Puisi dan Pop Culture
Puisi memilih hidup miskin di ruang kolot, alih-alih pop culture menawarkan kemapanan yang bisa disedot.

Beni Anwar Z
Pegiat Bandung Berpuisi
9 Desember 2025
BandungBergerak.id – Selama bertahun-tahun, puisi diperlakukan seperti pusaka yang dimandikan tiap tujuh mulud dan hanya boleh dibuka di forum sastra, buku antologi, atau kajian akademik yang bahkan tidak terjangkau masyarakat luas. Jika terus seperti ini, mungkin puisi akan bernasib sama dengan naskah kuno di daun lontar atau relief di bebatuan candi.
Sementara itu, di luar sana, pop culture melaju ugal-ugalan: TikTok memviralkan satu kalimat dalam tempo sesingkat-singkatnya, musik mengulang satu bait sampai jutaan telinga hafal di luar kepala, dan visual meme sering kali lebih menyentuh perasaan orang-orang dibanding puisi di halaman koran mingguan atau kolom sastra daring. Maka wajar jika puisi tampak asing dan tertinggal, karena sebagian besar pengkarya menolak berenang di arus kiwari yang sebenarnya bisa memperpanjang napasnya.
Masalahnya, masih banyak yang percaya bahwa puisi akan kehilangan nilai dan kemurniannya jika bersentuhan dengan pop culture atau, lebih jauh lagi, masuk ke industri yang dicap penuh gimik. Seolah-olah begitu puisi lahir di TikTok—dengan kata-kata yang entah, diberi musik, lalu viral—maka ia otomatis dianggap murahan. Padahal secara sejarah, puisi selalu hidup bersama kebudayaan populer zamannya: dari syair dan pantun di timur hingga balada dan soneta di barat. Pop culture bukan ancaman; ia justru ekosistem besar yang bisa membuat puisi kembali dibicarakan, didengar, dicintai, atau minimal dibaca. Di tengah banjir konten hari ini, yang dibutuhkan puisi bukan pagar, tetapi jembatan.
Baca Juga: Patah Hati Akmal Firmansyah dalam Zine Puisi Berbahasa Indonesia dan Sunda
Mari Kita Melawan dengan Puisi
Membincangkan Buku Puisi Hanya Waktu, Menengok Relung Seorang Matdon
Menghidupkan Puisi
Pop culture sebenarnya telah membuktikan bahwa ia mampu menghidupkan puisi lebih jauh daripada ruang sastra tradisional mana pun. Di media sosial, baris-baris pendek dari Instapoetry dapat menjangkau jutaan mata hanya dalam hitungan jam; spoken word yang direkam dengan mikrofon murah bisa viral dan mengubah hidup pengkaryanya.
Musik pun sejak lama meminjam tenaga puisi dan menggubahnya menjadi lagu. Film, iklan, hingga konten digital juga diam-diam menyerap elemen puitis: monolog lirih, caption melankolis, atau satu kalimat yang diperlakukan seperti mantra. Format singkat, ritmis, dan emosional ini pada dasarnya adalah DNA puisi—dan pop culture hanya memberi amplifikasi lebih besar. Dari sisi ekonomi, ekosistem pop bahkan membuka peluang monetisasi: kolaborasi dengan musisi dan seniman lain, proyek visual, workshop, hingga merchandise atau bentuk eksperimen lainnya.
Artinya jelas: puisi tidak mati; ia hanya bersalin rupa dan pindah ke habitat baru yang memungkinkannya bertahan.
Para pengkarya perlu mulai mengukur ulang jarak antara cara mereka menyampaikan puisi dan cara publik menerimanya hari ini. Selama ini banyak pengkarya bersikap seolah cukup menulis puisi dalam buku antologi lalu memajangnya di etalase toko berdebu, atau membacakannya di ruang yang hanya dihadiri lingkaran tertentu. Cara itu tidak lagi relevan di tengah kebudayaan yang bergerak cepat dan akrab dengan format-format baru. Pengkarya tidak sedang diminta menjadi selebritas atau mengejar viral; yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk mencoba medium yang lebih dekat dengan audiens kiwari. Bentuk penyampaiannya boleh berubah, tetapi integritas tidak harus hilang. Justru dengan membuka pintu baru, puisi bisa menemukan kembali ruangnya dan terhubung dengan orang-orang yang masih mencarinya.
Puisi akan terus merana dan kesepian jika memilih tinggal di ruang yang sama dan berbicara dengan cara yang gitu-gitu saja. Pop culture adalah samudra besar yang terus melahirkan gelombang; puisi bisa membentangkan layarnya untuk mengarungi dan berlabuh pada penikmat barunya. Masa depan puisi tidak ditentukan oleh bentuk yang diwariskan, melainkan oleh keberanian pengkarya merambah medium yang belum pernah ia coba. Ketika puisi hadir di arus populer, ia tidak kehilangan nilai, makna, atau martabatnya—justru lebih bersuara, dan kata-kata tidak akan binasa.
26/11/2025
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

