helga Firmansyah5 September 2025
BandungBergerak - Di sebuah tembok usang di Jalan Tamblong Dalam, di kawasan sibuk tak jauh dari pusat Kota Bandung dengan banginan-bangunan masa kolonial yang masih berdiri, kertas-kertas tersebar, kertas-kertas menyela sejenak. Tidak terkesan dibuat-buat rapih, kertas-kertas itu saling bersinggungan, menumpuk memenuhi tembok. Tidak sungkan untuk menyembunyikan kerapuhannya, mereka bergelombang. Beberapa bagian bahkan tampak sobek.
Di penghujung jalan, slogan tegas “Menolak Lupa” menampilkan potret figur yang seakan-akan tenggelam dan samar. Karya-karya lain menginterupsi narasi sejarah, memberi penegasan, atau juga menawarkan pertanyaan.
Poster-poster direkatkan dengan lem yang berasal dari tepung kanji yang sudah diredam air dingin, dan direbus. Untuk merekatkan ke tembok, dilakukan dua kali pengeleman demi ketahanan kertas. Sebuah upaya memperpanjang keterbatasan, karena ruang publik tentulah temporer, terutama oleh faktor cuaca.
Berlangsung dari 22-24 Agustus 2025, Eksibisi Kolektif Distribusi Distorsi tidak memiliki sorotan lampu khas galeri atau keterangan karya. Dalam selipan ruang kota, tersaji visual potongan kolase dengan keterampilan teknik yang beragam. Tembok kota menjadi ruang yang menyeimbangkan antara ekspresi personal dan sosial.
“Fitrahnya poster di ruang publik tuh itu,” ujar Actmove selaku Artistic Director, ditemui di Tamblong Dalam, Minggu, 24 Agustus 2025. “Hal-hal hal yang mau politis atau apapun ya, sifatnya ngomong.”
Dan tembok, seberapa pun tebal dan kokoh, memiliki batasan ukuran. Ia kepayahan juga menampung karya 124 orang seniman yang menyambut panggilan terbuka yang diserukan oleh panitia hingga awal Agustus 2025 lalu, meski tidak jadi masalah. Toh seperti termuat dalam narasi “Undangan untuk Menempel” yang ditulis oleh kurator Anggawedhaswhara, karya-karya ini hadir untuk menyela dan “tidak diniatkan untuk bertahan lama”.

Berisik dan Jujur
Dalam ruang publik yang tidak bisa diklaim, karya cenderung bebas. Ia memerdekakan seniman, membebaskan dirinya untuk keluar dari konsep-konsep karya yang umum dikerjakan tiap individu. Karya-karya yang tidak harus selalu serius, melainkan penuh kejutan selaras dengan respons tiap seniman terhadap ruang publik yang tidak distandarkan.
“Bagi saya itu seolah-olah jadi kayak ruang kemerdekaan sesungguhnya. Seniman tuh jadi punya kebebasan untuk bekerja di ruang publik,” ucap Angga, ditemui di Tamblong Dalam.
Angga berharap, kegiatan ini menjadi stimulus untuk banyak orang, bahwa seni tidak harus selalu menyajikan hal-hal yang indah, yang normatif di galeri. Tidak melulu di ruang bersih dengan pencahayaan sempurna. Seni juga bisa hadir di ruang kota yang hari-hari ini semakin masif membangun beton. Ia harus bisa hadir di antara flyover yang bising.
Sebagai respons atas kondisi sosial, niscaya dibutuhkan karya-karya yang membuat berisik ruang-ruang publik. Mereka menyajikan kejujuran dari tiap penciptanya untuk memaknai gang-gang kecil dan tembok kusam yang bahkan bisa saja setara dengan selebaran iklan. Dan menjadi berisik secara jujur itu, sebagaimana logika seni jalanan (street art), tidak harus melulu berupa perlawanan keras. Ia, seperti ditulis Angga, bisa hadir sebagai kritik atau humor.
Project Manager Donni Arifianto mengapresiasi kerja kolektif yang dibangun sejak awal dalam proses penyelenggaraan Distrbusi Distorsi ini. Ajakan terbuka untuk menempel disambut dengan ragam kejutan dari orang-orang acak dengan karya-karya yang menarik. Kegiatan ini menjadi wadah bertemu para seniman. Ia tidak bersifat membatasi, tapi menciptakan ruang ekspresi ragam seniman dengan berbagai karya, mulai dari kertas-kertas dengan visual komik, sebuah satir, hingga baris puisi yang dipadukan dengan nuansa hitam dan putih.

Baca Juga: Manusia dan Gula Kawung, Keseimbangan Alam dalam Pameran Menjaras Memori Kolektif
Pameran Lukisan Senang Bersamamu di Selasar Sunaryo Art Space, Sebuah Perayaan Kreativitas dalam Krisis
Tembok sebagai Ruang Kota
Tempelan kertas atau coretan di tembok menjadi bagian dari karya seni jalanan yang tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial (dan kadang politik) di tengah masyarakat. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, seni di ruang publik khususnya poster telah menjadi media penyampaian aspirasi sejak lama.
Duta Fikri Abdul Hamid dalam buku Poster Masa Revolusi Indonesia 1945-1950 (2020) memberi gambaran tentang sebuah periode khusus pascaproklamasi. Sebuah poster “Boeng Ajo Boeng” menampilkan ekspresi wajah berteriak dan lengan yang mengepal dengan borgol dan rantai yangterputus. Tidak sebatas pada gestur angkat senjata seperti di monumen-monumen, pertarungan turut hadir di atas kertas. Seruan poster atas perintah Presiden Soekarno yang merupakan karya kolaboratif seniman yang melibatkan Sudjojono, Affandi, dan Chairil Anwar dengan Dullah sebagai model figur itu, dengan cepat tersebar dan berhasil memantik semangat rakyat.
Menjelang Pemilu 1999, kelompok seni Taring Padi, Yogyakarta muncul. Begini Heidi Arbuckle Gultom, sebagaimana termuat dalam Taring Padi: Praktik Budaya Radikal Di Indonesia (2019), mendiskripsikan seruan perdamaian dalam citra poster cukil kayu yang menggambarkan kondisi sosial politik di Indonesia ketika itu: “Di sini ketimpangan sosial-ekonomi ditampilkan sebagai ketidakharmonisan suku, ras, dan agama. Oleh sebab itu poster-poster cukil kayu dirancang di seputar tema-tema pengawasan masalah perpecahan sosial, dan bukan agitasi.”
Namun, ada juga varian karya seni rupa publik yang mengusung konsep seragam. Contohnya, mural visual program Keluarga Berencana (KB) di tembok permukiman penduduk dan gapura desa. Moelyono dalam Seni rupa Penyadaran (1997) menyebut visual tersebut tidak berangkat dari rancangan-rancangan estetis, melainkan sebagai instruksi yang harus diterima masyarakat.
Yang tersaji di Jalan Tamblong Dalam sejak pekan ketiga Agustus 2025 lalu ini tentu bukan poster-poster sosialisasi program pemerintah. Keberagaman ekspresi dalam eksibisi ini justru berhasil membuka ruang percakapan dari tiap seniman dan mengusik keteraturan sudut kota.
Mengutip sepenggal “Sajak Sebatang Lisong” karya WS Rendra, Eksibisi Kolektif Distribusi Distorsi yang penyelenggaraannya didukung oleh Grey Art Gallery dan Art Jakarta menggemakan pertanyaan retoris bagi kita: “Apakah artinya kesenian bila terlepas dari derita lingkungan? Apakah artinya berpikir, bila terlepas dari masalah kehidupan?”
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB